Lita memperhatikan keadaan sekitar tatkala mobil Elanda bergerak memasuki basemen kantor perusahaannya perlahan. Elanda yang memperhatikan hanya bisa melirik Lita dengan ekspresi bingung. Sedang apa sebenarnya gadis itu?
Lita akan menundukkan kepalanya setiap kali ia melihat mobil karyawan lain terparkir entah jauh atau dekat dari mobil Elanda. Lita seperti maling yang sedang mengendap-endap untuk menghindari kejaran polisi.
"Kamu kenapa? Takut ketahuan belum mandi?" Tanya Elanda yang sedang fokus memarkirkan mobilnya dengan sempurna. Lita mendesis seraya menaruh satu tangannya di bibir.
"Psstt Pak! Nanti ada yang lihat."
"Enggak ada sangkut pautnya lho kamu bilang psstt sama ada yang lihat. Lagian ini kan dalam mobil. Memangnya bakal ada yang dengar selain saya?"
"Siapa tahu keliatan siluetnya gitu, lho Pak." Ujar Lita yang membuat Elanda hanya bisa menggeleng dengan senyum geli.
"Kamu cantik kok, meskipun belum mandi." Ujar Elanda yang seketika membuat wajah Lita meledak panas.
"A-apaan sih Bapak! Orang saya ngendap-ngendap takut ada yang lihat, terus jadi salah paham, gitu." Ujar Lita memalingkan wajah, namun sebenarnya ia berusaha menyembunyikan wajah merahnya. Ia tak mau lagi Elanda menebak bahwa ia menyukai Elanda. Ya meskipun memang tidak sih. Lita sibuk, bermonolog dengan hatinya sendiri.
"Oalah, saya kira kamu malu keluar karena belum mandi. Makannya, saya puji kamu cantik, biar kamu enggak malu dan percaya diri."
"M-makasih Pak, pujiannya."
"Iya. Yang penting, kamu enggak bau iler, bau mulut, sama bau ketiak. Saya paling enggak tahan sama tiga bau itu."
"Tenang Pak, nanti saya mandi kalo masih sepi. Kalau enggak, ya mau pas kapan lagi? Pas istirahat pasti rame."
"Sampe kamu mandi sama sikat gigi, jangan banyak gerak, banyak bicara, atau banyak angkat tangan ya. Kamu tadi enggak sikat gigi, sama enggak pake tawas kan?" Tanya Elanda yang membuat Lita ingin memberi tonjokan ganda pada Elanda jika saja ia lupa bahwa Elanda adalah Bosnya, atau ia siap dipecat.
"Terima kasih lho Pak, perhatiannya. Sangat saya apresiasi, sampai saya pengen cepat ke meja saya aja buat kerja. Lagian tawas itu di pake orang jaman dulu. Saya orang masa kini, Pak." Ujar Lita sekenanya namun sebenarnya ia menyindir.
"Wah kamu bersemangat ya. Tapi tawas itu lebih ampuh buat ketiak. Enggak bikin hitam juga. Coba, deh." Ujar Elanda menepuk kepala Lita.
Lita segera memundurkan tubuhnya dengan tatapan waspada. Sementara Elanda hanya bisa diam dengan tangan yang mengambang di udara.
"Duh, Bapak ini! Kan saya udah bilang, jangan lakuin hal-hal yang bisa bikin anak orang baper!"
"Lho itu bentuk apresiasi, seperti Bapak bangga sama anaknya. Kamu sering lihat, kan?"
"Tapi saya bukan anak Bapak!" Elak Lita.
"Tapi kamu panggil saya Bapak, kan?" Ujar Elanda yang membuat Lita mendengus keras.
"Maksud saya, Bapak bukan Papa, Papi, Ayah- oh ya, Bapak kan keturunan bule ya, pasti manggilnya Daddy? Nah, Bapak itu bukan Daddy saya. Bapak paham?" Ungkap Lita menjelaskan dengan bersungut-sungut.
"Ya sudah, kamu tinggal pilih mau panggil saya Papa, Papi, Ayah atau mau Daddy biar lebih seksi?" Tanya Elanda seraya memajukan wajahnya mendekat perlahan membuat Lita terpojok.
"Bapak masih dibawah pengaruh pil biru ya? Eling, Pak! ini mau masuk kerja." Gerutu Lita.
"Emangnya kalau saya masih di bawah obat kamu mau gimana?" Tanya Elanda membuat Lita sedikit bergetar lalu membawa tangannya ke arah gagang kunci pintu untuk membuka. Namun Lita panik karena ia hanya mendengar bunyi cetak namun pintu tidak kunjung terbuka. Demi Tuhan, pintu ini masih terkunci!
Lita memundurkan tubuhnya hingga mendorong kursi. Ia terpojok. Duh, Pak Elanda sungguh mau itu lagi? Tapi semalam mereka sudah beberapa melakukannya kan? apakah Pak Elanda tidak puas? Lita bergumam dalam hati. Tapi jika melakukan itu, mereka ini di basemen kantor, kalau ada yang melihat mobil Pak Elanda bergoyang-goyang, pasti akan menjadi gosip menggemparkan. Belum lagi, Lita masih mempertahankan status pertunangannya dengan Harry untuk balas dendam.
Lita hanya bisa memejamkan netranya rapat-rapat. Sudahlah! Ia tidak tahu lagi nanti kedepannya akan seperti apa.
"Coba kamu buka baju kamu sama rok- duh!" ujar Elanda lalu meringis saat tangannya hampir tergelincir di atas kursi Lita.
Lita tercekat dengan bibir yang menganga dan bergetar. Pak Elanda langsung to the point meminta Lita buka baju?
Tatapan mereka bertemu, Elanda memandang Lita begitu pun Lita yang terhipnotis pada manik gelap onyx yang seakan menyedotnya pada galaksi. Gelap, namun indah.
Keadaan menjadi semakin intim tatkala Lita menyadari bahwa Elanda menatap bibirnya yang terbuka. Apakah mereka akan berciuman? Lita mematung bingung. Keadaan ini sungguh tidak menguntungkan. Karena ia tidak dalam penampilan yang layak. ah Lita rasanya ingin menangis saja.
Bagaimana jika mulut Lita bau? Ia menyesal tadi tidak sikat gigi sedikitpun padahal ia bisa saja meminta pasta gigi Elanda dan menggunakan jarinya untuk menyikat gigi. Oh atau Lita bisa menggunakan cairan pembersih mulut warna biru yang ia lihat di wastafel Elanda.
"Duh masih ada enggak ya, seingat saya, saya simpan satu deh, di sini."
Lita terdiam melihat Elanda yang sedang mengubek-ubek sesuatu di belakang kursi Lita. Apa yang Elanda cari? Ah mungkinkah ia mencari pengaman?
"Kamu ngelamun?" Tanya Elanda yang sudah kembali duduk di kursinya.
Lita menggigit bibirnya dan kembali menatap Elanda yang sedang menunggunya dengan kelopak mata terkulai sayu. Sedikit malu bercampur ragu, Lita lalu membawa tangannya untuk membuka tiga kancing kemejanya yang paling atas perlahan.
"Lho, kamu ngapain? Kok buka kemeja?" Tanya Elanda yang seketika membuat Lita mematung dengan tangan yang masih menggantung di depan kemejanya.
Tatapan Lita berubah dari sayu menjadi kilatan emosi. Lita tidak mungkin salah dengar kan? Jelas-jelas tadi mereka sedang membahas bahwa Bosnya itu masih dalam pengaruh pil biru dan mengajak Lita untuk melakukan itu.
Tidak hanya Lita yang mendengar bahwa Elanda memintanya membuka baju bukan?
"Pak, saya yakin malaikat pencatat amal dengar juga lho kalo tadi Bapak minta saya buka baju sama rok saya, bukan saya yang tiba-tiba mau buka baju." Ujar Lita dengan tatapan jengah. Juga perasaan kehilangan harga diri yang amat sangat dalam.
"Ya saya memang nyuruh."
"Terus?"
"Maksud saya, kamu buka baju yang luarannya aja lho. Itu yang mirip jas, itu saya enggak tahu apa namanya."
"Terus Bapak mau ngapain nyuruh saya buka blazer sama rok saya?" Tanya Lita dengan nada ketus, alisnya bertautan dengan rahang menegang terlihat kesal.
"Saya ada baju luaran yang bisa di pakai. Saya nyuruh kamu buka buat ganti. Enggak mungkin kamu pakai baju yang sama kan? Nanti kamu dikira enggak mandi, meskipun memang faktanya kamu enggak mandi sih, haha...."
"Bapak ngelawak?" Sarkas Lita lalu menarik handle mobil Elanda yang masih terkunci.
"Lita..." Panggil Elanda.
"Buka." Titah Lita membuat Elanda membuka kunci mobilnya sementara Lita melangkah keluar mobil meninggalkan Elanda yang terdiam dengan bibir terkatup melihat reaksi Lita.
"Lita...." Elanda memanggil kembali namun Lita tetap berjalan meninggalkan Elanda yang masih di dalam mobil.