Di kantor kepala sekolah, Pak Arga duduk kosong di kursi kantor. Di depannya, ada meja kantor dengan kertas faks tipis di mana dua kata, seperti pisau lipat, menembus mata Pak Arga., Satu tembakan demi satu, satu tembakan demi satu, satu tembakan demi satu
Setelah pergumulan hebat dalam pikirannya, Pak Arga mengangkat telepon, tetapi dia masih tidak memiliki keberanian untuk menelepon. Dia ingin menelepon dan meminta maaf kepada direktur tapi direktur tidak menyebutkan pengeluaran Dika dari Sekolah Menengah 58 kemarin.
Pak Arga sedang merenungkan pikiran Direktur Aan.
Setelah beberapa saat, Pak Arga akhirnya meletakkan gagang telepon yang sepertinya beratnya belasan kilogram itu.
Duduk di kursi seperti bola frustrasi.
"Sekretaris tidak menyebutkannya. Jangan salahkan aku untuk itu. Semua orang tahu itu. Kali ini Dika kembali ke sekolah. Aku akan menjaganya. Yah, itu saja." Pak Arga akhirnya mengambil keputusan.