Malam begitu sendu. Tetesan air hujan merayap indah pada tubuh jendela kaca, meluncur indah seakan tak memiliki dosa. Lantunan ayat suci Al-Quran begitu merdu terdengar menyejukkan hati serta kepala yang belakangan ini begitu runyam. Lantunan ayat suci itu terlontar dari seorang perempuan paruh baya yang sedang duduk beralaskan sajadah. Aku yang mendengarnya dari balik bilik kayu sederhana melirihkan mata menyimak tiap bait lantunan yang ia baca. "shadaqallahul-'adzim" menutup lantunannya kepada apa yang ia anggap sebagai Tuhan.
Tak lama berselang pintu kayu kamarku digedor hebat seperti warga yang melabrak rumah orang bersalah. "Ada apa?" tanyaku dalam pikiranku yang runyam.
"Dit, buka pintu!" kata suara itu.
Aku melepas selimut bergambarkan logo Real Madrid, tim sepak bola kesayanganku yang ku dapat dari hasil lomba panjat pinang minggu lalu.
"Iya." kataku yang berjalan mendekati pintu.
Aku membukakan pintu, di balik daun pintu itu berdiri seorang perempuan paruh baya yang tadi melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran. Perempuan itu langsung masuk ke kamarku dan duduk di kasurku yang berantakan.
"Sini!" Tangannya memukul kasur.
Aku duduk tepat di sebelahnya dan bersendar pada dinding papan kamarku. Tak boleh bersandar terlalu kuat nanti dindingku roboh sebab dinding ini sudah begitu dimakan umur. Paku-pakunya saja sudah banyak yang berlepasan dilepas oleh waktu.
"Ada apa Bu?" tanyaku pada Ibu.
Perempuan itu menghela nafas panjang seakan itu tarikan nafas terakhir didalam hidupnya.
"Begini, kamu kan sudah tamat sekolah. Mungkin Ibu tidak bakal sanggup untuk melanjutkan biayamu berkuliah, maaf keadaan kita begini nak serba susah. Uang hasil Ibu berjualan gak akan mungkin sanggup untuk membiayaimu." kata Ibu dengan mata sayu.
"Hmm iya Bu, Adit ngerti kok dengan kondisi kita. Adit juga gak bakal lanjuti kuliah sebab gak mau nambah beban hidup kita."
Air menetes dari sudut bola mata ibu. Bibirnya bergetar seakan tak menerima keadaan. Ingin rasanya memaki keadaan namun apa daya ia tak berwujud rupa.
"Begini saja, kamu ibu berangkatkan ke Jambi. Di sana ada kampus agama miliknya pamanmu, pak Darto." katanya sembari menghapusairmata.
"Enggak Bu, gak mungkin Adit ninggali Ibu sendirian di sini."
"Gak apa anakku, kau akan menjadi seorang yang pandai agama, seorang sufi atau bahkan menjadi ulama besar di negeri ini."
Aku hanya terpaku diatas tempat tidurku. Tak mampu bibirku mengeluarkan sepatah kata untuk menyanggah kemauan Ibu.
"Lagipula umur Ibu juga gak akan lama lagi Nak. Masa depanmu sudah menantimu di sana, Ibu yakin itu." Tambahnya.
"Memang kalau Adit ke Jambi, apa Ibu yakin Adit bisa?" jawabku dengan mata sendu.
"Nak, Ibu menyuruhmu kesanasebab Ibu yakin. Disana kamu akan tinggal bersama pak Darto. Dia pasti senang dengan kedatanganmu. Lagipula pak Darto hidupnya juga sendirian Nak"
"Hm... ya udah Bu, kalau memang itu pilihan dari Ibu, Adit bakal lakukan dan Adit akan jadi orang yang Ibu harapkan." Jawabku dengan senyum kecil.
Malam mengharukan itu begitu panjang. Entah mengapa takdirku begini, Ibu yang berjuang sendiri setelah ditinggal Ayah untuk selamanya kini harus ku tinggal juga demi sebuah cita-cita. "Ibu kau takkan mengeluarkan airmatamu lagi untuk kehidupan kita. Itu janjiku Ibu!"
Ibu beranjak dari duduknya. Kakinya berjalan menuju pintu yang terbuka. Tubuhnya perlahan menghilang dibalik sudut bingkai pintu. Kamarku murung, begitu juga dengan wajahku. Cicak yang menempel hanya bisa melihat kesenduan hatiku. Aku tak tahu apa yang ada di dalam pikirannya, entah itu ia sedih sebab akan ku tinggal pergi atau malah ia bahagia sebab ia akan bebas bersenang-senang di kamar ini, tanpa aku si penghuni lama.
Aku mengambil satu lingkar obat nyamuk bakar beserta korek api yang berada di atas meja kayu yang aku buat sendiri. Api menyala membakar ujung obat nyamuk. Tak lama, ketika mulai sedikit membesar aku meniupnya. Dengan satu kali tiupan, api yang menyala kini padam menyisakan bara pada ujung obat nyamuk. Asap beraroma khas mulai menyerbak ke setiap penjuru ruangan.
Aku membaringkan tubuhku di atas kasur kerasku. Malam semakin larut, tak ada sura ayat, tak ada suara cicak, yg ada hanya suara kodok yang bernyanyi atau membaca mantra memanggil hujan. Apakah hujan akan segera turun? Atau malah airmataku yang lebih dulu turun?.