Amora dan Arumi terpaut usia satu tahun sedangkan Azalea dan Andara terpaut usia satu tahun dan tentunya Arumi dan Andara seumuran. Meski begitu, ke empat keturunan Blenda begitu akur dan saling menyayangi.
Romi dan Zidan adalah saudara sekandung, dan tak memiliki saudara lain, keduanya sama-sama merupakan CEO di salah satu perusahaan ternama di kota tempat tinggal mereka.
Meski keduanya saudara dan di lahirkan dari rahim yang sama, Romi dan Zidan memiliki kepribadian yang sungguh jauh berbeda. Romi yang masih begitu mementingkan egonya dan harus mencapai semua keinginannya. Semua harus terlihat sempurna sesuai dengan keinginannya. Sementara Zidan, ia memiliki sifat yang begitu dewasa di bandingkan dengan saudaranya. Zidan selalu punya cara untuk membahagiakan keluarganya, saling bertukar pikiran dengan Bella dan mempertimbangkan semua keinginan istrinya.
***
"Mama, Papa....." Teriak Andara dan memecahkan keheningan di dalam rumah megah mereka.
Zidan dan Bella segera keluar rumah, melangkah tergesa-gesa karena panik akan teriakan dari Raihana.
"Kamu kenapa teriak-teriak Hana?" tanya Zidan yang begitu panik.
"Kakak pingsan Pa." jawab Andara tak kalah panik
Zidan dan Bella segera menemui Razeta yang sudah tergeletak di bangku taman. Begitu khawatir dan paniknya pasangan suami istri itu. Zidan lalu membopong tubuh Razeta dan meletakkannya di kursi belakang mobil bersebelahan dengan Bella yang kinintak hentinya menangis dan memeluk tubuh Azalea dengan cemasnya.
Jika Azalea sudah pingsan, pasti semua akan panik, di karenakan tubuhnya yang begitu lemah. Azalea tidak boleh terlalu banyak beraktivitas. Tapi, Bella dan Romi juga tidak bisa membatasi aktivitas anaknya yang masih ingin belajar dan mengenal dunia. Tak ingin jika Azalea kehilangan masa kecilnya akibat kesehatannya yang begitu lemah.
Mungkin, jika ini ada di posisi orang tua lain, mereka akan memperketat aktivitas anaknya yang memiliki kelemahan. Sehingga membuat anak itu sendiri menjadi murung dan sedih karena kehilangan masa kecilnya. Bahkan keceriaannya juga ikut hilang.
"Sayang, jangan buat mama khawatir. Ayo bangun nak. Mama disini." resah Bella yang masih mendapati Azalea belum sadarkan diri.
"Maafi aku ya Ma, gara-gara aku kakak jadi sakit lagi." rasa bersalah menyelimuti diri Andara.
"Gak ada yang salah sayang. Kita berdoa buat kesembuhan kakak kamu ya?" Bella berusaha memberi pengertian untuk Andara agar dirinya merasa tenang.
"Ia Ma."
Sesampainya di rumah sakit, Azalea langsung di larikan ke ruangan UGD (Unit Gawat Darurat) untuk mendapatkan penanganan awal. Yang sementara waktu dapat menyelamatkan nyawa pasien. Jika butuh penanganan dan pemantauan ketat, pasien akan di masukkan ke ruang ICU (Intensive Care Unit).
Sementara Azalea masih dalam penanganan, Zidan, Bella dan juga Andara terus berdoa untuk kesembuhan kakaknya.
"Maaf, apa saya bisa berbicara dengan orang tua pasien?" tanya salah satu dokter yang menangani Azalea
"Ia dok, saya ayahnya." balas Zidan yang langsung di ajak oleh dokter untuk keruangan kerja nya. Agar bisa berbicara serius mengenai penyakit Azalea
"Begini pak, mengenai pasien. Kita harus menjaga aktivitasnya. Untuk sementara, biarkan dia beristirahat lebih banyak. Jika tidak, dia akan sulit untuk bertahan."
"Maksud dokter?" tanya Zidan yang begitu khawatir
"Begini pak, bayi yang lahir sebelum waktunya atau bahkan memiliki bobot lahir yang kurang, berisiko tinggi menderita komplikasi seperti gangguan pernapasan dan juga jantung yang lemah, untuk itu kita akan melakukan USG jantung dan Paru-paru atau ekokardiografi." Dr. Riyan menjelaskan.
"Lakukan yang terbaik untuk kesembuhan anak saya Dok. Berapa pun biayanya pasti akan saya siapkan. Asal anak saya bisa kembali sehat." Zidan memohon agar Azalea mendapatkan penanganan yang intensif
Setelah keluar dari ruang Dr. Riyan. Sebisa mungkin Zidan tidak menampakkan raut wajah prustasinya. Ia tidak ingin membuat Bella, istrinya bersedih begitu juga dengan Raihana, Zidan tak ingin melihat wajah sedih dan kecewa atas perkataan dokter mengenai kondisi Azalea.
***
"Mami udah baikan?" tanya Arumi saat melihat Syina sudah duduk dan bergabung di ruang makan untuk sarapan bersama.
"Ia sayang. Maaf ya? Semalam Mami gak ketemu sama kalian, padahal Mami ingin sekali lihat hasil belajar kalian." ucap Syina penuh dengan rasa sesak yang masih menyelimutinya. Berusaha menyembukan itu semua di hadapan kedua putrinya.
"Kita baik-baik aja di sekolah Mi, bahkan Arumi Minggu depan akan mengikuti lomba menari antar sekolah." Balas Arumi begitu bersemangat
"Wah, kamu hebat sayang. Mami bangga sama kamu."
"Mami janjinya? Harus lihat aku tampil."
"Ia sayang, kita sarapan yuk. Perut Mami udah laper banget." ucap Syina dengan mengusap perutnya.
Romi tersenyum bahagia, melihat keharmonisan keluarganya pagi ini. Melihat senyum indah terpancar dari para bidadarinya. Sesungguhnya, ia tak ingin bertengkar dengan Syina. Ia hanya ingin, Syina menuruti semua keinginannya dan menjadi istri dan ibu yang selalu berada di rumah dengan semua tanggung jawabnya.
Menjalankan semua perannya sebagai istri dan juga ibu tanpa harus bergaul di luar rumah, atau sekedar berkumpul bersama teman-temannya. Hal itu sangat tidak di inginkan Romi. Baginya teman Syina hanya akan membuat dirinya kehilangan waktu dan perhatian dari istrinya. Berkumpul bersama teman hanya membuang-buang waktu berharga istrinya bersama kedua putri mereka.
Melihat suasana di ruang makan pagi ini, membuat hati Romi begitu merasakan kehangatan keluarga, setidaknya bisa membuatnya sedikit lupa akan pertengkaran keduanya.
"Papi kenapa senyum-senyum sendiri." tanya Amora.
"Papi, gak pa-pa kok. Papi lagi bahagia aja. Lihat kita bisa berkumpul bersama seperti ini."
"Papi aneh banget sih, setiap hari juga kita seperti ini." ungkap Amora.
Tiba-tiba benda pipih yang berada di meja,di samping kanannya berdering.
"Zidan." ucap Romi saat melihat pada layar ponselnya, segera ia menghentikan aktivitas makannya dan mengangkat ponsel, menekan layar berwarna hijau yang terus bergerak.
"Hallo."
"Assalamualaikum Mas." ucap salam Zidan, begitu ponselnya tersambung.
"Waalaikumsalam, kamu ada apa nelpon Mas pagi-pagi begini?"
"Aku mau ngabari Mas. Kalau Al drop dan dirawat di rumah sakit."
"Ya udah, kamu tunggu disana ya. Aku dan Syina segera kesana." ucap Romi, begitu mendapat jawaban dari adiknya, panggilan pun berakhir.
"Arumi sama Amora udah selesai makannya? Gimana kalau hari ini, Papi sama Mami yang antar kalian?" tanya Romi.
"Asyik.... Kita senang banget Pi, Mi." ungkap keduanya yang kemudian mengambil tas masing-masing dan segera berangkat ke sekolah.
Syina sebenarnya malas, hari ini harus berada dalam satu mobil bersama Romi. Ia masih sangat sakit hati atas perlakuan Romi semalam kepadanya. Tapi, ia juga tidak bisa mengganti raut wajah bahagia kedua anaknya dengan wajah kecewa, jika ia menolak perkataan Romi.