Abah Rene segera menaruh kembali kopi buatan Marpuah di atas meja.
"Pu'ah! Emangnya ini kopi apaan sih, kenapa rasanya abstrak begini?!" tanya Abah Rene dengan nada tinggi, sementara Jeng Oktaf hanya terdiam sambil berdiri di samping Abah Rene.
"Ih, Papi. Pu'ah tahu kok, kalau kopi buatan Pu'ah itu emang enak, tapi Papi, gak perlu memuji sampai segitunya, Pi" ucap Marpuah dengan polos dan tersenyum penuh ceria.
"Ya, Salam!" Abah Rene menepuk keningnya sendiri.
"Ini lagi ngomelin bukan memuji, MARPUAH BOLECURIA!" tegas Abah Rene memperjelas ucapannya.
Marpuah tampak terkejut. "Ah masa sih, Pi! Kirain Marpuah, Papi, mah lagi muji!"
"Huuftt...." Abah Rene menarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan syaraf-syaraf di otaknya.
"Sabar, Pi. Sabar ya, anak kita emang begitu, rada-rada bikin kesel," lirih Jeng Oktaf menenangkan Abah Rene.
Marpuah masih tersenyum, tak ada rasa takut atau rasa bersalah di wajahnya.