Sekitar dua hari menjalani pemeriksaan di rumah sakit, Liza pun diperbolehkan pulang. Karena menurut hasil pemeriksaan yang ada, tidak ada cedera organ dalam atau semacamnya. Luka-luka di sekujur tubuh Liza juga ternyata tidak terlalu dalam dan sudah ditangani dengan baik.
Dokter juga cukup terkejut dengan hasil itu. Cukup mengherankan untuk korban badai salju bisa selamat tanpa luka cedera dalam seperti ini. Apalagi Liza diketemukan di bibir tebing.
Keanehan itu juga tentu mengherankan Liza. Kalau hasil lab dokter mengatakan kalau dia sudah baik-baik saja, namun Liza merasakan mual yang luar biasa di perutnya. Tubuhnya juga sangat kelelahan. Namun sekali lagi. Dokter mengatakan kalau tidak ada yang salah di organ dalam Liza yang menjadi pemicu rasa mual. Asam lambung juga di ambang normal. Itu aneh.
"Rasa mual mungkin disebabkan karena stress dan pikiran. Jadi saya sarankan Anda untuk beristirahat sejenak, mengambil liburan dua sampai tiga hari," ucap Dokter itu kemudian.
Liza mengangguk. "Baik. Terimakasih, Dok."
Tak lama setelah Liza keluar dari rumah sakit, ia pun bergegas menyetop sebuah taksi yang kebetulan sedang berkeliling mencari penumpang.
"Ke stasiun, Pak."
Supir itu mengangguk sekali, lalu mulai melajukan taksinya untuk menuju ke stasiun terdekat.
Dan begitu sampai di stasiun, Liza bergegas menelepon untuk mengabari pihak kantornya. Liza meminta izin untuk mengambil libur cuti selama dua hari, dengan alasan memulihkan kesehatannya.
Liza lantas melanjutkan perjalanannya dengan kereta untuk sampai ke kota tempat tinggal sekaligus tempat baginya bekerja, di kota Wina.
'Syukurlah ponselku ditemukan polisi dalam keadaan baik-baik saja. Kalau tidak, aku tidak akan bisa pulang,' batin Liza.
Liza beruntung karena saldo E-Wallet di ponselnya lebih dari cukup untuk membayar biaya transport pulang.
Selama perjalanan pulang, Liza masih merasakan mual. Dan kini malah disertai pening di ubun-ubun. Bahkan setelah sampai di apartemennya, lalu selesai makan dan meminum obat pereda mual, rasa mual dan sakit sama sekali tidak berkurang.
Seumur hidup, untuk kali pertama Liza mengalami sakit yang aneh seperti ini. Dan baru kali ini juga Liza meragukan ucapan Dokter kalau dia baik-baik saja.
Menjelang malam, Liza mendapatkan telepon dari teman dekatnya yang juga bekerja di tempat perusahaan pers. Kebetulan temannya ini dari divisi media cetak.
"Kau sudah pulang? Astaga! Bagaimana kabarmu? Kudengar hanya kau selamat dari badai salju di Arlberg!"
"Cukup baik, Mina. Aku hanya butuh istirahat beberapa hari. Dan aku juga sudah izin dengan Boss," jawab Liza kemudian.
"Syukurlah. Nanti sepulang dari upacara pemakaman, aku akan menjengukmu."
Ah, ya. Tentu saja. Upacara pemakaman para kru Liza berlangsung hari ini. Sedih rasanya mengingat kalau teman-teman krunya sudah meninggal. Sayang sekali Liza tidak bisa hadir.
"Setengah jam lagi aku akan kesana. Tunggulah!"
"Baiklah. Terimakasih."
Setelah panggilan telepon itu diakhiri, Liza memutuskan untuk menonton televisi dan berbaring di sofa sambil mengompres perutnya dengan kain hangat.
Berita tentang badai salju yang terjadi dua hari lalu menjadi topik utama dalam beberapa channel berita. Ternyata bukan hanya ada rombongan krunya saja yang meninggal akibat bencana itu. Di beberapa tempat berbeda di wilayah tersebut, ada sekitar puluhan orang yang meninggal terseret angin dan juga longsor. Benar-benar mengerikan.
Sekilas pikiran Liza terbang ke ingatannya saat rohnya tersesat di dimensi astral. Kalau pun itu memang sebuah mimpi, seharusnya tidak sampai sedetail dan senyata itu.
Lalu dari situ Liza mulai bertanya-tanya, apakah mungkin kalau roh manusia bisa melakukan perjalanan ke dimensi astral dan bertemu arwah orang-orang yang sudah meninggal?
Sungguh, Liza sangat penasaran soal dimensi astral. Mungkin setelah ini dia akan mencari tahu. Tentunya kalau kondisinya sudah membaik.
Setengah jam berlalu, Mina pun bertandang ke apartemen Liza sesuai janji. Dia datang membawakan beberapa makanan dan buah-buahan untuk Liza.
"Mengapa kau mengompres perutmu, Liz?" tanya Mina saat tahu ada handuk kompres yang tertempel di perut Liza yang terbuka.
"Perutku mual sekali. Kepalaku juga pusing. Aku pikir mengompres perutku bisa meredakan rasa mualnya."
Alis kecoklatan milik Mina lantas terangkat sebelah. "Kau tidak sedang hamil, kan?" candanya kemudian.
Liza memutar bola matanya malas. "Aku baru saja putus dua minggu lalu dari Michael, Mina. Dan kami belum pernah melakukan hubungan seks."
Liza memang baru saja putus dengan mantan kekasihnya, Michael Fordan. Pria kebangsaan Italy itu kedapatan berselingkuh dan bercumbu di apartemennya. Padahal status Liza dan Michael sudah bertunangan dan rencananya mereka akan menikah tahun depan. Restu orang tua Michael juga sudah ditangan. Entah apa yang membuat pria itu berpaling dari Liza.
Dan Mina yang baru saja tahu tentang fakta itu pun tentu saja terkejut. "Astaga, bagaimana mungkin? Padahal kalian tampak serasi."
Liza mengendikkan bahu. "Aku malas membicarakannya."
Maklum saja. Ini sudah kelima kalinya Liza gagal memasuki hubungan pernikahan. Tidak heran kalau Liza merasa sangat frustasi dan malas membicarakan kegagalan itu. Apalagi kalau mengingat hampir semua temannya sudah menikah-- termasuk Mina, Liza jadi semakin insecure.
"Ya sudah. Tidak apa-apa. Suatu hari kau akan mendapatkan jodohmu. Kau perempuan yang baik, Liza. Kau pasti akan mendapatkan pria yang baik pula."
Liza menghembuskan napas dan mencoba tersenyum. "Terimakasih."
"Oh iya aku baru ingat. Baru saja teman jurnalis kita, Kendrick mengajak kita untuk melanjutkan riset sejarah abad pertengahan di Innsbruck untuk project kita." beritahu Mina kemudian.
Liza teringat project itu. Sebulan yang lalu, Liza, Ken, dan Mina tergabung dalam kelompok riset untuk melakukan riset sejarah abad pertengahan di kota Innsbruck. Namun karena ada kejadian pembunuhan berantai yang meresahkan di sekitar wilayah kota tersebut, project itu diberhentikan untuk sementara.
"Apakah kota itu sudah aman? Bukankah Boss bilang kalau kita tidak boleh kesana karena ada--"
"Pembunuhnya telah tertangkap seminggu yang lalu. Jadi kau tidak perlu khawatir. Lagipula kita masih akan pergi minggu depan," sela Mina kemudian.
"Hm, baiklah. Tidak masalah," jawab Liza santai.
Sebenarnya Liza mempunyai firasat yang tidak enak tentang rencana kepergian mereka ke Innsbruck. Tapi Liza lebih penasaran tentang sejarah abad pertengahan itu. Karena itu mengingatkannya tentang ucapan arwah kakek tua yang ia jumpai di dimensi arwah. Liza ingin tahu kebenarannya apakah mitos penyihir seperti itu pernah ada di abad pertengahan. Terutama soal penyihir bernama Adera.
"Apa perutmu masih mual? Aku rasa kau harus mencoba beberapa gerakan yoga kundalini," saran Mina sambil menyentuh perut Liza yang masih berbalut handuk hangat.
"Yoga kundalini? Sepertinya aku pernah mendengar itu."
Mina mengangguk. "Ya. Itu yoga yang cukup populer. Aku pernah membaca beberapa buku yang mengatakan kalau yoga kundalini sangat bagus untuk relaksasi dan penyembuhan, serta mampu menyeimbangkan energi dari dalam tubuh kita."
Liza mengendikkan bahu. "Baiklah. Mungkin setelah ini aku akan coba mencari informasi itu di internet. Terimakasih."
Tak lama setelah mereka berbincang, tiba-tiba suara notifikasi pesan dari ponsel Mina. Segera dia membacanya.
"Oh! Suamiku sudah ada di depan! Kau tidak keberatan kalau dia masuk?" tanya Mina seraya beranjak dari sofa.
"Tentu saja. Kalian kan sudah kuanggap keluarga sendiri," jawab Liza santai.
Paulo Scott, suami Mina itu datang untuk menjemput Mina kemari. Dan tentu saja dia akan mampir sebentar.
"Mina memberitahuku lewat pesan kalau kau sedang mual. Jadi ku sempatkan membelikan madu untukmu sebelum kemari."
Liza pun sumringah menerima madu itu. "Ah, terimakasih."
Setelahnya Liza mempersilahkan masuk dan menyuguhkan minuman plus cemilan untuk pasutri itu. Mereka pun duduk di bar kitchen.
Rasanya senang melihat pasangan yang menikah hampir empat tahun itu. Liza betul-betul merasakan pancaran kebahagiaan mereka saat berbincang satu sama lain. Rasa mual Liza pun sedikit teralihkan karena diajak ngobrol.
Alih-alih menyimak apa yang dibincangkan pasutri itu, lagi-lagi Liza malah mengedipkan kelopak matanya dengan cepat tiga kali. Awalnya Liza melakukan itu karena iseng saja. Liza hanya ingin memastikan apakah ia masih memiliki kemampuan melihat kristal aneh itu atau tidak.
Kedipan ketiga kalinya, Liza pun melihat cahaya kristal itu di dada Paul dan Mina. Sama terangnya, namun berbeda warna. Kristal Paul berwarna hijau tua, sedangkan Mina berwarna hijau daun.
Tunggu. Ada yang aneh dengan cahaya kristal itu. Liza sekarang bisa melihat pola kristal dua manusia itu dengan lebih jelas.
Tidak seperti dulu saat Liza melihat pola-pola itu begitu samar, kini pola-pola pada kristal itu semakin jelas detailnya. Itu terlihat seperti lekuk puzzle dengan pola tertentu. Sangat unik, tapi nyata.
Iseng-iseng Liza mencocokkan pola kristal Paul dengan pola milik Mina. Memang ada beberapa lekuk yang cocok.
Tapi ... Ternyata ada juga lekuk lain yang tidak cocok, seperti bukan pola yang sesuai. Apa maksudnya?
**
To be continued