"Benarkah kamu anakku?" Arvin masih setia menatap kertas kecil itu seksama. Ada denyut nyeri saat mengingat bagaimana cara dia menghina Alara dan membantah ucapan Alara kala mengatakan bahwa itu calon bayi mereka.
"Aku memang bodoh. Kenapa aku bisa sejahat itu padanya? Dan aku? Aku menjadi Ayah terbrengsek karena tidak mau mengakui darah dagingnya sendiri. Brengsek brengsek." Arvin memukul-mukul dinding kamar Alara. Bekas darah yang belum sembuh, kini semakin bertambah parah dan Arvin tidak peduli pada tangannya.
"Apa aku harus menyusulmu ke Panti Alara? Tapi aku kepalang malu, apa jadinya bila seorang Arvin mengingkari ucapannya sendiri. Arghh dasar bodoh bodoh kamu Arvin," makinya pada diri sendiri. Banyak sekali kesalahan kesalahan yang dia lakukan dari awal pernikahannya pada Alara. Harusnya dulu dia tidak berpikiran picik dengan cara menikahi wanita itu hanya bertujuan membuatnya terluka saja.