Chereads / NANGGALA / Chapter 3 - (E)stri

Chapter 3 - (E)stri

Rini baru selesai menjalankan sholat dhuhur, sang suami sudah pergi sejak subuh tadi. Pergi ke pangkalan untuk nanti selepas sahur pergi latihan bertempur. Tidak lama katanya, hanya beberapa jam di bawah permukaan laut.

Rini melipat mukena dan sajadahnya ketika kemudian ponselnya berdering. Ada panggilan masuk, pasti dari sang suami bukan? Dengan penuh semangat ia meraih dan mengangkat panggilan itu.

"Hallo, Assalamualaikum, Sena-ku," jawab Rini sambil tersenyum.

"Waalaikumsalam Jala-ku, sedang apa ini? Sudah makan?" suara lembut nan tegas itulah yang selalu Rini rindukan, membuat semangatnya meletup sempurna ketika mendengar suara itu.

"Habis sholat, Sayang. Sudah sholat belum?" Rini menyandarkan tubuhnya di kasur, ia masih duduk di lantai, sambil memeluk mukena dan sajadahnya.

"Alhamdulillah sudah Sayang, tadi bareng-bareng sama temen-temen satu kru. Sudah makan? Kok pertanyaannya nggak dijawab? Jagoan ku baik-baik saja kan?"

Rini tertawa, ia sungguh tersentuh dengan segala macam sikap manis sang suami itu.

"Sudah Sayang. Sudah makan, sudah minum susu, vitamin sudah masuk. Jangan khawatir, asupan untuk calon marinir mu aman," Rini refleks mengelus lembut perutnya yang besar itu, entah mengapa rasanya ia sudah benar-benar tidak sabar.

"Sip! Bagus. Terima kasih banyak sudah menjaganya dengan baik selama ini, Sayang."

"Dia kan anak aku juga Sayang, jangan khawatir. Aku akan menjaganya dengan baik."

"Oke, aku percaya. Oh ya, selepas sahur nanti aku berangkat ya, naik Nanggala."

Senyum Rini lenyap, entah mengapa setiap suaminya mau pergi entah latihan perang, entah misi menyelam dan lain sebagainya, ia menjadi benar-benar risau. Pasalnya tidak ada yang tahu bukan ada apa di balik dalamnya laut? Apa yang akan terjadi? Terlebih setiap dia hendak menyelam, ada kalimat sakral yang selalu Roni ucapkan, sebuah kalimat yang sangat Rini benci setengah mati!

'Jika aku sedang menyelam di bawah air, maka anggap saja aku sudah mati, jangan berharap apa-apa, karena semuanya bisa terjadi di bawah sana.'

Ya ... Rini benci kalimat itu, sangat benci!

"Berapa lama sih, Sayang?" hari ini benar-benar tidak nyaman, biasanya memang ia selalu khawatir, hanya saja kali ini rasanya begitu lain.

"Nggak lama Sayang, hanya beberapa jam. Peluncuran torpedo dan udah nanti baik lagi."

Rini menghela nafas panjang, beberapa jam di bawah sana apakah itu bisa menjamin bahwa suaminya itu akan baik-baik saja?

"Oke, hati-hati. Jangan lupa sholatnya, Sayang." akhirnya Rini mencoba menekan semua perasaannya, ia mencoba menekan segala macam perasaan risau, ragu dan khawatirkan itu jauh-jauh. Bukankah resiko menjadi isteri abdi negara adalah seperti ini?

"Pasti, kamu juga ya. Jangan lupa sholatnya, jangan lupa makannya, Abang sayang kamu, Dek."

Air mata Rini mengambang, sebenarnya Roni tidak perlu mengatakan hal itu, ia sudah tahu dan mengerti betul bahwa sang suami begitu mencintai dirinya. Namun entah mengapa, kali ini kalimat itu benar-benar terdengar indah di telinga Rini, sangat indah.

"Aku juga sayang banget sama kamu, Bang. Cepet baliknya, temenin aku lahiran." Rini menyeka air matanya, dadanya berubah sesak, rasanya ia ingin menangis keras-keras.

"Insyaallah, Sayang. Insyaallah ...," tampak helaan nafas itu terdengar, "Abang tutup dulu ya, kamu baik-baik di rumah, titip calon marinirku, jaga dia baik-baik, didik yang baik supaya kelak ketika dewasa nanti ia bisa jadi prajurit pembela bangsa kebanggaan negara."

***

Suara adzan subuh menggema begitu merdu, membuat Rini mengerjapkan matanya dan menguap sesaat. Astaga, bukankah tadi selepas sahur suaminya berangkat menyelam? Kenapa ia sampai lupa?

Rini bergegas meraih ponselnya, membuka aplikasi WhatsApp. Ada pesan masuk dari Roni, beberapa jam yang lalu.

[Jala-ku ... Aku berangkat sayang, jangan lupa sholatnya, jaga anak kita baik-baik.]

Rini tersenyum, ia bergegas membalas pesan itu. Check list satu. Rini merasa hampa, entah mengapa ia berharap pesannya menjadi check list dua, dari abu-abu berganti biru dan dibalas oleh sang suami. Namun setelah beberapa saat menanti, pesan itu tidak lantas berubah.

Rini menutup pesan itu, ia melihat grup WhatsApp Jalasenastri begitu ramai, ada apa? Karena penasaran, Rini membuka grup para isteri anggota TNI AL itu.

Mata Rini terbelalak membaca pesan-pesan apa yang masuk dan menjadi perbincangan di dalam grup.

[Kita doakan semoga Nanggala segera di temukan ya ... jangan putus doa.]

[Mereka hilang kontak setelah melapor hendak meluncurkan torpedo.]

[Kabar dari pusat, sudah diturunkan tim untuk pencarian Nanggala, kita bantu doa dari rumah.]

[Semoga segera ditemukan, cadangan oksigen hanya bisa untuk 72 jam kedepan.]

Sontak Rini lemas, air matanya menitik. Jadi Nanggala, kapal selam yang membawa suaminya itu hilang? Kapal selam itu hilang? Rasanya dunia Rini luruh seketika! Apa kabar suaminya? Apakah dia selamat? Dia baik-baik saja bukan? Pasti hanya ada kesalahan komunikasi antara kapal dengan pusat induknya, kapal itu tidak benar-benar hilang! Tidak!

Rini sudah tidak sanggup lagi membaca pesan-pesan yang masuk ke grub, dadanya sesak luar biasa. Air matanya banjir. Ia syok, terpukul, sedih dan takut.

Bagaimana kalau Roni tidak akan naik ke permukaan lagi? Bagaimana kalau Roni kemudian lebih mencintai jala yang itu daripada dia? Bagaimana?

Rini terisak sambil mengelus lembut perutnya, bahkan Roni belum pernah melihat anak mereka bukan? Tinggal selepas lebaran mereka kemudian ganti status menjadi orang tua, namun kenapa harus ada tragedi ini?

"Nggak ... nggak mungkin, mereka baik-baik saja! Mereka prajurit AL, ahli berenang kan? Mereka akan tetap baik-baik saja." racau Rini dengan air mata menitik.

Mendadak ia teringat apa yang suaminya ucapkan ketika mereka sudah resmi menikah dulu.

'Bagi kami para prajurit, secara tidak langsung kami sudah dipersiapkan untuk mati demi membela negara ini, Rin. Apapun itu, kami telah melakukan apapun demi menjaga kedaulatan negara kita. Jadi kau sudah tahu bukan apa resiko-resiko menjadi isteri prajurit? Kamu harus siap ditinggalkan kapan pun. Entah ditinggal bertugas, atau ditinggal pergi untuk selama-lamanya demi membela negara, kamu sanggup?'

Rini menggelengkan kepalanya. Tidak! Kalau sekarang ia tidak sanggup. Tidak masalah ia ditinggal bertugas selama apapun, asal suaminya kembali. Ia belum siap kehilangan untuk selamanya! Tidak!

Ia masih ingin bersandar manja di bahu suaminya, ia masih ingin bercengkrama berdua membahas masa depan mereka, dan jangan lupa ... bulan depan anak mereka lahir! Dan dia belum pernah melihat bapaknya, belum pernah digendong sang bapak. Siapa nanti yang akan mengazani anaknya ketika lahir? Siapa?

Rini benar-benar syok setengah mati, rasanya ia tidak sanggup lagi berdiri, namun ketukan pintu yang begitu keras itu membuatnya terpaksa bangkit dan perlahan-lahan melangkah ke luar kamar.

Dengan lemah, Rini memutar kunci, menekan knop pintu dan membuka pintu itu perlahan-lahan. Tangisnya sontak pecah ketika menemukan bapak dan ibu mertuanya sudah berdiri dengan linangan air mata di depan pintu rumah.

"Bu ... berita itu bohong kan, Bu? Kapalnya nggak hilang kan? Mas Roni baik-baik saja kan, Bu?"

Namun Siti Munawaroh, sang ibu mertua itu hanya tersenyum getir dengan air mata yang membanjiri wajahnya, meraih Rini dalam dekapannya dan meledak lah tangis mereka berdua.

"Nggak mungkin, Bu ... nggak mungkin!"