"Arinka? Mata lo kenapa?"
Sandy menyentuh bahu kanan Arinka sembari menatap wajah gadis itu lekat. Wajah Arinka sepertinya sedang tidak baik-baik saja. Kedua kantung matanya longgar dan menghitam.
"Gue semalem begadang sama Fayez," jawab Arinka pelan.
"Lo begadang? Ngapain? Main monopoli?"
Arinka mendorong dahi Sandy agar menjauh dari hadapannya. "Nggak usah banyak tanya. Bantu gue masuk kelas."
Sandy mengangguk cepat seperti orang bodoh. Ia meraih lengan Arinka dan membantunya berjalan.
"Lain kali jangan begadang lagi, deh. Lo itu paling nggak kuat begadang, kenapa harus maksain, sih?"
"Ini semua gara-gara Fayez. Dia maksa gue buat main PS. Gue mana bisa nolak, sekarang gue udah kayak orang kehilangan jiwa. San, kaki gue masih napak nggak, sih?"
"Masih, lah. Emang lo kuntilanak nggak bisa napak?"
"Arinka, lo kenapa?" tanya Hendra yang tiba-tiba muncul di hadapan mereka.
"Jangan tanya gue, Ndra. Gue lagi nggak bernyawa."