Hari ini, aku sudah ada janji dengan Okta dan Rayya di suatu cafe.
"Wah sungguh tidak dapat dipercaya kalau sebentar lagi waktu kita libur sudah habis." Ucap Okta seraya menyeruput es capuccinonya.
"Iya, cepat sekali, dua minggu berasa dua hari." Rayya menimbrung ucapan Okta.
"Kalian ini mengeluh terus. Sudah bagus ada libur." Sahutku.
"Heh Melon, jurusan kita itu bukan main capeknya! Coding, desain, rakit komputer, fotografi, videografi, heuhh... Kalau tau seperti ini lebih baik aku tidak memilih jurusan ini sejak awal." Kata Okta.
Benarkan? Sudah kubilang kalau semua anak SMK hampir mengeluhkan salah jurusan setelah menjalaninya, termasuk aku.
Aku menatap Okta, "Kau pikir kau saja yang lelah? Aku juga lelah, tau! Tapi mau bagaimana lagi, sudah pilihan dari awal."
"Iya, mau bagaimana lagi."
"Eh, tapi jurusan kita ini beruntung sekali tau!" Lanjut Rayya.
"Kenapa? Karena hampir semua pekerjaan butuh jasa anak multimedia maksudmu?" Sahutku.
"Nah! Kau pintar, Melon." Jawab Rayya sambil menodongkan kedua jari telunjuknya padaku.
"Hmm, betul juga sih. Memang ya, kalau mau mudah diakhir harus repot diawal." Kata Okta sambil menatap langit-langit.
"Jangan berharap semuanya akan mudah, Okta. Tapi berharaplah kalau semuanya akan baik-baik saja sekalipun itu merepotkan." Rayya menimbrung perkataan Okta.
"Lihatlah, motivator kita sudah angkat bicara dengan rangkaian katanya yang indah, hahahaha..." kataku sambil bercanda.
"Hahahaha, iya Mel."
"Ih apa sih! Diberi tau malah ngeledek."
"Siapa yang meledek, Rayya? Akukan berkata jujur. Kamu cocok jadi motivator."
"Jika memang bisa, akan kulakukan." Jawab Rayya.
"Loh? Kamu pasti bisa, Rayya." Kata Okta.
"Tenang saja, semua hanya butuh waktu. Lanjutkan saja bakatmu dan rangkai kata-katanya supaya lebih indah lagi, ya!" Lanjutku.
Rayya pun tercengir ke arahku dan Okta.
"Baik."
"By the way, besok kita diajak kumpul sama anak-anak." Kataku setelah mengecek ponsel.
"Anak-anak?"
"Eza, Bevan, Kamma." Jawabku.
"Aah, boleh sih." Kata Rayya.
Okta hanya mengangguk mengiyakan jawaban Rayya.
"Yasudah, kalau begitu, sampai ketemu besok ya!" Seruku sambil pamit ke kedua sahabatku.
Rayya mengangguk, "Hati-hati, Meylan."
Kami pun berpisah saat itu seraya melambaikan tangan sebagai tanda sampai jumpa.
****
Besok malamnya...
"Hey Melon!" Seru Okta dari kejauhan yang sudah menungguku bersama Rayya dan tiga teman laki-laki sekelas kami, Eza, Bevan, dan Kamma.
Aku segera memesan, membayar, dan pergi mengambil tempat duduk di sebelah Eza.
"Cukup telat, ya." Kata Kamma memuji kedatanganku yang agak terlambat.
"Ini Jakarta, macet." Jawabku tak mau repot.
"Wih, pinter jawab juga ni anak Jogja." Ledek Kamma.
"Jangan mancing masalah." Kataku sambil menatap Kamma.
"Santai, Mel. Kebetulan lagi kumpul juga kan, hehehe..." ucap Kamma. Mengesalkan.
"Kau tau sendiri bagaimana Kamma, Mel. Harusnya tidak usah kau jawab sejak awal." Sahut Bevan sambil melirik Kamma di sebelahnya
Aku berdecih pelan menanggapi kata-kata Bevan.
"Oh iya, sebentar lagi kita sudah masuk sekolah. Apa tidak ada saran untuk melakukan sesuatu yang menarik?" Eza memulai topik pembicaraan.
"Sesuatu yang menarik seperti apa yang kamu maksud?" tanya Rayya.
"Ya sesuatu yang menarik, seperti berkemah, muncak, atau pesta bantal."
"Bagaimana kalau club saja?" Bevan memberi saran.
"Kau bercanda?" tanya Kamma.
"Kenapa?" Bevan balik bertanya.
"Aku memilih saranmu!" Seru Kamma.
Eza menggeleng pelan menanggapi kedua temannya itu.
"Jangan kesana, lebih baik yang membuat kita jadi lebih fresh seperti pergi ke alam."
"Yang benar saja, aku tidak berani pergi ke puncak. Mulutku sangat kotor, mulutmu juga, Za!" Kamma memperingati Eza.
"Kau benar juga, lalu kemana?"
Okta menghela nafas kasar.
"Bagaimana jika pesta bantal saja, daripada bertengkar."
Aku sedikit tercengang.
Memang ada sedikit perbedaan pergaulan di daerah asalku dan disini.
Aku tidak terkejut akan hal ini.
Hanya saja, jika itu terjadi lagi...
Plok!
Eza menepuk tangannya dengan keras sambil berkata, "ide bagus!"
Oh, tidak.
"Wah, kedengarannya menyenangkan sekali." Kata Bevan.
"Kalau begitu, aku ada rekomendasi tempat. Pamanku ada villa kecil di daerah Tangerang Selatan, bagaimana?" Okta memberi saran.
"Wah, kebetulan sekali, sekalian kita jalan-jalan. Boleh lah." Jawab Eza mantap.
"YES! Kalau begitu, pulang nanti aku akan segera mengemasi barang-barangku!" Kamma sangat bersemangat.
Secara tidak sengaja, Rayya menatapku yang sedang merenung, memikirkan...
"Melon, kau kenapa?" tanya Rayya.
Sontak aku mendengar dan lepas dari renunganku yang entah apa maksudnya.
"Kenapa, Mel? Apa orang tuamu tidak akan mengizinkan?" tanya Eza.
Aku menggeleng, "mereka jauh lebih sibuk dengan kerjaan."
"Kalau begitu kau akan ikut kami pergi kan?" tanya Bevan.
Aku menatap mereka semua satu persatu.
Mencari jawaban apa yang paling sempurna untuk aku utarakan, dan, "aku ikut."
Semuanya tersenyum gembira sambil memamerkan giginya.
"Hahaha ini akan sangat menyenangkan!"
"Simpan saja semangatmu untuk besok, Kamma." Sahut Eza.
"Tenang saja, aku tidak pernah kehabisan semangat untuk bersenang-senang!" jawab Kamma lantang.
"Besok aku bawa red label untuk kita bersenang-senang." Kata Rayya.
"BAGUS! Liburan kita akan sangat menyenangkan!" seru Bevan.
"Hey bodoh. Jangan sampai karena liburan ini, ada yang bawa anggota baru karena kau lupa membawa pengamannya!" Okta mengingatkan.
"Beres!" seru Bevan.
Beberapa jam berjalan dengan cepat.
Kami sudah cukup lama kumpul dan membahas banyak sekali hal.
Kadang aku merindukan suasana di daerah asalku, dimana orang-orangnya jauh lebih banyak aku kenal di setiap sudutnya. Tapi yasudahlah. Semua akan keluar dari zona nyaman pada waktu mereka menentukan keputusannya.
Aku bahagia disini.
Eh, tidak. Maksudku, bahagia sekali!
Teman-teman yang baik dan romantis!
Mereka selalu tau bagaimana cara melampiaskannya.
***
"Sepertinya sudah cukup kita merencanakannya, sebaiknya kita pulang dan berkemas untuk besok." Kata Rayya.
"Kau benar, Ray. Aku juga harus menyiapkan mobilku untuk kita besok. Kalian jangan sampai tidak siap ya saat kujemput!" seru Eza memperingatkan.
"Beres, Za!"
Kami semua pun bergegas pulang untuk menyiapkan hari esok yang kami nantikan.
Disela waktu saat yang lain sudah pulang dan tersisa aku dan Eza di parkiran cafe tempat kita nongkrong, rupanya mobil Eza terparkir rapi di sebelah mobilku.
"Hey, Melon!"
Akupun menoleh ke sumber suara.
"Ada apa?" tanyaku jutek.
"Aku lihat kau murung tadi, ada apa?" tanya Eza secara tiba-tiba.
"Hah? Apa pedulimu?" tanyaku merasa aneh.
"Kan kita sudah kenal setahun, aku mencoba memahamimu sedikit-sedikit, jadi..." Eza terbata-bata.
"Jadi?" tanyaku menunggu perkataan Eza sambil mengangkat sebelah alisku.
"...jadi, aku ingin mengenalmu lebih dekat." Raut wajah Eza menjadi aneh.
Aku mengerutkan kedua alisku.
Ada apa dengannya?
"Aku malas berurusan dengan mantanmu." Jawabku dengan nada sedikit keras.
Eza punya mantan, namanya Reva.
Senior yang dikenal satu sekolah paling suka mencari masalah hanya karena urusan laki-laki dan permainan nafsu konyolnya.
Aku juga tidak paham kenapa Eza bisa kepincut dengan nenek gayung. Maksudku, Reva.
Yah, mungkin karena jatahnya lancar setiap hari.
"Hey, tunggu. Reva tidak akan ikut campur urusan kita." Kata Eza.
"Maaf, Za. Tapi aku harus pulang." Jawabku tetap menolak.
"Tunggu, Mel." Tangannya memegang erat tanganku untuk mencegahku pulang.
Aku sontak menoleh menatap dalam mata Eza.
"Kau sangat berbeda." Katanya.
Aku menaikkan satu alisku.
"Emm, maksudku, aku belum pernah melihat sosok dirimu disiapapun itu. Termasuk di masa laluku."
Aku berdecih keras, "jangan bandingkan aku dengan nenek gayung itu."
Eza menggeleng mantap, "tidak! Sungguh aku sama sekali tidak membandingkanmu dengan dia."
"Yasudah. Aku ingin pulang." Jawabku.
Kali ini Eza melepas genggamannya dari tanganku.
"Hati-hati, ya. Besok jangan terlambat siap."
"Cerewet." Jawabku sambil menutup pintu mobil.
Secara bertahap aku menyalakan mobilku, mendiamkannya sebentar, menyetel siaran radio dimana tempat ibuku bekerja, dan mulai memundurkan mobilku pelan-pelan.
Disana aku masih melihat Eza yang tak kunjung bergerak. Dia terus memperhatikanku sambil tersenyum. Dan saat aku membunyikan klaksonku, dia melambaikan tangannya padaku.
Di dalam perjalanan aku terus bertanya pertanyaan yang sudah semestinya, 'apa dia tertarik padaku karena nafsu atau cinta?'
"Mana mungkin seorang Eza tertarik karena cinta, bodoh kau!" seruku sambil menyenderkan tangan kananku ke pintu.
.
.
Sementara itu di dalam mobil yang lain...
"Gadis Jogja memang sangat menarik. Caranya memandang, berjalan, berbicara, sungguh berbeda." Ucap Eza sambil memikirkan Meylan.
"Mungkin dia pikir aku tertarik padanya karena nafsu. Ch! bodoh! Dia sama sekali tidak menarik nafsuku. Tapi bagaimana caranya tau cocok atau tidak selain dengan bercinta? Tidak semua alasan bercinta karena nafsukan?" celoteh Eza sambil tertawa kecil di dalam mobilnya.
Sudah saatnya.
Sudah saatnya aku dan teman-teman berangkat ke villa hari ini.
Barang-barangku sudah siap.
Ijin juga sudah didapatkan.
Tinggal menunggu Eza sampai ke rumah.
Tidak perlu membawa yang macem-macem.
Tidak akan melakukan apapun juga kan disana? Semoga...
"Dia bilang jangan terlambat siap, tapi dia sendiri yang membuatku menunggu. Dasar sialan!" Aku terus menatap jam tangan yang sudah menunjukan pukul tiga sore.
Beberapa menit kemudian terdengar suara klakson di depan rumah.
Itu dia anaknya. Payah.
Ya, dia sudah lebih dulu menjemput teman-teman yang lain.
"Heyy, Melon! Cepat! Taruh barangmu di bagasi!" Terlihat Kamma yang dari kemarin sangat bersemangat.
Aku segera membawa barang-barangku yang sedikit itu ke bagasi, dibantu Eza yang membukakan pintu bagasinya untukku.
Eza dan aku sempat berkontak mata.
Tatapan matanya masih terlihat sama seperti kemarin malam. Sangat menjengkelkan, tau?
"Sepertinya kau lebih siap daripada aku."
"Apa maksud kata-kata jelekmu itu?" tanyaku.
"Kau jatuh cinta padaku, kan?" tanyanya begitu percaya diri.
"Hah? Orang aneh!" aku menolak keras opininya.
"Kau akan mengatakannya nanti." Dia masih bersikeras.
"Lebih baik segera berangkat daripada aku akan membencimu seumur hidupku."
Kami akhirnya masuk ke mobil dan melanjutkan perjalanan ke villa milik pamannya Rayya.
Dalam perjalanan...
"Rayya, apa kau membawa red labelnya?" Bevan memulai topik.
"Tentu saja, bodoh! Bagaimana kita bersenang-senang kalau ini ketinggalan?" jawab Rayya sambal menunjukan botol red labelnya.
"Waahh, keren sekali! Sudah berasa di club ya." Kata Kamma.
"Hey, sudah kubilang kan kemarin? Jangan sampai ada anggota baru karena lupa memakai pengamannya!" seru Okta.
"Iya iya, sudah beres. Aku bawa." Jawab Bevan.
Aku hanya menyimak sambil menggelengkan kepalaku. Sungguh lucu circle metropolitan ini.
Lucu sekali mereka. Mau enak tapi tidak mau anggota barunya.
"Melon, jadi akan bersenang-senang bersama siapa nanti?" Okta menaruh tangannya di pundakku sambil bertanya.
"Apa maksudnya? Tentu saja dengan kalian." Jawabku.
Kamma tertawa kencang.
"HAHAHAHA! Lucu sekali anak polos ini!"
"Hey bodoh, diam!" Rayya menepuk pundak Kamma.
Kamma spontan terdiam dan menghentikan tawanya.
"Melon, sepertinya Eza bersedia." Kata Okta.
Benarkan? Sudah kuduga.
"Apa sih? Memang harus melakukannya ya?"
"Ya ampun, Mel. Kita belum bersenang-senang, dong!" seru Okta.
"Iya, Mel. Lagipula kau harus melupakan masa lalumu itu, si Gamar." Sahut Bevan.
"Gamal maksudmu?" aku membenarkan namanya.
Iya, dia mantanku. Sebulan lalu kita menyelesaikan semua hubungan ini.
"Ya itu maksudku."
"Bagaimana bisa lupa, kami masih berkomunikasi sampai sekarang." Jawabku.
Okta menghela nafas keras, "sudah kuduga kau masih melakukan itu."
"Hah? Melakukan apa? Aku tidak melakukannya, kami tidak pernah bertemu." Jawabku membantah maksud Okta.
"Bukan bercinta, maksudku kau masih berkomunikasi dengan Gamal."
"Ya bagaimana? Kau pikir aku bisa melupakannya?"
"Tentu saja bisa, payah! Dia ini hanya ingin memanfaatkanmu, kau sadar kan? Kenapa kau malah lebih bodoh daripada orang yang sering kau panggil bodoh?" sela Rayya.
"Dengar, Mel, Gamal itu laki-laki payah yang hanya bisa memanfaatkan keadaan saja. Kau jangan sampai tertipu daya oleh rencana jeleknya itu!" sahut Kamma memperingatkanku.
"Aku tau dan aku sadar. Tapi aku tidak pernah bercanda mencintai orang. Jadi aku pikir, mungkin aku butuh waktu sedikit lagi untuk melupakannya." Jelasku.
"Aku tau maksudmu. Tapi semoga kamu tidak berujung jatuh cinta lagi, ya!"
"Kurangi saja komunikasinya." Bevan memberi saran.
"Sepertinya Meylan butuh orang baru." Eza tiba-tiba angkat bicara.
"Hmm aku tau modusmu, Za." Kata Kamma.
"Aku tidak modus, jelek. Aku sungguhan."
"Mungkin benar, Mel, kau butuh orang baru. Dan sepertinya Eza juga sudah mulai membutuhkan itu. Apa kau tidak ingin membuka hatimu, Mel?" tanya Rayya.
"Untuk apa? Mencoba luka yang baru?" tanyaku.
"Memang yang baru pasti menyakiti?" tanya Kamma.
"Jika maksudmu membuka hati untuk orang baru, yang hanya suka memanfaatkan keadaan untuk bercinta juga, ya tentu saja."