Satu hari sebelum Suri menghilang.
Clarke Mansion, Jenewa, Swiss. 8.00 AM.
Begitu mendapatkan perintah dari sang kakak yang memintanya pindah ke Luksemburg senyum diwajah cantik Suri menghilang berganti dengan kesedihan yang tidak bertepi, Asher yang sudah melakukan berbagai cara untuk membuat Suri tersenyum lagi benar-benar kepayahan. Menghadapi kemarahan Suri adalah satu hal yang masih belum Asher bisa lakukan dengan baik meskipun dia sudah tinggal bersama keluarga orang tua angkatnya selama lebih dari tujuh belas tahun. Dibawa pindah ke Jenewa saat usianya menginjak empat tahun saat Suri sudah berumur dua tahun kala itu membuat Asher sangat dekat dengan Suri, akan tetapi kedekatan itu tidak berarti banyak karena Suri tetap tidak bisa dia atur.
Dalam hidup seorang Suri Mireya Clarke hanya ada dua orang yang ditakuti, pertama sang ayah dan kedua kakak kandung satu-satunya, Christian Clarke. Suri hanya takut pada kedua orang itu, meskipun rasa takutnya pada Christian jauh lebih besar.
"Kenapa si kita harus pindah ke Luksemburg?"
"Aku tidak suka negara itu, negara itu terlalu kecil."
"Tidak ada hal menarik yang bisa aku lakukan disana."
"Asher bantu aku berpikir!"
"Akhhh aku benci kakak!"
Teriakan demi teriakan terdengar di kamar Suri yang berada dilantai dua, Asher yang sedang berdiri didekat pintu hanya bisa menjadi pendengar yang baik sekaligus sasaran kemarahan Suri yang sedang membabi buta.
Namun, meski sedang marah dan kesal akan keputusan kakaknya yang memintanya untuk datang ke Luksemburg secepatnya Suri tetap merapikan barang-barang pribadinya ke dalam tas ransel berbentuk Leopard.
"Apalagi yang bisa aku bantu, Suri?" tanya Asher pelan menawarkan bantuan tidak lama setelah Suri selesai memasukkan foto keluarga kedalam buku hariannya yang menjadi penghuni ransel Leopard terakhirnya.
Suri langsung menoleh ke arah Asher dengan cepat. "Hubungi kakakku dan katakan padanya aku tidak mau pindah."
Asher mengangkat kedua tangannya ke udara. "Maaf kalau satu itu aku tidak bisa, aku menyerah."
"Cih, pada Christian saja takut," cibir Suri ketus.
Asher hanya tersenyum mendengar cibiran Suri, dia tidak memiliki sedikitpun niat untuk membalas cibiran Suri. Asher tahu kalau dia melayani provokasi yang Suri lakukan saat ini maka rencananya untuk memastikan Suri merapikan semua barang-barangnya akan semakin lama. Melihat Asher tidak terpancing Suri semakin kesal, di usianya yang sudah menginjak sembilan belas tahun Suri tidak pernah semarah ini.
"Aarggghh ini gara-gara Mommy dan Daddy!" jerit Suri tiba-tiba. "Kalau saja mereka tidak ke Norwegia mungkin saja aku tidak diminta pindah oleh kakak huhuhuh..."
Asher yang sejak tadi melipat tangan sambil bersandar di dinding langsung berlari ke arah ranjang dimana Suri berada, melihat Suri menangis adalah hal yang paling tidak disukainya sejak kecil.
"Hei little rabbit, don't cry."
"Asher!!"
Asher terkekeh geli, melihat Suri langsung bereaksi atas panggilan kecil yang baru saja dia ucapkan.
"Kau sudah besar, Suri. Tidak pantas kalau menangis, enam bulan lagi kau berulang tahun yang ke dua puluh," ucap Asher lembut seraya membelai-belai kepala Suri.
Suri mengangkat kepalanya menatap Asher yang sedang tersenyum kepadanya. "Aku masih kecil, Asher. Aku tidak mau tua!"
"Setiap orang itu pasti bertambah tua, Suri. Tidak ada orang yang bertambah muda di dunia ini, kecuali dalam film."
"Aku tidak mau punya kerutan, aku tidak mau tua!" kekeh Suri keras kepala.
Asher terkekeh. "Memangnya semua orang yang tua akan memiliki kerutan, begitu? Coba lihat Aunty Anne, sampai saat ini tidak ada kerutan sama sekali di wajahnya, bukan? Come on Suri, jaman sudah canggih. Banyak dokter hebat di dunia ini, klinik kecantikan juga menjamur. Kau bisa melakukan banyak perawatan di klinik terbaik dengan tenang. Jangankan kerutan, flek hitam dan masalah kulit lainnya akan hilang dengan mudah di tangan dokter."
"Benarkah?"
"Iya, bukankah kau sudah lihat buktinya sendiri? Aunty Anne adalah bukti nyata, Suri. Jadi kau tidak usah takut lagi akan menjadi tua," imbuh Asher kembali, mencoba menyakinkan Suri.
"Kalau aku sudah tua apakah semua orang masih sayang padaku, Asher?"
Asher langsung melepaskan pelukannya dari Suri dengan cepat. "Kau bicara apa? Tentu saja masih, kau adalah princess dikeluarga ini, Suri. Semua orang sayang padamu. Uncle Jack, Aunt Anne, Christian, Grandpa Luis dan aku. Kami semua menyayangimu melebihi apapun, jadi jangan bicara macam-macam lagi."
"Kalau terjadi hal buruk padaku apakah kalian akan..."
"Shhhh...jangan bicara lagi. Lebih baik kita makan ya, perutku sudah lapar. Sejak tadi mengawasimu merapikan barang-barang membuatku lapar, kau juga belum makan, bukan?"
Suri menggelengkan kepalanya dengan air mata yang masih tertinggal di wajahnya, melihat itu Asher tersenyum geli. Perlahan Asher menggerakkan tangannya menyeka air mata Suri dengan lembut. "Katakan padaku, kau ingin makan apa? Aku akan memasaknya secara khusus untukmu."
"Benarkah? Asher tidak sedang berbohong kan?" Kedua mata biru sejernih lautan itu berbinar-binar mendengar perkataan Asher.
"Aku tidak akan pernah berbohong padamu, Suri."
"Yeee..kalau begitu aku mau di masakan kalkun panggang. Aku mau menghabiskan satu porsi seorang diri tanpa harus memikirkan timbangan," jawab Suri dengan penuh semangat.
"Menghabiskan satu porsi kalkun panggang seorang diri?"
Suri menganggukkan kepalanya penuh semangat seperti anak kecil. "Iya!" jawabnya tanpa ragu.
"Baiklah, kalau begitu aku akan memasaknya untukmu. Kalau begitu kita ke pantry bersama-sama, ya," ajak Asher lembut.
"Hu'um."
Tanpa keraguan Suri menerima uluran tangan Asher dan segera keluar dari kamar dengan desain serba pink itu menuju lantai satu, memiliki usia yang tidak terlalu jauh membuat Suri dan Asher menjadi sangat dekat. Keduanya saling mengerti, meskipun diatas kertas Asher-lah yang harus lebih banyak mengalah. Walaupun begitu tetap saja rasa takut Suri pada Christian masih diatas segala-galanya. Kakak kandungnya itu terlalu dingin dan tidak mudah ditebak, karena itu Suri tidak akan bisa bermanja-manja seperti ini kepadanya jika tidak harus dengan memohon-mohon terlebih dahulu.
***
Dubai, UAE 10.00 AM.
"Pergilah Zee, dia sudah bergerak. Kau harus menyelamatkan gadis yang tidak berdosa itu, jangan buat lagi seorang ibu menangisi anak gadisnya yang dijual paksa."
Seorang gadis berambut pirang yang tengah merapikan barang-barangnya ke ransel mengangguk pelan, merespon perkataan seorang laki-laki yang sedang berbicara dengannya melalui earphone yang terpasang di telinganya.
"Aku tahu, kau tenang saja, Max. Sasaran lelaki brengsek itu sudah aku ketahui."
"Good, pergilah Zee. Jangan takut, Tuhan ada bersamamu. Dia yang akan melindungimu Zweta."
Gadis cantik yang bernama Zweta itu tersenyum. "Yes, i Know. God will be protect me."
Bersambung