Lita menggigit ujung kukunya berkali-kali. Ia terus berjalan mondar mandir seraya menggumamkan banyak nama seperti tengah merapal mantra.
"Milinka Wijaya. Noura Yukiko, Ivan Wirawan. Blazer kimono, tren Jepang-"
"Lita, kamu bukan mau ditest hafalan. Kamu pahami isinya bukan dihafal. Kamu anak SD lagi ngehafal perkalian?" Ujar Elanda yang jengah melihat Lita mondar-mandir menghafal isi proposal, lalu menggerutu sendirian karena ia melupakan satu nama penting, membuat Elanda ikut merasa pusing dan tidak fokus.
"Habisnya saya enggak bisa kalau enggak dihafal Pak!" Ujar Lita frustasi. Elanda hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya.
"Sini kamu duduk samping saya, coba jelasin isi proposal itu. Anggap saya Dirga," ujar Elanda membuat isyarat Lita agar menghampirinya. Lita menggigit bibir bawahnya lalu berjalan ragu ke arah Elanda.
"S-saya ambil kursi dulu!" Ujar Lita berjalan hendak meraih kursi tamu yang berada di depan meja Elanda, namun belum sempat ia meraihnya, Lita terbeliak saat merasakan tubuhnya limbung, Lita hampir berteriak namun ia menahan teriakannya saat melihat bahwa yang menarik pinggangnya adalah Elanda.
"Ternyata kamu enggak serata yang saya kira," Elanda menatap Lita yang berada di pangkuannya dengan mulut ternganga.
"R-rata?"
"Iyaa, apa ini namanya, bokong ya?"
Wajah Lita merona panas saat merasakan ada tangan nakal yang meremas bokongnya cukup kuat.
"Katanya kalau perempuan berbokong besar itu berpotensi lahirkan anak cerdas. Saya jadi penasaran, itu beneran atau hoaks."
Lita melirik Elanda yang menatapnya dengan senyum "Bapak tiba-tiba bahas anak, Bapak pengen punya anak? Bikin dong Pak, jangan cuma bayangin aja."
"Saya belum nemu yang pas Lita. Lagi pula, memiliki anak itu beresiko, saya takut anak saya menyesal dilahirkan. Soalnya dunia itu, kejam kan?" Ujar Elanda dengan tatapan menerawang, namun satu hal yang dapat Kita rasakan, Elanda mengatakan itu dengan penuh kesedihan. Lita jadi berpikir apakah Elanda memiliki masalah dengan orang tuanya?
"Kalau dipikir-pikir, hidup itu emang berat dan kejam Pak! Tapi kita enggak bisa melakukan banyak hal selain jalani." Lita menatap Elanda dalam, seperti menyelami laut biru yang dalam. Aneh, kenapa ia merasa bahwa Elanda melalui hidup yang sulit makannya ia bertanya seperti itu?
"Mau ngeluh pun, cuma nambah capek diri sendiri, tapi enggak berarti Bapak sendirian di dunia ini atau Bapak harus keep semuanya sendiri. Saya pernah bahas kan soal curhat? Bapak bisa curhat sama saya. Enggak tahu sih, saya bisa kasih solusi atau enggak. Tapi saya bisa dengarkan atau peluk Bapak hehe."
Elanda terdiam lalu menutup bibirnya dengan tangan seraya tertawa "Hahaha, dengar kamu ngomong puitis gitu saya ngerasa aneh."
Wajah Lita yang semula melodrama berubah asam."ya, ya, ya saya mah pantesnya ngelawak aja kan kayak badut." Rajuknya.
"Perasaan aneh yang buat saya merasa, kamulah orangnya."
Pupil netra Lita membola"O-orangnya?"
"Yang bisa saya percaya sekaligus bisa menghibur saya. Aneh, padahal saya baru kenal kamu."
"Saya udah dua tahun lho kerja sama Bapak! Bapak melupakan pengabdian dua tahun saya?"
"Tapi kita baru hitungan jam kan, kenal lebih dalam?"
"Hitungan jam, tapi hampir tiap menit saya bareng sama Bapak. Saya sampai bosen." Ujar Lita yang sebenarnya berbohong. Ia malah terkejut bagaimana waktu mendekatkan mereka, sebelumnya satu menit saja bersama Elanda terasa seperti seribu tahun lamanya, berdebat dengan Elanda seperti berdebat dengan malaikat pencabut nyawa, bahkan hanya dengan kemunculannya saja Lita merasa ia horor.
Tapi, kenapa sekarang ia tidak merasakan lagi perasaan itu? Ia bisa tertawa, tidak perlu bersikap kaku, ia bahkan bisa menggoda Elanda hingga bisa melihat ekspresi-ekspresi yang tidak pernah Elanda perlihatkan. Dan anehnya, ia malah menikmatinya.
"Bosen? Kamu bosen sama saya?" Tanya Elanda namun tidak digubris Lita.
"Kamu bosen sama saya?" Elanda bertanya lagi namun Lita tetap tidak bergeming dan sibuk membuka-buka proposal.
"Lita,"
Lita melirik Elanda sekilas dan ia melihat Elanda tengah menatapnya berharap bisa mendapatkan atensi Lita. Lita semula hanya bermaksud menggoda Elanda, namun niatnya itu memudar saat melihat Elanda memperhatikannya dengan tatapan tajam namun mempesona.
Elanda mendekatkan wajahnya, perlahan terasa hembusan napasnya yang panas semakin dekat, decitan kursi kerja Elanda terdengar namun Lita tidak sedikit pun terlihat akan beranjak. Saat jarak di antara keduanya semakin tipis, bunyi dering telepon Lita memecah keintiman mereka.
Dengan canggung Lita segera mengangkat telepon genggam itu, ia bahkan tak sempat melihat layar teleponnya untuk mengetahui siapa yang menghubunginya.
"Halo?" Tanya Lita segera membawa tubuhnya untuk berdiri dari pangkuan Elanda lalu melangkah sedikit jauh untuk mencari privasi.
"Mama udah di lobby nih, bawain kamu makanan."
Lita membolakan netranya terkejut. Padahal hari ini ia tidak mau bertemu dengan orang yang ia sebut Mama ini tapi takdir malah sengaja mempertemukannya, seakan ingin mempermainkannya.
"Di Lobby? Lobby kantor? Kok Mama tiba-tiba nganter makanan?" Tanya Lita sedikit sinis.
"Kamu habis lembur kan, tadi Harry telepon Mama Lho, katanya keadaan kamu kacau. Kamu dimarahin habis-habisan sama Bos-"
"Psst!" Potong Lita segera melirik Elanda yang sepertinya juga tahu bahwa ia sedang dibicarakan, "Lita lagi sama Bos Lita."
"Oh, ya udah nih kamu bawa makanannya, Mama mau pergi lagi soalnya. Mama tunggu dibawah." Panggilan itu berakhir sementara Lita belum selesai berbicara.
"Tapi Ma- ish," Lita menggerutu tak ingin menerima makanan itu, tapi ia tidak memiliki alasan untuk menolak.
"Ada apa Lit? Tanya Elanda membaca dari raut wajah kesal Lita.
"Enggak ada apa-apa kok, Pak. S-saya mesti ambil paket di bawah." Lita memilih untuk berbohong, berpikir bahwa lebih baik tidak mengatakan pada Elanda bahwa Ibu Lita datang.
"Ya udah sekalian aja kita berangkat buat meeting," usul Elanda. Wajah Lita terlihat masam, kalau Elanda ikut, artinya ia akan melihat ibunya. Haruskah ia membiarkannya? Tapi ia juga tidak memiliki alasan kuat kenapa ia harus berbohong pada Elanda. Mungkinkah karena ia teringat ucapan Elanda tentang ibunya? Apakah Lita takut bahwa Elanda terpesona pada ibunya?
"Lita?" Elanda mengernyitkan dahi saat melihat Lita yang melamun serius.
"O-oke, Pak." Sahut Lita lalu mempersiapkan barang bawaan mereka untuk meeting, juga mempersiapkan hatinya untuk melihat wajah dari orang yang telah berhasil menipunya dengan kebaikan dari sosok ibu, lalu menghancurkan hatinya dengan sosok pelacur yang haus akan sentuhan.
Saat sampai di Lobby gedung kantor, Lita kembali harus mempersiapkan hatinya, Harry terlihat tertawa lepas dengan ibunya. Mereka bahkan sempat berpegangan tangan saat sang Ibu menyerahkan satu kotak bekal yang sepertinya sengaja disiapkan untuk Harry. Lita merasakan hatinya sesak. Ia jadi berpikir mungkinkah kekhawatiran terhadapnya hanyalah alasan yang dibuat-buat agar mereka bisa bertemu?
Hati Lita bergemuruh, ia merasakan panas merayap diantara hati dan otaknya. Tangannya mengepal kuat, tatapan membunuh kembali menyala diantara kedua matanya. Lita ingin menghancurkan tawa itu, kebersamaan itu, menyingkap wajah palsu mereka yang menjijikkan.
Andai saja pil biru di dalam bir itu berhasil Harry minum, bagaimana reaksi ibunya? Bagaimana jika Harry tewas saat sedang melakukan aksi menjijikkan dengan sang ibu? Ibunya pasti akan begitu syok dan trauma melihat kematian di depan matanya. Dengan begitu ia akan sadar bahwa ia berdosa dan berpikir inilah karmanya. Bukankah itu balas dendam yang sempurna?
"Lita,"
Lita menoleh saat merasakan sebuah tangan menyentuh kepalan tangannya dengan lembut dan hangat.
"Kamu bisa pikirkan cara yang lebih baik. Cara yang cerdas untuk balas dendam."