"Langit?" Mata Awan melebar ketika dia melihat Langit yang berada di rumahnya, tepatnya di meja makannya. Apalagi ketika Awan semakin mendekat Langit sedang mengenakan pakaian rumahan, seolah ini memang rumahnya. Dia menatap tajam Awan dan mengamatinya. Awan dengan ragu bertanya, "Kenapa kamu ada di sini?"
"Ini rumahku juga. Ada memangnya?" katanya setengah hati menjawab sambil mengunyah nugget di tangannya.
Awan memilih duduk di sebelah ayahnya meninggalkan tanya yang bergulung di pikiran tentang perilaku Langit dan kehadirannya. Dia melirik Raihan yang tetap santai memakan makanan yang terhidang di atas meja tanpa menoleh sedikit pada Awan.
Awan menelan semua pertanyaan dan memilih diam mengambil salah satu kursi lalu duduk. Dia masih merasakan bagaimana tubuh dan kepalanya masih terasa sakit sama seperti saat dia memaksakan dirinya untuk kembali ke sekolah setelah kejadian nahas itu. Awan menghela napas saat denyut menyakitkan di beberapa bagian tubuhnya terasa.
Awan berusaha menelan semua makanan yang dia coba makan. Dengan pikiran yang melayang pada kejadian siang, dia bergidik. Mimpi buruk itu akan terus ada dan melekat pada diri Awan, membayang-bayangi dan terus mengejarnya. Mana mungkin Awan bisa melupakannya begitu saja? Hal itu pasti akan terus ada di sepanjang sisa umurnya.
"Lihat Ayah, dia mengganggu makan malam kita. Dia ingin memuntahkan isi perutnya di sini. Dasar jorok." Awan tersentak dari kata-kata kasar Langit, dia baru menyadari tangannya menekan mulutnya karena mual.
"Kalau nggak mau makan ngomong aja, sana masuk ke kamar. Kamu nggak pernah mau menghargai makanan," perintah ayah tanpa membuat Awan berpikir dua kali. Dia langsung melesat ke kamar dan mengunci pintu. Air matanya sudah lama mengering, sekujur tubuh Awan bergetar tidak peduli ayahnya melarang dia menangis. Awan tidak peduli tidak ada yang melihatnya sekarang.
Dia membenamkan wajahnya di balik bantal. Memikirkan bagaimana bisa ada Langit di rumahnya dan sikap ayahnya yang tiba-tiba berubah. Pertanyaan-pertanyaan serupa terlontar di benaknya. Ketika dia tersentak saat sadar bahwa tadi Langit menyebut Raihan dengan sebutan ayah, ada apa ini?
Awan mengerang ketika rasa sakit berdenyut di belakang kepala. Dia memijat kening untuk mencoba menghentikan tetapi usahanya tampak sia-sia. Awan berbaring telentang menutupi wajahnya dengan lengan dan tanpa sadar membuatnya tertidur.
***
Awan tersentak dari tidur ketika mendengar bunyi dari ponselnya yang berdering nyaring di sebelahnya. Dia sedikit mengerenyit mendapati bahwa ayahnyalah yang menelpon.
Dia dengan enggan mengangkat panggilan dan menempelkan ke telinga. "Hallo, Ayah. Kenapa telpon? Aku kan di rumah."
"Dimana? Tadi Ayah cari Awan nggak ada." tanya Ayahnya terdengar tidak sabar. Mencari? Bukannya ayahnya mengetahui dia sejak tadi berada di kamar dan ayahnyalah yang menyuruhnya kemari. Untuk apa mencari dirinya?
"Ayah coba ke atas, aku sejak satu jam yang lalu di kamar." Setelah mengatakan itu, terdengar langkah kaki berisik di ujung sana.
Ayahnya kembali berbicara di ujung sana dengan nada keras. "Awan jangan main-main sekarang. Ayah udah di kamar, kamu nggak ada."
Awan refleks langsung berdiri dari duduknya dia menatap di sekeliling kamar, tapi tidak ada apapun. Dia juga melihat keluar kamar tapi tidak ada ayahnya di sana. Awan kembali ke kamar dan menutup pintu. "Ayah aku beneran, aku di kamar. Tadi kita habis makan malam Yah."
Ada jeda panjang di antara mereka dan Awan yang mulai merasa tak nyaman. Tidak mungkin ayahnya sendiri mempermainkan dia, kan? Kemudia Raihan mulai kembali berbicara, "Awan Ayah baru pulang. Ayah ada di dalam kamar kamu yang kosong."
Jantung Awan berdetak cepat, masih tidak memahami apa yang sebenarnya terjadi, dia berkedip beberapa kali mencerna perkataan Raihan dengan baik. Apakah ayahnya berbohong? "Aku di kamar Yah, nggak ada Ayah di kamar."
Mereka diam cukup lama, Awan mendengar langkah kaki menuju ke arah kamarnya. Itu Langit? Atau Ayahnya? lalu Awan berbisik, dia tahu orang di luar tidak akan mendengarnya. Awan mulai bertanya, "Ayah ada di luar kamar aku?"
Lalu pesan masuk berdengung pelan, dia segera membukanya untuk dia baca dengan cepat. Seketika itu juga perasaan Awan menjadi kacau. Pikirannya sama sekali tidak memahami apa yang sebenarnya terjadi. Hal ini tidak bisa di cerna oleh logikanya. Karena ayahnya mengirimkan sebuah foto kamar Awan yang kosong lengkap dengan waktu tertera di sudut foto.
Awan semakin panik saat dia mendengar suara ketukan dari luar pintu. "Awan?" panggil suara Raihan dari luar. Jika itu bukan suara ayahnya yang menelpon lantas siapa?
"Ayah? Ayah Aku di mana? Ayah Aku di mana?" Awan berbisik tak sabar menoleh antara pintu dan ponselnya.
"Awan tenang. Jangan tutup telponnya Ayah di sini," kata Raihan mencoba untuk menenangkan Awan yang nyatanya hanya sia-sia.
Awan lupa mengunci pintunya, hingga sampai di mana ayahnya telah berdiri di ambang pintunya. Awan mengamati ayahnya seolah tidak terjadi apapun. Walaupun tangannya dingin menjalar dengan ketakutan alami.
Awan kembali berbisik sangat pelan di telpon, tapi matanya tidak lepas dari ayahnya yang berdiri di sana ikut melihat ke arah Awan seperti sedang mengawasinya. "Ayah masuk ke kamarku, tapi kenapa Ayah nggak pegang ponsel."
"Ayah Aku di mana? Siapa mereka?" Awan mengerang dalam hati ketika panggilannya terputus. Dia langsung bersikap alami dengan meletakkan ponselnya di sisinya duduk dan menganggap hal tadi tidak terjadi.
"Ayah ada apa?" tanya Awan merasakan deru napasnya di telinga.
"Nggak apa-apa. Ayah ingin melihat apakah kamu belajar atau bermain game. Ternyata bukan keduanya. Kamu habis menelpon siapa?" tanya Ayahnya menyipit, Awan kerasan dirinya mundur perlahan. Raihan tidak pernah berbicara kepada dirinya begitu dingin seperti ini.
Awan menelan ludah. "Awan akan belajar Ayah. Aku menelepon teman."
Ayah menyipitkan matanya kembali meneliti dirinya, untuk mencari kebohongan. Tatapannya menjadi normal, kemudian tanpa kata dia pergi begitu saja dengan menutup pintu cukup keras. Awan menghembuskan napas lega, tidak tahu apa yang sebenarnya menimpa dirinya. Awan benar-benar harus bangun dengan semua keanehan yang terjadi. Tapi nyatanya dia tidak bisa. Karena ini nyata bukan sekadar hayal.
Awan bangkit berdiri berjalan ke kamar mandi untuk membasuh wajahnya. Awan lelah, tapi dia tidak bisa tertidur lagi.
Tangan panjangnya menekan keran air pada wastafel yang mengalir deras. Dia menampung sejumlah air di tangkupan tangannya dan Awan membasuh permukaan wajah. Merasakan air dingin masuk ke pori-pori.
Mata Awan langsung membelalak setelah dia mengangkat wajahnya untuk melihat ke arah cermin, manik mata Awan sama sekali tidak mendapati bayangan dirinya yang terpantul di sana.
"Apa-apaan?"
Bersambung...