Habis maghrib Cia turun kebawah, dia ngeliat Dhika lagi bicara di telpon. Pria itu berdiri di balkon. Pembawaannya tenang, tangan sebelah di saku, pakek stelan treining oversize, rambut basah acak-acakan. Pokoknya ganteng lah, tapi kok ekpresinya kayak dingin gitu.
Siapa yang bicara sama dia di telpon? Jangan-jangan kakeknya lagi... is ngeri lah pokoknya kalau ingat-ingat tu pak tua. Cia aja yang belum ketemu sama sekali merinding disko. Dengar dari apa yang Dhika omongin, jelas kali kalok kakeknya itu otoriter.
Cia duduk di sofa, dia gonta -ganti channel tapi kupingnya berusaha dengerin apa yang Dhika obrolin sama lawan bicaranya, tapi tetap nggak dengar, malah suara angin yang seliweran.
Nggak lama Dhika mengakhiri panggilannya, dia berjalan masuk dengan santai. Dia natap Cia dengan rumit, terdengar helaan napas berat. Nah, yang ini dengar Cia. Jadi dia nyimpulkan bahwa apa yang Dhika omongin tadi sangat dan teramat berat.
Banyaknya beban .... Pikir Cia.