Matahari mulai menampakkan sinar, memancar ke penjuru dunia. Lewat celah-celah jendela, masuk ke dalam kamar. Badan kurus itu hanya menggeliat, meski sepasang indera penglihatan terkena sinar. Ia terlalu lelap, karena badannya masih lelah, selain karena kemarin melakukan perjalanan jauh dari rumahnya di suatu desa terpencil di Yogyakarta hingga Jakarta.
Semalam ia memberikan segala yang dimiliki untuk sang suami, ia menunaikan kewajiban seorang istri kepada sang suami. Memberikan sang suami kepuasan batin, meski ia melakukan tanpa perasaan cinta.
"Bangun! Bangun!" Suara keras melengking di telinga.
Wulan mengerjapkan mata, perlahan mulai membuka mata, merasakan ada orang yang membangunkan tidurnya. "Sudah siang?" Wulan mengucek mata sambil menarik selimut. Ia tersadar, jika semalam ia sangat mengantuk dan tertidur hanya mengenakan pakaian dalam saja.
"Siang, istriku tercinta -Wulandari Astuti- istri pilihan orangtuaku, " sapa Teo sembari memincingkan mata. "Bangun! Buatkan aku sarapan. Istri yang baik harus menuruti suami, mengerti!" Suara Matteo makin meninggi.
Lelaki ini belum menerima sang Istri secara tulus, bahkan ia memperlakukan dengan tidak layak. Semalam ia menuntut hak secara paksa, meminta tubuh sang Istri sepenuhnya dengan cara kasar. Bahkan tak ada romantis maupun indahnya malam pertama, yang terjadi sesuatu yang menyakitkan Wulan.
"Maaf, aku kesiangan, Mas," tutur gadis yang masih duduk di atas kasur, ia hanya menundukkan kepala. Tiada keberanian, untuk memandang wajah Teo. Ia tahu Matteo sangat marah. Pernikahan ini terjadi karena perjodohan, dengan cara memaksa Matteo. Awalnya pria itu memberontak, bahkan hampir saja menggagalkan acara pernikahan, namun sang Papa -Hadibrata- memberi ia ultimatum yang akan berdampak buruk pada kehidupan pribadi.
"Buru, bangun!" Teo menarik lengan Wulan, ia tak mampu bersabar lagi. Emosinya makin meninggi, setiap melihat sang Istri ia menjadi sangat marah dan kalap. "Buatkan sarapan! Kamu meski menurut ngerti."
Wulan mengangguk, sambil menahan bulir air mata jatuh berlinang. Ia iklas menikah dengan Matteo, meski neraka yang ia dapatkan.
Gadis itu mengumpulkan beribu tenaga untuk berjalan menuju dapur. Dengan lambat, tertatih ia menuju dapur.
"Ayo, cepatan! Mana sarapannya, aku lapar," teriak Teo kini telah duduk di ruang makan. Jemari-jemari Wulan bertambah cepat bergerak. Ia khawatir Matteo akan marah dan berujung penyiksaan. Kepala Wulan masih mengingat, perlakukan lelaki itu semalam. Matteo mendadak kalap, marah dan berujung pelampiasan kehendak. Wulan takut singa itu akan mengaum dan mengamuk lagi. Ia tak sanggup menjadi mangsa lagi, diterkam secara membabi buta. Luka itu masih basah, mengganga dan menyakitkan.
Sekujur tubuh Wulan terdapat memar gigitan mulut Matteo dan juga pukulan tangan dari pria itu yang tanpa sengaja harus memukul, karena awalnya Wulan memberontak.
"Cepetan!" teriak Teo mengangkat badan, ia berdiri dan berjalan ke arah dapur.
Di pintu dapur, ia menyadarkan badan kekarnya yang berotot, bak badan atlet. Matteo mengamati gerak badan Wulan di atas kompor, sesekali tersenyum kecil. Entahlah, meski masih diliputi kemarahan, tapi melihat gadis kurus itu, ia ingat kejadian semalam. Kejadian manis untuknya, karena ia berhasil mengambil mahkota dari seorang gadis. Luar biasa, pengalaman terindah dan ia menginginkan lagi, sepertinya mahluk bernama Wulan itu telah membuatnya gila dan ketagihan.
Wulan bergerak kesana kemari, mengambil bumbu, serta memasukkan ke dalam wajan. Kehadiran Matteo membuat ia gemetar, sedikitpun tiada keberanian menoleh ke arah Matteo. Ia hanya fokus ke masakan di atas wajan, cepat-cepat meniriskan di piring, lalu segera menyajikan ke sang suami.
Aroma wangi, serta lezat dari makanan di piring, membuat Teo berkali-kali harus menelan ludah. Bukan tidak benci namanya, jika ia memakan begitu saja hasil karya sang istri.
"Hoak!" Matteo memuntahkan hidangan yang disajikan sang istri. "Masakan apa itu? Kamu masak saja tidak becus. Itu sangat tidak enak."
Gluprang! Matteo melemparkan piring berisi makanan ke atas lantai. Wulan hanya menunduk, memperhatikan makanan berceceran.
"Dasar udik! Masak saja tak becus. Apa yang kau bisa? "
"Maaf, jika masakanku tidak enak, Mas. Baiklah akan aku buatkan lagi," sahut Wulan, titik airmatanya mulai berjatuhan. Ia sangat sedih, pilu dan tertekan. Inikah rumahtangga, baru sehari tapi sangat menyakitkan, perjodohan ini seperti neraka.
Wulan sangat menderita lahir dan batin, setelah semalam diperlakukan selayaknya perempuan tak memiliki harga diri. Kini baru dalam hitungan jam menjadi seorang istri, sang suami kembali berulah dengan menghina dan merendahkan dirinya. "Akan aku buatkan lagi, Mas." Wulan memunguti pecahan piring dan mengumpulkan makanan yang berserakan.
"Tak usah, aku mau makan di luar saja. Bosan juga kelamaan melihat wajahmu. Sok suci, sok baik, tapi nyatanya cuman perempuan matre haus harta." Matteo kembali mengoceh. "Ada seorang wanita menjual tubuhnya demi harta."
Suara tajam Teo memekik telinga Wulan, gadis itu sesenggukan sambil menutup telinga dengan jemari.
"Dengar, jika kau menolak pernikahan kita, tentu takkan terjadi neraka ini. Seharusnya kamu menolak, bukan menyetujui. Kau tahu kehadiranmu, merusak rencana masa depanku. Aku tersiksa dalam pernikahan ini, suatu kesialan pula menikah dengan wanita kampung sepertimu."
"Aku hanya tak ingin martabat keluargamu direndahkan, jika aku menolak lamaran orangtuamu. Mereka keluarga terpandang, terhormat di desa. Bagaimana reaksi penduduk di sana, jika aku menolak niat mulia mereka? Penduduk desa akan membicarakan keluargamu, seandainya aku menolak."
"Sudahlah, tak usah basa-basi membawa nama baik keluargaku." Teo menaikkan alis. "Terimakasih semalam. Kau bisa membayar semua yang keluargaku berikan dengan tubuhmu, impas bukan? " Matteo tiada henti menghina Wulan.
Wulan menelan ludah, menahan emosi agar tetap terkendali. Ia juga sadar, jika dalam pernikahan ini, dirinya juga patut disalahkan. Mungkin takkan pernah terjadi, seandainya ia menolak dari awal. Takkan ada kebencian, kemarahan dan tentu saja, ia takkan pernah bertemu dengan lelaki sekejam Matteo. Meski lelaki itu sangat tampan, membuat setiap mata terkesima dan tergoda, tetapi perilakunya lebih buruk dari seekor binatang. Ia memperlakukan sang istri sangat kasar, tak ada penghormatan, apalagi mencintai. Ia hanya membenci, memusuhi dan menganggap Wulan tak lebih dari perempuan murahan pembawa sial.
****
Mobil berwarna putih jenis sport itu melaju kencang, meninggalkan halaman. Si pengemudi tak peduli, jika nanti dengan mengebut bisa mencelakakan dirinya. Dengan kecepatan tinggi, ia terus membawa mobil membelah jalanan Ibukota. Beruntung hari Minggu, jalanan tidak padat dan tidak seramai hari kerja. Kendaraan hanya berlalu-lalang, satu dua.
Matteo sengaja meninggalkan rumah, terutama sang Istri. Ia menghindari istri belianya itu, karena ia tak sanggup harus melihat wanita yang menghancurkan cintanya. Kehadiran Wulan, apalagi menjadi status istri, mengharuskan mengubur rasa cintanya terhadap kekasih.
Gabrielle, alias Gabe-ia sangat mencintai gadis keturunan Indo-Spanyol itu. Seorang supermodel kelas dunia, sangat cantik, pintar dan modis. Bak dewi kayangan, berbeda jauh dengan sang Istri, yang cuma seorang gadis desa. Berpenampilan sederhana, bahkan hampir tak ada riasan make up dari tubuh wanita itu. Memang cantik, tapi urusan hati dan perasaan. Jelas tak bisa dibohongi, tidak ada ketertarikan sedikitpun apalagi berniat membuka hati untuk Wulan.
Di dalam hati Teo, hanya terbersit rasa benci dan kesal terhadap Wulan. Setiap melihat Wulan, amarah Teo menjadi memuncak. Hasrat di dalam hati, hanya ingin menyakiti wanita itu.
Wulan sesenggukan menangis nasib malang. Beginilah pernikahan yang digadang-gadang orangtua dan keluarga Matteo. Pernikahan kacau balau, tak ada ikatan cinta, bahkan tak memiliki landasan, terkecuali keterpaksaan. Wulan akan bertahan, sepahit dan sesakit apapun.
Meski sang Suami tak menganggap, bahkan tak menginginkan. Ia akan mengabdi untuk pria itu, menjadi istri yang baik. Gadis ini akan tulus menemani sang Suami, meski ia tak mengerti cintakah ia kepada sang suami, karena ia belum pernah merasakan cinta maupun tertarik dengan seorang pria. Cinta itu seperti apa, Wulan tak tahu.
Seumur ia menginjak di bumi, hingga sekarang berumur 18 tahun. Belum sekalipun ia mengenal cinta, berteman dengan lawan jenis juga bisa dihitung jari. Ia hanya memiliki beberapa teman pria, itupun teman bermain dan sekolah. Wulan sedikit kurang bergaul, karena ia merasa malu dengan status asal-usulnya yang tidak jelas.