Abella bukan wanita yang biasa yang selalu bisa mengatakan iya ketika rasa sakit sudah pernah ia rasakan. Meski, seorang pangeran yang ia impikan benar-benar datang dalam hidupnya.
"Abella, kau kenapa?" Suara tak asing itu membuat kepala wanita cantik tersebut memutar ke arah pusat suara. "Hei, kenapa jadi sedih begitu?" Dia mendudukan tubuh di bangku besi bercat hitam, tepat di samping kursi roda Abella.
Kepala itu memiring mencoba membaca apa yang tengah menjadi penganggu di pikiran Abella. Karena tidak ada suara sepatah kata pun yang dapat mengobati rasa penasaran dari seorang pelayan itu.
Lebih tepatnya, pelayan yang telah dianggap Abella sebagai sahabat sendiri. Sejak lahir mereka selalu bersama, sayang seluruh takdir memaksa mereka untuk menjalani apa yang telah digariskan.
"Nona Abella, kau marah padaku karena terlalu lama?" Ulangnya lagi membuat Abella juga kembali memutar kepala dengan kedua alis menurun.