Chereads / REYNA THE WITCH / Chapter 2 - Chap 2 She's a witch

Chapter 2 - Chap 2 She's a witch

Benarkah dia penyihir yang membunuh keluarganya ? Apa dia punya kekuatan seperti itu ? Tidak mungkin.. saat itu dia hanyalah seorang gadis kecil yang masih merengek pada ibu dan ayahnya. Dan dia tidak akan setega itu membunuh keluarganya. Pasti ada yang salah dengan informasi itu.

Reyna berumur 13 tahun saat dia mengetahui kronologi peristiwa yang membunuh keluarganya dan terkadang dia hampir mempercayai keseluruhan berita yang ditangkapnya. Namun, lagi-lagi batinnya menolak mempercayainya. Tidak mungkin semua terjadi karena ulahnya adalah satu-satunya hal yang dipercayainya.

Tepat pukul 06.00 pagi alarm di hp nya berbunyi, dia mengambil hp yang disimpannya dibawah laci dan mematikannya. Lima belas menit lagi, teman kerja nya akan mengganti shiftnya dan selama menunggu, Reyna menghampiri tiap-tiap rak belanja dan merapikannya. Untungnya setiap malam tidak ada pelanggan yang berniat jahat untuk mengelabuinya atau macam-macam dengannya dan mungkin salah satu alasannya karena tampangnya yang selalu bengong, rambutnya yang tidak teratur dan wajahnya yang pucat namun dia memiliki tatapan tajam yang menusuk. Dan mungkin karena itulah bos pemilik minimarket ini mempercayai nya untuk bekerja shift malam disini.

Sebuah perasaan merinding tiba-tiba dirasakannya lagi. Bulu kuduknya meremang dan dingin aneh mulai menusuknya dan dia tahu entah dibelakangnya, disampingnya atau diatasnya ada sosok mengerikan muncul lagi.

Hantu, Ya dia bisa melihatnya. Sangat jelas dan terkadang mengagetkannya dengan tiba-tiba. Awal dia bisa melihat hal-hal gaib seperti itu adalah saat dia terbangun dikamar rumah sakit yang membawanya dari rumah kediamannya setelah tragedi naas yang menimpa keluarganya. Dia berteriak seperti orang gila saat sosok-sosok itu muncul dan menghilang di depan matanya, namun tidak ada yang melihatnya. Hanya dia seorang dan hal itu mengasumsikan orang-orang bahwa dirinya telah kehilangan akal sehat. Dia dirawat dirumah sakit jiwa selama empat tahun dan sosok itu tidak juga menghilang dari pandangannya. Dia ketakutan seorang diri tapi dia tidak punya seseorang untuk menolongnya. Dan selama empat tahun itu, membuat hatinya keras dan bahkan muak akan hal-hal aneh yang dilihatnya.

Jadi dia bertahan untuk tidak takut dan menekan perasaannya. Sungguh, saat itulah keadaan yang terburuk, sosok hantu yang muncul dihadapannya sungguh bermacam-macam dengan keadaannya masing-masing, kulit yang remuk, darah yang mengering dikepala, muka yang hancur, mata yang tercungkil dan segala jenisnya lagi yang tidak ingin diingatnya lagi. Namun, dia harus bertahan untuk tidak menjerit. Dia tidak ingin hidup dibalik pintu rumah sakit yang terkunci selamanya. Jadi dia menutup matanya sepanjang hari dan hampir setiap hari. Yang dia tahu, para hantu itu tidak bisa menyentuhnya dan itu menguntungkannya tapi tetap saja dia harus berjuang dari perasaan takut yang menggelugutinya.

Dan begitu dia dinyatakan baik-baik saja dan diperbolehkan pulang kerumahnya, hatinya sudah mengeras, perasaanya membatu dan dia mulai tidak peduli akan dunianya. Tepat saat itu dia berumur 12 belas tahun dan memasuki masa SMP nya, namun bukannya sekolah biasa, dia malah di masukan ke sekolah Asrama Perempuan yang mengajarkannya banyak paham tentang agama.

Dia tentu saja percaya akan hal-hal seperti itu namun keluarganya berkeyakinan lain dan sejak kecil dia sudah terbiasa dengan cara dan kepercayaan keluarganya. Jadi bersekolah di asrama seperti itu membuatnya sulit berkonsentrasi. Namun, tetap saja dia bertahan, berkelit dengan pihak Dinas Sosial yang mengawasinya akan berbuntut panjang lagi.

Sekolahnya tidak berbeda dengan sekolah biasa namun dia harus banyak menghafal kata-kata yang tidak dipahaminya, tapi satu hal yang disukainya dari sekolah ini adalah mereka tidak diwajibkan untuk memakai kerudung. Dan hal itu membuatnya menghargai sekolah ini. Tidak ada yang menyenangkan dari sekolahnya, oh.. ada !! Hantu yang dilihatnnya disini berbeda dengan biasanya. Kulit mereka pucat bersih dan tidak ada bercak darah yang menempel ditubuhnya dan dia sedikit berharap bahwa jangan ada lagi sosok-sosok mengerikan yang menghampirinya. Tapi tentu saja dia akan salah karena dia tidak pernah berhenti melihat hal-hal seperti itu.

Tujuh tahun dia bersekolah dan ketika dia sudah akan meninggalkan asrama, seorang gadis yang sekamar dengannya memberi sebuah gelang untuknya. Dia bilang benda itu bisa melindunginya. Well, Reyna tidak percaya ada benda seperti itu, tapi dia tetap menerimanya. Namanya Linda, dia jarang berbicara padanya namun terkadang Linda memperhatikannya dengan aneh dan Reyna hanya berharap semoga saja gadis itu tidak menganggapnya gila.

"Terima kasih" Ucap Reyna sebelum Linda beranjak pergi

Linda membalasnya dengan tersenyum dan mengangguk "Kau lihat bandul kristal yang tergantung digelang itu ?"

"Ya ?"

"Kau tahu dikampungku, kristal seperti itu dipercaya sebagai penangkal bahaya. Jadi jika ada apa-apa yang mengganggumu kau hanya perlu menggenggamnya" Ujar Linda penuh semangat

"Oh.. Ya, terima kasih" Reyna menatap gelang yang dipegangnya dengan tertarik dan dia tersenyum geli pada Linda "Aku tidak tahu kau percaya pada benda-benda seperti ini ?"

"Hei, tidak ada salahnya untuk percaya kan. Lagipula ibuku memberinya padaku"

Reyna menatap Linda tidak percaya "Dan kau memberinya padaku begitu saja ?"

"Aku sudah punya banyak" Linda tersenyum

"Kau tahu.. tidak ada yang memberiku hadiah sebelumnya"

"Ya.. mungkin saja tidak, jika kau mencoba akrab pada teman-teman yang lain"

Reyna tersenyum "Ya, mungkin saja"

Linda merogok tasnya dan mengambil sebuah buku lalu menuliskan sesuatu, Reyna tidak tahu apa yang gadis itu lakukan tapi dia tetap diam menunggu ditempatnya.

Kemudian Linda merobek kertas dibuku itu dan menyodorkannya pada Reyna

"Ini alamat rumahku, nomor hp ku juga sudah kutulis.. jadi kalau kau butuh sesuatu atau mungkin teman bicara.. kau bisa mencariku atau meneleponku mungkin"

Reyna terdiam sesaat menatap kertas bertuliskan alamat dan nomor hp Linda itu, dia tidak tahu harus senang atau sedih menerimanya karena dia sangat ingin memiliki seorang teman tapi dia tahu kehidupannya tidak begitu menyenangkan untuk memiliki seorang teman. Tapi tetap saja dia tersenyum "Ya, baiklah"

"Aku pergi ya ! Sampai ketemu lagi, Rein"

Rein ? Sudah lama tidak ada yang memanggilnya seperti itu. Entah kenapa Linda memanggilnya Rein, tapi Linda sudah berlari pergi dan Reyna tidak sempat bertanya.