Bagaimana Ananta menghadapi harinya setelah kehilangan Alka? Bagaimana ia menjalani setiap liku yang membutuhkan tautan jemari dari lelaki yang ia sebut suami itu? Semua sudah menjadi cerita akhir tanpa episode lagi. Berakhir tanpa ada bab lanjutan lagi. Semua telah usai bersama buih yang terbang tanpa jejak di lautan luas.
Ah, Lelaki yang menjanjikan segala hal tentang kebahagiaan kini tinggal kenangan manis yang memerih dan mampu membuat air mata terus melaju menuju pipi. Tidak ada harapan untuk kembali merajut tali kasih itu, sebab yang dituju telah berlalu tanpa menoleh sedikit pun.
Entah sudah berapa lama ia hidup dalam bayang-bayang manisnya seorang Alka, menangisi setiap hal yang terdapat bekas wangi pujaan hati. Semua terkenang bahkan saat mata memejam sekalipun. Tidak menikmati setiap langkah, tidak menikmati setiap makanan yang menyelusuri tenggorokannya, semua terasa berduri. Menancap terus menancap hingga kadang kala air mata terus saja mengalir dalam diam.
Dunia yang kejam atau takdirkah yang kejam? Ananta tidak dapat memastikan apa pun saat ini. Namun, baginya, jika ini musibah maka terlalu tragis untuk dirinya. Tulangnya terlalu lunglai untuk menampung fondasi keperihan itu.
Kenapa Tuhan menciptakan takdir seburuk itu padanya?
Di setiap doa yang ia panjatkan, hanya ada kebahagiaan yang terlafazkan tanpa meminta penderitaan sama sekali, tapi Tuhan sepertinya lebih senang memberinya duka yang membuat seorang Ananta meratapi setiap garis hidup yang tertuliskan pada tapak tangannya.
Tuhan Maha dari segala-galanya telah menakdirkan air mata.
***
Ananta menutup mulutnya saat Siska dan Relin berbicara yang tidak-tidak mengenai dirinya kepada mertuanya. Mengatakan jika kesedihannya adalah tipu daya untuk menguasai segala harta kekayaan keluarga almarhum suaminya.
Omong kosong apa itu? Ananta berduka, sangat berduka tanpa bisa ia tutupi. Tidak ada niat untuk memperdaya keadaan sama sekali. Hei, siapa yang mau menjadi janda di usia sangat muda? Siapa yang mau kehilangan suami yang sangat dicintai? Hanya orang bodoh yang bahagia akan itu, tapi tidak dengan Ananta.
Bersyukur karena ibu mertuanya tidak terhasut oleh omongan belaka dua manusia tanpa malu itu. Dua orang yang dari awal tidak pernah menyukai keberadaannya menjadi menantu dari Nurmala. Ya, segala cara telah dilakukan untuk melepaskan ikatan itu dulu, tapi tetap tanpa hasil sama sekali. Lalu kini keduanya kembali merencanakan hal yang sama.
Ananta memang menyadari jika keberadaannya di rumah sang mertua sekarang tidak terlalu layak. Ia tidak memiliki hubungan apa-apa lagi setelah Alka meninggal, tapi ia masih istri Alka di mata hukum dan agama. Tidak ada perpisahan yang mengeluarkan fatwa tentang perceraian, bukan?
Jika ia pergi dari rumah itu, ia akan kehilangan segala kenangan manisnya bersama Alka. Lagi pula ia akan tinggal di mana? Ia terlahir tanpa kasih sayang kedua orang tua. Ya, sejak kecil menghabiskan hidup di panti asuhan dan setelah berusia 15 tahun bertahan hidup dengan cara bekerja paruh waktu sembari mengenyah bangku sekolah.
Nasib atau takdir?
Ananta sendiri bingung bagaimana ia hidup sedari dulu. Kebahagiaan tidak ia rasakan, tapi sejak mengenal Alka dan Nurmala lambat laun hal yang ia inginkan ada di depan mata. Namun, lagi dan lagi itu hanya sesaat saja.
Ananta memutuskan untuk memulai segalanya. Ya, segalanya apa pu risikonya nanti.
***
"Ananta."
Fokus Ananta teralihkan dari tumpukan baju di atas ranjang dan berserakan.
"Oh, Ma." Ananta gugup apalagi tatapan Nurmala menelisik dirinya dengan penuh tanya.
"Kenapa pakaian ini berserakan? Kenapa ada koper juga? Ini apa maksudnya?" Nurmala mendekat dan menggelengkan kepala saat menyaksikan koper itu berisi pakaian Ananta.
"I-itu, Ma. A-aku–"
"Kamu ingin pergi dari sini? Itu maksud kamu? Meninggalkan mama sendirian dan rumah ini?" Nurmala berkata dengan lirih. Sejurus tangannya melempar koper ke bawah lantai hingga isinya berhamburan. "Apa yang kamu pikirkan Ananta!" bentaknya.
Bukan niat Nurmala memarahi menantunya itu, hanya saja, jalan pikiran Ananta saat ini tidak mampu ia resapi dan maklumi. Ia sudah kehilangan Alka dan sekarang menantunya hendak meninggalkannya. Kesepian apa yang mereka ciptakan untuk seorang perempuan paruh baya seperti dirinya?
"Ma, aku–"
"Kamu apa? Kamu itu kenapa Ananta? Apa kesalahan mama sama kamu sampai kamu berniat meninggalkan mama sendirian? Apa mama memperlakukan kamu dengan buruk sejak Alka meninggal? Tidak, Sayang. Jadi, mama mohon, tetap berada di samping perempuan menyedihkan ini." Nurmala terisak. Rasa sakit hatinya terkuak ke permukaan. Kehilangan putranya adalah awal dari penderitaan dan jika menantunya memilih meninggalkannya itu berarti dukanya sempurna.
"Mama sudah kehilangan Alka, Ananta. Mama gak mau kehilangan anak lagi. Bagi mama, kamu itu bukan hanya menantu, tapi anak mama juga." Nurmala meraih tubuh Ananta, membawanya dalam pelukan.
Bening kristal dari netra Ananta ikut jatuh bersama isak tangis sang mertua. Ia tidak menyangka jika keputusannya untuk pergi adalah hal yang membuat luka di hati perempuan yang begitu tulus menyayanginya itu. Ananta pikir, dengan pergi maka semua akan baik-baik saja, nyatanya tidak. Ada ribuan air mata yang jatuh pada akhirnya.
"Tetap di sini, Ananta. Mama janji akan membuat kamu bahagia. Mama janji tidak akan memperlakukan kamu buruk. Tetap bersama mama, Sayang."
Ananta mengangguk dalam pelukan Nurmala. "Maafkan aku, Ma. Aku akan tetap di sisi, Mama."
Ananta sudah salah mengambil keputusan. Harusnya ia tetap berada dalam jangkauan Nurmala. Peduli apa pada orang-orang yang tidak menyukai dirinya? Toh, mertuanya menyayanginya setulus hati.
"Jika kamu pergi karena mendengar ucapan Siska dan Relin, lupakan itu, Sayang. Mereka hanya orang-orang yang tidak memahami apa yang kita rasakan, apa yang kita alami dan apa yang menjadi tanda tanya dalam hati kita. Ananta, mama menyayangimu tulus." Nurmala melepaskan pelukannya pada Ananta.
Ananta hanya bisa menggigit bibirnya untuk meredam tangisnya.
"Tapi jika kamu ingin pergi, maka mama gak akan menahanmu. Ya, seandainya itu keputusan terbaik menurutmu. Namun, setelah itu mungkin kamu akan mendengar berita kematianku." Finalnya Nurmala berkata demikian.
Ananta menggelengkan kepalanya. Ia tidak menginginkan hal itu. Tidak ada kematian untuk kesekian kalinya lagi.
"Ma, maafkan aku. Aku gak akan meninggalkan Mama, apa pun alasannya. Aku akan tinggal bersama Mama, menghadapi kehidupan ini dengan saling bertautan jari."
Kembali, keduanya berpelukan dan isak tangis memenuhi kamar mewah nan megah itu. Air mata yang memberi segala arti di hati dua insan berbeda usia itu.
Tidak ada yang mampu menjelaskan secara rinci, yang jelas, kehidupan selanjutnya akan diwarnai kisah yang lebih bermakna dan keduanya akan terlibat lebih jauh lalu meresapi setiap takdir yang Tuhan beri. Dunia memang kejam, tapi jika dijalani bersama, maka air mata bisa menjadi senyum terindah.