Chereads / My Arc Your Soul Unlimited Souls / Chapter 3 - Awal perjalanan.

Chapter 3 - Awal perjalanan.

"Ayah, Aku akan menjadi lebih kuat. Agar aku bisa melindungi sesuatu yang berharga bagiku," ucapku.

Tangisan dengan kedua tangan yang memeluk senjata-senjata tadi, telah menjadi bukti kesungguhan yang aku tunjukkan pada ayah. Sekilas aku melihat mata ayah, penuh kebimbangan. Bukan dalam artian yang negatif, tapi sedang menentukan keputusan. Mungkin, tindakanku tadi juga masuk ke dalam pertimbangan ayah.

"Baiklah, ayah akan mengizinkanmu. Tapi dengan syarat, kamu harus ditemani oleh Emiia dan Alice," mata ayah melirik Alice, hendak menawarkan syarat yang tadi dia buat, "Alice, apa kamu juga ingin mendaftar masuk di akademi itu?"

"Sa-saya dengan senang hati terima tawaran tuan."

Tenang, Alice sedikit gagap bukan karena terpaksa kok. Melainkan karena perbedaan status dengan ayahku. Lagipula tawaran yang diberikan ayah untuk Alice sangat mendadak, isi tawarannya sangat bagus lagi. Mana mungkin orang-orang yang memiliki status setara dengan Alice, akan dengan santai menerima tawaran itu.

"Baiklah, sekarang mari kita kembali menuju ruang tamu," perintah ayah.

Aku dan yang lain menurut. Kami berjalan dengan ayah yang menjadi pemandu. Dari posisi belakang, sekilas aku dapat melihat ayah yang sedang membawa buku. Buku apa itu? Entahlah, nanti saja aku cari tahu. Prioritasku sekarang adalah mematuhi perintah ayah.

Setelah keluar ruangan, ayah tak lupa untuk mengunci pintu ruangan. Langkah kami hanya berhenti di situ, sisanya kami berhenti di ruangan yang disuruh ayah.

Di ruang tamu, ayah memberikanku buku yang sedari tadi ayah pegang. Ternyata, menjadi sabar juga ada untungnya yah. Jadi aku tidak perlu repot-repot bertanya, toh ujung-ujungnya aku akan diberikan buku itu.

"Tiara, ini ayah berikan buku petunjuk tentang cara mengaktifkan senjata tadi."

"Magic Sword dan Railgun," ucapku senang.

Bagaimana tidak, dari namanya saja, kedua senjata itu sudah sangat keren. Lihatlah bentuknya, begitu indah dan cocok dengan namanya.

Magic Sword dan Railgun. Di dalam hati aku berkata, 'Aku harus bisa menguasai kedua senjata ini. Karena senjata ini adalah jiwaku.'

Jika sudah seperti ini, rasa sabarku juga bisa mencapai batas. Aku pun langsung menyabet buku yang diberikan ayah. Membuka lembar demi lembar, tapi ada yang tidak bisa kumengerti.

Tulisannya, banyak tulisan yang aku tidak pahami. Kesal, iya. Mana mungkin aku bisa menguasai kedua senjata ini kalau aku tidak bisa memahami kuncinya. Tapi kalau menurut kesimpulanku sih, buku ini sepertinya dilindungi oleh sihir yang bisa membuat pembaca sulit untuk memahami.

"Oh yah … ayah lupa memberitahu mu, Senjata yang kamu pegang itu belum mempunyai nama. Oleh karena itu, kamu akan kesulitan untuk membaca buku panduan yang tadi ayah berikan," ucap ayah sambil mengusap kepala ku.

"Oh begitu. Pantas saja tadi aku tidak mengerti apa yang tertulis di dalam buku ini," ucapku sambil tertawa kecil.

"Tia, Nama seperti apa yang akan kamu berikan pada kedua senjatamu?" tanya Shin yang mendekat dan memperhatikan senjataku.

"Ehm…. Coba aku pikirkan, kalau untuk yang pedang ini aku namakan Dual Blade of Revelation," setelah selesai menunjuk senjata yang berbentuk pedang, aku menunjuk senjata yang satunya lagi, "Kalau yang ini Aero Meister Rifle. Yah, menurutku nama kedua senjata ini sudah cocok."

Aku tidak tahu, apakah nama yang aku berikan cocok atau tidak. Tapi, tiba-tiba sebuah cahaya muncul dari kedua senjata itu. Hal lain yang membuatku terkejut adalah api yang keluar dan memutari tanganku. Yah … memang sih, yang namanya api pasti tetap saja panas. Jadi tentu saja aku akan .…

"Api! Ini terlalu panas! Aku tidak bisa menahan rasa sakitnya!"

"Tiara, bertahanlah. Ini adalah proses pemasukan. Jika kau bisa menahannya, kedua senjata itu akan menjadi milikmu sepenuhnya."

Ya ampun, rasanya panas sekali. Aku seperti sedang dalam proses menjadi abu kalau seperti ini terus. Walaupun ayahku berteriak untuk memberi semangat, tapi tetap saja tubuhku tidak akan mendengar perkataan ayahku.

"Ayah ... Aku sudah tidak tahan lagi, Lenganku terasa seperti akan putus!"

Tiba-tiba rasa sakit itu menghilang, meninggalkan bekas berupa tanda Nisshoku dan Mikadzuki yang muncul di kedua telapak tanganku. Bahkan bukan hanya api dan rasa sakit saja, kedua senjata yang telah aku beri nama pun hilang entah kemana.

"Tiara, apa rasa sakitnya sudah menghilang?" tanya ayah sembari mendekat dan memeriksa kedua telapak tanganku.

"Sudah, rasa sakitnya sudah menghilang. Tapi kemana senjata milikku ayah? Dan tanda Nisshoku dan Mikadzuki yang ada di kedua telapak tanganku ini untuk apa yah?"

Sudah pasti aku bertanya. Setelah aku menerima begitu banyak rasa sakit, api itu malah pergi dan meninggalkan tanda begitu saja.

"Ini adalah segel jiwa milikmu, kamu bisa memanggil senjata ini dengan mengucapkan nama senjata yang telah kamu berikan. Coba saja kalau tidak percaya."

"Datanglah Aero Meister Rifle."

Wah, benar saja. Senapanku beneran muncul dari tanda Nisshoku. Kalau diibaratkan, tanda Nisshoku ini layaknya penyimpanan ajaib yang dapat menyimpan senjata ini.

"Maaf ada surat untuk nyonya Mei dari Akademi Heavenly," ucap seseorang yang menghampiri kami.

Namanya adalah Misaka Alicia, dia adalah salah satu pelayan di sini. Selain itu, dia juga merupakan ibu dari Alice. Beliau bisa dibilang adalah pelayan yang menangani semua urusan makananku. Alicia memiliki tubuh yang bagus dan sangat atletis di umur 40 tahun, warna rambut kuning, sama seperti anaknya Alice. Kalau ditanya tentang pengalaman, yah dia bisa diandalkan di segala bidang dan sisi. Hehe, maksudnya bisa segalanya.

"Pesan dari akademi, tumben sekali mereka mengirimkan surat padaku," ucap bi Emi sambil membaca surat tersebut.

"Tiara, Shin, dan juga Alice, kalian masuk ke kamar kalian dan bereskan barang-barang kalian, karena besok pagi kita akan pergi ke akademi Heavenly knight."

"Kok bisa sangat cepat?" tanyaku.

Bibi Emi menjelaskan, kalau tadi salah satu teman bibi meminta tolong padanya untuk datang besok, jadi mau tidak mau kami harus berangkat besok bersama dengan bibi Emi. Ternyata ada acara yang akan dilaksanakan di akademi. Ya tidak apa-apa lah, semakin cepat semakin baik.

Tanpa berpikir panjang, aku, Shin, dan Alice langsung berlari pergi ke kamar kami masing-masing. Aku memasukkan beberapa baju, pakaian dalam, dan beberapa tabungan yang aku miliki. Karena berita ini sangat mendadak, terpaksa aku mengemasinya dengan terburu-buru. Jadi, aku tidak terlalu memikirkan kerapihan dari barang-barang yang aku kemasi tadi.

Karena kamar kami bertiga bersebelahan, samar-samar aku bisa mendengar kegiatan mereka. Kalau Alice, kayaknya dia sedang memutar musik. Kalau shin, kayaknya dia sedang berkata sesuatu, tapi aku sama sekali tidak dapat mendengar isinya. Yah, terserahlah, suka-suka Shin saja.

Esok hari, tepat pukul 10.00 kami sudah berkumpul di ruang tamu. Aku, Shin, dan Alice juga sudah siap dengan barang bawaan kami.

Sebelum berangkat, kami semua mengenakan baju pemberian bibi Emi. Busana yang dikasih berupa seragam berwarna putih, yang dibalut dengan kemeja berwarna serasi. Aku dan Alice memakai rok hitam, sedangkan shin memakai celana panjang berwarna hitam. Kami langsung memakainya di kamar mandi dan kembali dalam waktu kurang dari 10 menit.

"Bagaimana, kalian semua sudah siap?" Tanya bibi Emi sambil membawa koper miliknya.

"Sudah, kami semua sudah siap."

"Bu, boleh aku membawa beberapa benda lagi?" tanya Shin sambil mengacungkan tangannya.

"Sebenarnya, kita sudah tidak ada waktu lagi. Tapi cepatlah."

Dengan cepat Shin berlari ke kamarnya dan kembali dalam 2 menit. Ternyata barang yang dia bawa adalah tas selempang berwarna hitam.

Sekarang kami semua sudah siap. Kami pun masuk ke dalam mobil, aku sedikit menoleh ke depan dan menemukan ayah yang berada di kursi pengemudi. Biasanya supir yang selalu menjemputku. Tapi kalau ayah … mungkin dia melakukannya khusus untuk hari ini.

Waktu sudah menunjukkan pukul 12.00 dan mobil yang dikendarai ayah pun melaju. Perkiraanku, kami akan sampai di akademi sekitar pukul 17.00.

"Tiara, bagaimana, apakah kau sudah siap untuk belajar di Akademi itu?" tanya ayah sambil menyetir.

"Aku tidak akan menarik kata-kataku ayah, sudah kubulatkan tekadku untuk belajar di sana dan untuk menjadi kebanggaan ayah."

Ayah membalas ucapanku dengan senyuman. Karena perjalanan masih jauh, tidak ada salahnya untuk melihat pemandangan di luar. Pemandangan menakjubkan yang aku dapat. Penduduk desaku sangat ramai dan semua hidup dalam kedamaian. Tawa dan percakapan mereka membuatku larut dalam senyuman.

'Entah apapun yang terjadi, aku akan menjadi kuat dan melindungi senyuman kalian ini, aku berjanji dengan jiwaku sebagai jaminannya. Wahai penduduk desaku.'

Beberapa menit kemudian, kami tiba di Stasiun Akashi. Stasiun ini mengarah langsung ke Akademi Heavenly Knight.

"Baiklah, sampai sini saja ayah mengantar kalian," ucap ayah sambil turun dari mobil.

Bersamaan dengan ayah, penumpang lain yang ada di dalam mobil juga ikut turun. Terlebih dulu, kami membuka bagasi dan mengeluarkan barang bawaan dari sana. Lalu dijejerkan, agar nanti mudah dibawa ke dalam stasiun.

"Ayah, kami akan menemui ayah saat libur musim panas nanti. Kami janji."

Aku memeluk ayah dengan erat. Mungkin ini adalah perpisahan yang lama dengannya, tapi ingatan serta kenangan yang ayah berikan akan terngiang di hatiku.

"Ayah akan menunggu kedatangan kalian kembali. Tiara, kamu harus menemukan kakakmu dan membawa dia kembali ke sini," ucap ayah sambil mengelus-elus kepalaku.

Sangat lembut dan penuh kasih sayang, ayah juga mengalungkan sebuah kalung kepadaku. Kalung itu adalah kalung peninggalan ibu.

"Baik ayah."

Sekarang aku sudah membopong koper dan berjalan menjauhi ayah. Jarak kami semakin jauh, tapi kehidupan baruku semakin dekat. Bersama dengan teman-teman dan bibi emi yang melangkah bersamaku.

"Sampai jumpa ayah, hati hati di jalan!"

Kami saling melambaikan tangan. Rasa sedih mungkin ada di dalam hati, karena meninggalkan ayah yang merupakan orang tuaku satu-satunya. Yah, sudah pasti itu menyedihkan, tapi aku harus kuat. Ini semua demi melindungi kampung halamanku.

"Baiklah, Tiara keretanya sudah datang kita harus bergegas."

Kami mengikuti perintah bi Emi dan berlari cepat ke dalam kereta. Untung masih sempat, jika tidak, kami terpaksa harus menunggu jadwal berikutnya.

"Akhirnya kita akan pergi ke akademi itu, aku penasaran apakah akademi itu mengalami perubahan atau tidak," ucap Shin sambil duduk di kursinya.

Kami juga duduk. Kursi-kursi di kereta ini disusun menyamping dengan meja kecil di tengahnya, jadi satu tempat sudah bisa menampung kami semua. Sedangkan barang bawaan, kami letakan di atas.

"Alice, duduk sini. Kamu jangan duduk di samping orang bodoh itu, nanti kamu ketularan bodoh juga," ucapku pada Alice.

Sebenarnya aku hanya ingin menyindir Shin saja. Biar suasana di kereta ini tidak menjadi suram, lagipula perjalanan masih panjang, jadi rasa kantuk dan bosan bisa saja datang menyerang.

"Tia, kau ini!" balas Shin sambil mencubit pipiku.

"Aduh, Shin sakit."

Dapat ganjaran juga aku. Warna merah pada pipiku adalah akibat dari ulahku tadi. Pukul 12.20. Aku melihat jam yang menempel di tangan yang kugunakan untuk memegangi pipi.

"Kalian tidak ada kerjaan lain kah? Onii-chan menyuruhku untuk menjaga Tiara dan Shin, kau jangan terlalu kasar pada gadis," ucap bibi Emi sambil menarik telinga Shin.

"Aduh … bu, sakit! Aku tidak akan mengerjai gadis mana pun selain Tia seorang."

"Kau ini …," ucap bibi Emi sambil melepas cubitannya.

Beberapa saat kemudian, semua orang telah terlelap dalam tidurnya. Kecuali aku yang sedang menatapi keadaan di luar kereta. Awan di atas berubah menjadi hitam, entah kenapa aku mempunyai firasat buruk yang akan menanti kami saat sampai di sana.

'Awannya mulai berubah warna, aku rasa akademi itu akan ada dalam bahaya, atau mungkin ini hanya imajinasiku saja? '

Sepanjang perjalanan aku terus memikirkan itu, kegelapan mulai menyebar dan udara di dalam kereta sedikit terasa berat. Sudah empat setengah jam berlalu, aku bahkan tidak merasa mengantuk sama sekali.

Dari awal perjalanan tubuhku terasa seperti penuh dengan enegi, tak lama kemudian bibi Emi dan yang lain terbangun dari tidurnya.

"Sekarang sudah jam berapa? Tiara, kamu masih terbangun. Apa kamu tidak mengantuk sama sekali?" tanya Bibi Emi dengan mulut yang menguap.

"Sekarang sudah jam 16.50, sepuluh menit lagi kita akan sampai," balasku dengan senyuman.

"Kami tertidur lelap sekali, Tia."

"Tidak bi, aku tidak mengantuk sama sekali. Oh yah, Shin kamu tadi berangkat semangat, tapi kok malah tertidur."

Saat kami sedang berdebat, aku melirik Alice yang masih tertidur pulas. Akhirnya aku dan Shin menyudahi dulu perdebatan kami, demi membangunkan gadis yang masih terkekang dalam tidurnya.

"Alice, hey Alice bangun sebentar lagi kita akan sampai."

Badan Alice terus aku goyangkan, tapi tetap saja kesadarannya tidak merespon. Sepertinya dia memang sangat kelelahan, sampai-sampai tidur seperti orang yang sedang mati.

"Ukh ... ibu … aku mau makan hamburger," ucap Alice, bahkan dia sampai mengigau.

"Alice bangun, kita sudah sampai," ucap Shin sambil membantu mengoyangkan tubuh Alice.

Akhirnya gabungan kekuatan kami dapat menarik kesadaran Alice kembali. Tapi segala hasil jerih payah itu juga mendapatkan bayaran yang setimpal, yah untuk Shin maksudnya. Dia mendapat tamparan keras dari Alice yang sudah terbangun. Tidak sengaja kok, cuma dia kaget aja saat bangun dan posisi Shinlah yang paling tepat untuk melampiaskannya.