Sang supir taksi membawanya ke tempat tujuan yang tidak tahu ia akan tuju kemana, hanya mengatakan yang penting tempat itu lebih jauh, dan dengan harga yang murah. Sembari melihat deretan apartemen yang berjejer rapi tiba-tiba saja taksi tersebut berhenti.
"Apa kita sudah sampai, Pak?" tanya Anna sembari menatap kearah luar.
"Sudah, Dek. Kebetulan apartemen di sini murah-murah, tapi kamarnya cuma ada satu terus kecil lagi ditambah ruang tamunya enggak ada, gimana tuh, Dek? Boleh enggak? Ini yang paling murah loh yang bisa saya kasih. Kalau ke apartemen yang lebih besar dari ini ada cuma ... ya harganya juga lumayan besar," ungkap Bapak taksi itu dengan jelas yang berusaha membantu Anna.
"Oh ... tidak masalah kok, Pak. Yang terpenting sudah bisa dapat tempat tinggal. Kalau boleh tahu pemiliknya tinggal di apartemen yang mana ya, Pak?" tanya Anna seraya memandangi deretan apartemen itu.
"Itu yang apartemennya lebih besar di paling kiri itu. Nanti langsung saja tanya ke situ mungkin masih ada yang kosong," jelas Pak taksi itu lagi sambil menunjuk kearah tempat itu.
"Baik kalau begitu terima kasih banyak, Pak. Oh ya ini ongkosnya," sahut Anna sembari menundukkan kepalanya mengucap terima kasih, dan memberikan sejumlah uang yang tidak terlalu banyak.
Ia langsung bergegas untuk berjalan ke pemilik apartemen kecil itu, setiba di sana tidak berapa lama ia menunggu, dan pemiliknya langsung keluar. Niat Anna akhirnya di terima untuk tinggal di tempat tersebut dengan tidak lupa membayar setiap bulannya. Lalu ia ingin beranjak pergi, tetapi tiba-tiba saja ibu pemilik apartemen itu menahan tangannya hingga membuat Anna terheran.
"Ya, Bu. Apa ada ketentuan lagi?" tanya Anna.
"Oh tidak ada, hanya saja ... saya melihat di jari manis mu ada cincin pernikahan. Kamu sudah menikah ya, Anna?" tanya Ibu yang sudah berusia lanjut itu.
"Oh cincin ini, ya sebetulnya memang saya sudah menikah, tapi saya sudah berpisah, Bu. Cincin ini lupa saya lepaskan, kalau begitu saya permisi dulu ya, Bu," pamit Anna dengan menundukkan kepalanya.
"Ya sudah kalau begitu yang sabar ya, Anna. Jangan lupa bulan depan ya bayaran pertamamu," ucap Ibu itu.
"Baik, Bu."
Anna langsung berjalan masuk ke dalam apartemen miliknya, menarik barang bawaannya dengan rasa yang malas, dan ketika tiba di dalam benar sekali tempat itu sangat kecil. Ruang tamunya bersatu dengan tempat tidurnya yang berukuran kecil, sedangkan kamar mandi tidak berada di kamar melainkan terpisah di belakang dapur. Untuk penyegar ruangan hanya ada satu kipas angin yang berada di ruangan tempat tidurnya.
"Huuf!" Menarik nafas dengan memburu. "Akhirnya aku punya juga tempat tinggal biarpun kecil, tapi enggak apa-apa lah," gumamnya sembari melihat kesemua sisi ruangan tersebut.
Ketika ia ingin menaruh kembali barang-barang bawaannya, ia tidak sengaja menemukan sebuah bingkai foto kecil yang tadinya sempat ia ambil. Dalam bingkai itu terdapat foto pertemanan mereka sebelum menikah, padahal ia berniat untuk membawa satu foto pernikahan, tapi ia begitu gengsi apalagi jika sampai Nicole tahu akan hal itu.
Anna akhirnya menatap bingkai foto tersebut sampai ia tidak sadar satu tetes air matanya mengalir, ia pun mencoba mengusap air matanya, namun justru air mata itu semakin deras mengalir tiada hentinya sama seperti pertama kali ia meninggalkan kediaman Nicole.
"Sekarang kita sudah benar-benar terpisah, bahkan tidak lagi status apapun yang kita bina. Baik menjadi sahabat ataupun seorang suami. Melainkan status ku hanya satu sudah menjadi janda di usiaku yang sangat muda, lalu sekarang aku harus menjadi pekerjaan kemana ya? Untuk membiayai hidupku di sini," gumam Anna.
Ada rasa rindu yang paling dalam yang tidak dapat ia utarakan kepada orang tersayang, tapi ada rasa kecewa yang lebih dalam sampai rasanya dunia berhenti, dan tidak dapat lagi berputar. Pikirannya benar-benar kelelahan, saat hidupnya ia pikir telah bahagia, tapi nyatanya realita hidup tidak semudah yang Anna kira.
Sekarang hidupnya kembali lagi ke posisi semula, posisi di mana ia harus menjalani semuanya dengan seorang diri tanpa adanya sahabat sekaligus suami yang bisa membantunya. Merenungkan nasibnya yang begitu menyedihkan sekali sampai ia tidak sadar saat ia sedang menangis, akhirnya Anna tertidur ketika kelelahan menghampiri jiwanya.
Mimpi pun ikut menyertai dirinya, di dalam mimpi itu hal yang sama pun terjadi. Anna berdiri begitu jauh di tengah-tengah sungai tanpa ada seorang yang mau menolongnya, tapi di daratan ada seorang pria yang begitu ia kenal, bahkan pria itu telah membuat separuh hidupnya hilang. Mencoba berteriak memanggil nama Nicole sembari memohon bantuan agar bisa menyelamatkan diri tengah sungai tersebut. Tapi sayangnya Nicole hanya terlihat begitu bahagia ketika dirinya sudah meraung-raung meminta tolong. Tampa terduga Nicole memilih untuk pergi, dan meninggalkan dia yang sebentar lagi akan tenggelam di tengah sungai itu.
Mimpi itu seperti kenyataan, ia bahkan merasakan sakit yang amat sakit ketika dirinya sadar. Terkejut dari dalam tidurnya sampai peluh keringat keluar membasahi tubuhnya, lalu Anna bergumam. "Ya ampun ... kenapa mimpiku menyeramkan sekali? Apa mungkin itu adalah takdir bahwa hubunganku dengan Nicole memang tidak bisa untuk bersatu? Atau aku hanya sedang banyak pikiran?"
Ia mencari jawaban di dalam dirinya sendiri, namun sia-sia tidak ada jawaban yang bisa ia temukan selain mengingat rasa sedih dari apa yang telah ia terima. Duduk diam sambil memeluk tubuhnya sendiri, dalam kegelapan, dan tidak ada satupun cahaya yang bisa menerangi malamnya. Benar-benar menyedihkan, ketika malam itu hatinya hancur berkeping-keping tanpa ada seorangpun yang menenangkan pikirannya.
"Nicole, kenapa kini kau lakukan padaku? Apa kurangnya aku sampai-sampai kamu begitu membenciku?" tanya Anna sembari ia mencoba bangkit dari duduknya, dan menatap pantulan dirinya dari dalam cermin.
Ketika ia seperti orang gila yang sedang menatap cermin tanpa cahaya sedikitpun, hanya matanya yang bisa melihat pantulan matanya itu. Namun, tiba-tiba Anna berteriak dan mendorong cermin itu sampai jatuh berhamburan.
"Aarghh .... Kau jahat! Nicole, aku benci padamu!" teriak Anna pada cermin yang telah rusak akibat ulahnya.
Ketika ia tidak sadar bahwa di bawah sana puing-puing kaca itu sudah berhamburan, langkahnya yang tidak dapat ia lihat kemana ia akan melangkah, dan tiba-tiba pecahan kaca itu berhasil menusuk kakinya sampai darah segar mengalir keluar. Rasa sakit di dalam hatinya sudah begitu sakit, lalu ia sekarang ia merasakan sakit yang sama di bawah telapak kakinya.
Tidak tahu ia harus berbuat apa, Anna memilih duduk di ranjangnya tanpa ia mengobati kakinya yang masih terluka. Tangisan dan darah segar bersamaan mengalir sampai ia berpikir bahwa hidupnya tidak ada lagi harapan untuk bisa bertahan hidup.