Dru mengamati wanita yang saat ini duduk dihadapannya dan melahap makanan yang tersaji dihadapan mereka. Ia dan Vallerie sedang berada disebuah restoran mewah yang tak jauh dari bar yang ia kunjungi tadi. Suara perut Vallerie yang menandakan wanita itu tengah kelaparan membuatnya memutuskan untuk membawanya kesini.
Jika wanita lain datang dengan wajah malu-malu, berbeda halnya dengan wanita satu ini. Didalam mulutnya seperti tak ada sisa ruang kosong selain makanan yang ada disana. Melahap semua makanan yang ada diatas meja.
"Sudah berapa tahun tidak makan?"
"Kalau seratus tahun, kamu percaya?"
Jawaban Vallerie membuat Dru tergelak. Diambilnya satu potong daging yang ada dipiringnya dan menyuapkannya kedalam mulut. "Tidak. Aku justru berpikiran lain."
"Apa?"
"Tenagamu benar-benar terkuras habis semalam sampai kamu kelaparan seperti ini."
Vallerie langsung terbatuk mendengar ucapan Dru yang tanpa filter itu. Ditepuknya dada yang terasa sesak akibat tersedak. Beruntuk ia tak sedang minum, ia air yang ada dalam mulutnya, pastilah sudah menyembur diwajah lelaki yang kini sedang menggodanya itu.
Dengan cekatan Dru langsung memberi segelas air putih pada Vallerie. "Are you oke?"
"Kamu masih bertanya aku baik-baik saja setelah responku seperti ini karena ucapanmu?" Vallerie mendesis pelan setelah batuknya mereda.
"Maaf." Dru cukup menyesal sudah membuat Vallerie tersedak. "Tapi sepertinya apa yang aku katakan tadi benar kalau-"
"Bisa kamu hentikan ocehanmu itu, aku ingin menghabiskan makananku dengan tenang dan cepat pergi dari sini," sela Vallerie dengan tatapan tajam pada Dru.
"Oke."
Tak ada lagi yang berucap diantara keduanya. Fokus pada makanan mereka masing-masing dengan Dru yang sesekali melihat Vallerie tentu saja. Pria yang saat ini duduk didepan Vallerie yang pertama kali menyelesaikan makannya. Dengan sabar menunggu Vallerie yang masih sibuk melahap makanannya.
Diam-diam Dru mengamati bagian leher serta tulang selangka Vallerie yang terbuka. Memakai dress model sabrina membuat lelaki itu bisa menikmati bagian atas tubuh Vallerie dengan leluasa. Meski samar, tapi Dru dapat melihat jejak yang ia tinggalkan semalam.
Dikulumnya senyum melihat semua tanda itu. Ia bisa kembali membayangkan betapa gilanya ia semalam karena ulah wanita ini.
"Kenapa menatapku seperti itu? Ada yang salah?"
Takut salah bicara lagi diawal perkenalan mereka ini, Dru lebih memilih untuk menggelangkan kepelanya. "Sudah kenyang?"
"Sudah."
"Kalau begitu bisa kita lanjutkan pembicaraan kita tadi?"
"Pembicaraan yang mana? Aku rasa kamu sudah terlalu banyak bicara sejak tadi." Vallerie meneguk anggurnya yang masih tersisa setengah digelas cantik berkaki panjang itu dan menenggaknya sampai tandas.
Melihat bagaimana anggunnya wanita yang duduk dihadapnnya ini membuat Dru tersenyum. Ia melihat jejak anggur disana. Diulurkan tangannya dan diusapnya sisa anggur itu dengan menggunakan ibu jari.
"Aku ingin mengusapnya dengan bibirku, tapi aku yakin kamu tidak akan suka jika aku lakukan ditempat seramai ini."
Gerakan serta ucapan Dru kembali membuat Vallerie meremang. Ia tak bermaksd memancing Dru untuk melakukan hal semacam ini. Ia tahu ada sisa minuman disudut bibirnya, namun tangannya ternyata kalah cepat oleh Dru yang sudah mengusapnya terlebih dahulu. Bahkan bisa-bisanya berpikiran untuk menghapusnya dengan menggunakan bibir. Dasar pria gila!
"Kamu belum menjawab pertanyaanku!"
"Pertanyaan yang mana?"
Dru bedecak sebal. Sejak tadi Vallerie terus saja berkelit dan tidak dengan segera menjawab pertanyaannya. "Siapa namamu?"
Lagi-lagi Vallerie tak menjawab langsung pertanyaan mudah dari Dru. Wanita itu nampak berpikir dengan dahinya yang berkerut.
"Apa kamu lupa ingatan sampai kamu tidak ingat namamu sendiri? Apa perlu aku menyeretmu keranjang supaya kamu bisa berpikir jernih dan menjawab pertanyaanku dengan jelas!"
"Kenapa kamu terus memaksaku? Aku punya hak untuk tidak menjawab pertanyaanmu." Vallerie mendengus kesal dan memalingkan wajahnya kearah lain. Bibirnya mengerucut dan tentu saja hal itu semakin membuat gemas Dru yang sejak tadi ingin mengingit bibir ranum itu.
"Aku juga punya hak untuk tahu nama wanita yang menghangatkan ranjangku semalam! Bahkan disana masih terlihat jelas jejak yang aku tinggalkan ditubuhnya."
'Shit,' umpat Vallerie dalam hati. Ia menyesali keputusannya yang mengenakan jenis pakaian yang memperlihatkan leher serta dada bagian atasnya. Jelas-jelas disana masih terlihat sisa percintaan mereka semalam. Orang rabun pun bisa melihatnya.
Tadi Vallerie meminta Chaca untuk memberinya pakaian yang lebih tertutup supaya menutupi jejak berwarna ungu itu. Tapi Chaca tetaplah Chaca yang ingin melihat sahabatnya terlihat sempurna. Jadilah penyamaran jejak keunguan itu dilakukan dengan menggunakan pondation yang cukup tebal.
Chaca sempat derdecak kagum atas hasil karya pria yang membuatnya. Sialnya, malam ini Vallerie kembali bertemu dengannya dan membuat suasana hatinya menjadi canggung seperti ini. Oh, bukankan Vallerie juga berharap bertemu dengan pria ini juga? Benar-benar membingungkan.
"Karena kamu tidak mau menyebutkan namamu, maka aku akan memanggilmu dengan panggilan sesuka hatiku." Dru meninggalkan beberapa lembar uang diatas meja dan berdiri. "Ayo Sayang, kita pergi."
Dru mengulurkan tangannya dan sudah pasti diacuhkan oleh Vallerie. "Namaku bukan Sayang."
"Ternyata selain pelupa, kamu juga sedikit terganggu dengan pendengaranmu. Besok kita ke dokter dan periksakan penyakitmu itu." Dru tersenyum puas karena berhasil membalas kebisuan Vallerie dengan ucapannya.
"Aku tidak lupa ingatan dan aku juga tidak tuli." Vallerie berdiri dan berjalan melewati tangan Dru yang masih menunggu sambutan tangannya. Mana sudi dirinya menerima uluran tangan lelaki yang membuat suasana hatinya kacau seperti ini.
Jika memang ingin tahu nama dan sebagainya, tidak bisakah memintanya dengan sedikit manis? Bukan malah terus menggodanya dan membuatnya kesal seperti ini.
Dru mengikuti langkah Vallerie dengan tangan diselipkan kedalam saku celananya. Suasana jalanan masih cukup ramai malam ini, dan untuk pulang rasanya masih terlalu dini. Dru memikirkan langkah apa yang bisa menahan wanita itu kembali berada disisinya malam ini.
"Sayang, kenapa jalannya terburu-buru? Sudah tidak sabar untuk pulang dan berbagi kehangatan seperti semalam ya?"
Demi apa Vallerie ingin melempar tasnya pada pria itu karena berucap dengan suara keras diantara banyaknya orang yang berlalu lalang disana. Hal itu sudahlah pasti memancing tatapan aneh dari orang-orang yang mendengar ucapan Dru tadi.
"Damn you," maki Vallerie hanya dengan gerakan bibirnya saja. Ia tak bermaksud sekasar itu, tapi hatinya sudah terlanjur sebal karena ulah pria yang masih berjalan dibelakangnya.
Melihat langkah Vallerie yang semakin cepat dan sudah melewati mobilnya, Dru mempercepat langkahnya pula dan mengejar Vallerie. Diraihnya tangan wanita itu dan ditariknya dengan keras agar Vallerie tak terus menjauh darinya.
"Lepaskan. Aku mau pulang." Vallerie berusaha melepas tangannya sambil mengeluarkan ancaman, "Aku akan berteriak dan hmmmpp-"
Belum selesai Vallerie berbicara, Dru sudah membungkamnya dengan ciuman dibibir wanita itu. Ditangkupnya pipi Vallerie dengan kedua tangannya. Ia tak mau Vallerie kembali menghindarinya seperti tadi.
Meski Vallerie belum mau menyambut ciumannya, tapi Dru terus memberikan serangannya agar wanita itu luluh padanya. Tak ada satu wanitapun yang berhasil lepas dari ciuman maut Dru, termasuk Vallerie. Tangan yang sedari tadi mengerat dan memukul dada bidang laki-laki kurang ajar itu, lambat laun mulai melemah.
Lelah juga menghadapi keras kepalanya Dru yang tak mau mengalah padanya. Akhirnya Vallerie menyerah dan menikmati ciuman pria itu. Tanggannya menggantung lemas disisi kanan dan kirinya.
"Aku akan mengantarmu pulang jika itu yang kamu inginkan." Dru mengusap bibir Vallerie yang bengkak akibat ulahnya itu. Dihapusnya jejak saliva yang ia tinggalkan disana.
Dru melepaskan jas yang masih melekat ditubuhnya dan menyampirkan dibahu Vallerie. Udara malam ini cukup dingin dan Dru paham, Vallerie pasti kedinginan dengan pakaiannya yang terbuka itu.
Bagi orang-orang yang melihat adegan romantis ini menyangka mereka adalah sepasang kekasih yang sedang bertengkar dan sang pria berusaha mengejar pujaan hatinya. Tapi nyatanya lebih rumit dari pada itu.
"Dimana alamat rumah kamu?" tanya Dru dengan tangannya masih sibuk memutar kemudinya. "Diammu aku anggap kamu mau kembali bermalam diapartemenku malam ini."
"Tidak. Aku mau pulang." Vallerie langsung menyebutkan alamat rumahnya dengan cepat dan Dru hanya mengangguk sambil terus fokus pada jalanan. Menikmati alunan musik yang sempat ia nyalakan tadi sebagai pemecah kesunyian diantara keduanya.
"Namaku Dru Davidson," ucap Dru tiba-tiba. "Sebenarnya aku ingin bicara banyak hal, tapi sepertinya kamu terlalu lelah. Jadi aku hanya ingin mengatakan satu hal." Dru menghela napasnya sejenak sebelum melanjutkan bicaranya. "Aku tertarik padamu dan mulai saat ini aku akan mengganggu kehidupanmu. Bersiaplah untuk itu!"
To Be Continue...