Awal mula kejadian,
Ahmetta tengah mengikat tali sepatunya dengan terburu-buru. Sesekali mulutnya akan mengumpat ketika melihat jarum jam terus berjalan hingga menunjukkan pukul 07.05. Menandakan bahwa waktu yang akan dia tempuh menuju sekolah hanya tersisa sepuluh menit lagi.
Ia segera berdiri setelah tali sepatunya itu terikat rapi, lalu mengambil tas ranselnya dan menyandangnya dibahu. Setelah dirasa sudah rapi dan lengkap, ia pun segera keluar dari paviliun. Jangan tanya kenapa ia tidak pamit, Ibunya sudah pergi mengurusi urusan mansion jam 04.30 pagi tadi. Wajar saja sih, Ibunya adalah seorang kepala pelayan. Sementara Ayahnya adalah asisten pribadi si Tuan rumah.
Ahmetta melangkah cepat, bahkan dari pada langkah— lebih cocok dikatakan bahwa ia sedang berlari. Stefanie yang melihat Ahmetta terburu-buru lantas memanggil.
"Ahmetta!" teriaknya memanggil anak kepala pelayan mansionnya itu. Sekaligus anak sahabatnya.
Ahmetta segera menghentikan langkah kakinya ketika mendengar Stefanie memanggilnya. Ia segera menghampiri Stefanie dan menunduk memberi salam. "Iya, Tante?" jawabnya. Ya, Ahmetta memang memanggil Stefanie dengan sebutan tante. Wanita itu sendirilah yang menyuruhnya memanggil seperti itu.
"Kamu mau berangkat sekolah 'kan?" tanya Stefanie tersenyum. "Kamu gak bisa kabur hari ini. Biar kamu berangkat barengan ajah sama Ezhekiel. Kalian 'kan satu sekolah," sambungnya. Memang benar apa yang dikatakan Stefanie. Ia sengaja bangun pagi-pagi agar menghindar dari ajakan ini, lebih tepatnya menghidari Ezhekiel, anak Stefanie. Bukan apa-apa, tapi semenjak kejadian itu, Ezhekiel sangat berubah. Pemuda itu menjadi sangat dingin.
"Gak usah, Tan. Ahmetta naik bus aja," ucap Ahmetta sambil menggerakkan kedua tangannya.
Stefanie mengeyit, lalu ia melihat jam tangan yang melingkar dipergelangan tangannya. "Astaga, mana ada bus lagi jam segini," ucap Stefanie tegas. "Udah, kamu barengan aja sama Ezhekiel. Dia udah ada didalam mobil.
Ahmetta merasa jantungnya hampir cobot. Ternyata Ezhekiel sudah berada didalam mobil. Mobil tersebut berada tepat dibelakangnya. Entah mengapa ia merasa panas dipunggungnya. Ia pun menoleh kebelakang dan tersadar bahwa ia membelakangi kaca penumpang sebelah kiri. Ia merasa Ezhekiel sedang duduk disana dan tengah menatapnya.
"Masuk Ahmetta," titah Stefanie dibalas anggukan oleh Ahmetta. Sebelum pergi ke mobil, Ahmet menyempatkan diri mengalami Stefanie terlebih dahulu.
Dengan tangan gemetaran, Ahmetta membuka pintu mobil bagian penumpang. Dilihatnya Ezhekiel tengah menutup mata dengan sebuah headset ditelinganya. Sepertinya Ahmetta salah sangka.
Sebelum memasuki mobil Ahmetta memberikan senyum sungkanya terlebih dahulu kepada Stefanie. Lalu ia masuk dikursih penumpang tepat disamping Ezhekiel.
****
Selama perjalan menuju sekolah, Ahmetta tak henti-hentinya meremas tangannya sendiri. Ia lalu melirik pada Ezhekiel yang berada tepat disampingnya.
Dulu, ia dan Ezhekiel sangatlah dekat. Mereka tumbuh bersama-sama semenjak kecil. Bahkan sangking dekatnya, Ezhekiel bahkan selalu menemaninya bermain boneka dan bermain masak-masakan. Tetapi Ezhekiel yang sekarang sudah berubah drastis semenjak kejadian satu tahun yang lalu.
Mau tau kejadian apa itu? Ahmetta akan menceritakannya.
Saat itu Ezhekiel membawanya ke taman mansion dengan mata yang tertutup oleh selembar kain. Ketika matanya dibuka oleh lelaki itu, ia langsung dikejutkan dengan pemandangan mansion yang dihias sedemikian rupa, ada sebuah meja berisi hidangan lezat dan juga kursi berhadapan yang sudah ditata rapi ditengah-tengah taman dekat air pancuran. Dan lebih terkejut lagi ketika melihat Ezhekiel berlutut didepannya dengan sebuket bunga mawar ditangannya.
Saat itu, Ezhekiel mengungkapkan perasaan cintanya kepada Ahmetta. Ahmetta tentu diserang rasa panik mendengar kalimat cinta Ezhekiel, selama ini ia hanya menganggap pemuda itu sebagai sahabat sekaligus majikannya. Jadi, dengan perasaan yang teramat bersalah— Ahmetta menolak pernyataan cinta Ezhekiel.
"Maaf Ezh. Aku tak ingin berpacaran. Aku harus fokus pada sekolahku. Maaf juga, selama ini aku hanya menganggapmu sebagai sahabatku. Aku tak memiliki perasaan lebih dari sekedar sahabat padamu. Maafkan aku,"
Itu kalimat yang dikatakannya kala itu.
Raut wajah Ezhekiel setelah mendengar perkataannya langsung berubah. Tidak ada raut senang dan berseri-seri ketika ia berlutut tadi. Raut wajah itu berubah menjadi sangat dingin.
Ezhekiel saat itu tiba-tiba saja terkekeh. Lalu ia terdiam. Dan tiba-tiba melempar dan menginjak-injak buket bunga mawar itu. Dan dengan beringasnya merusak segala hiasan yang telah dibuatnya. Bahkan pemuda itu membalik meja yang berisi makanan dan menendang kursi sehingga terlempar.
Ahmetta saat itu sangat ketakutan. Ia tak pernah melihat Ezhekiel yang seperti ini. Selama ini pemuda itu sangat baik dan lembut kepadanya. Namun, malam ini, ia terlihat seperti seorang monster.
Ahmetta saat itu melihat Ezhekiel yang berniat pergi meninggalkannya. Sebelum pergi pemuda itu menyempatkan diri menatapnya. Dapat Ahmetta lihat mata memerah dan rahang mengeras itu. Lalu Ezhekiel berbalik dan berjalan cepat menuju mansion tanpa melihat kembali kearahnya.
Setelah kejadian itu, Ezhekiel akan selalu membuang muka setiap bertemu dengannya. Tak ada sapaan hangat seperti biasanya-- walaupun Ahmetta sudah mencoba untuk duluan menyapanya. Bahkan disekolah, mereka seakan-akan tidak saling kenal, lebih tepatnya Ezhekiel seperti tidak mengenalnya. Beberapa teman sekolahnya bahkan merasa heran, pasalnya dulu ia dan Ezhekiel selalu bersama kemana-mana. Ezhekiel bahkan protectif kepadanya. Hal itulah yang membangkitkan rumor bahwa ia berpacaran dengan pemuda itu, dan melihat ia dan Ezhekiel berjauhan, mereka menyimpulkan bahwa ia dan pemuda itu sudah putus.
"Tuan muda, kita sudah sampai," ucap sang supir. Tanpa menjawab Ezhekiel langsung keluar dari dalam mobil dan menutup pintu mobil dengan keras tanpa memperdulikan raut terkejut dari seorang gadis yang duduk tepat disampingnya. Seolah-olah gadis itu tak dianggap kehadirannya.
"Pak, Ahmetta pamit ya," pamit Ahmetta pada sang supir.
Ia keluar dari dalam mobil dan memperhatikan sekitar. Untung saja sedang sepi. Dengan cepat Ahmetta melangkah menuju kelasnya. Namun ia harus terhenti ketika mendengar suara seseorang memanggil namanya.
"Ahmetta, oyy! Tungguin gue!" teriak orang itu sambil berlari kearahnya. Begitu sampai didekat Ahmetta orang itu langsung merangkul bahu Ahmetta. "Tadi gue liat lo keluar dari mobil si cold boy. Kalian balikan?" sambungnya.
Ahmetta menahan rasa berdebar-debarnya ketika Ray merangkul bahunya. Jantungnya sangat berdebar. Perutnya berdesir seakan ada ribuan kupu-kupu beterbangan disana. "Kami gak pernah pacaran, Ray. Tadi Tante Stefanie cuman ngasih tumpangan doang," jawab Ahmetta pelan. Oh ya, Ray adalah satu-satunya orang yang mengetahui bahwa Ibu Ahmetta adalah kepala pelayan dimansionnya Ezhekiel. Ray juga sebenarnya cukup dekat dulu dengan Ezhekiel. Tapi semenjak hubungannya renggang dengan Ezhekiel, begitu juga yang terjadi kepada Ray dan Ezhekiel.
"Iya, iya gue tau. Gue cuman bercanda Metta," balas Ray sambil mencubit gemas pipi Ahmetta, membuat gadis bersurai kecokelatan itu menjadi salting sendiri. Metta--- adalah panggilan khusus Ray pada Ahmetta. "Udah yuk. Masuk kelas. Sebentar lagi bel sekolah bunyi," lanjutnya memperhatikan jam tangannya.
Ahmetta mengangguk. Keduanya lantas melangkah menuju kelas mereka. Sesekali Ray akan mengeluarkan candaannya kepada Ahmetta, membuat gadis itu tertawa sambil beberapa kali memukulnya kecil.
Mereka tentu tidak menyadari bahwa sedari tadi adegan kedekatan itu diperhatikan oleh seseorang yang berdiri dibalik tembok kiri koridor. Tangannya mengepal sehingga kuku jarinya memutih. Tanpa sepatah kata, ia berbalik menuju arah yang berlawanan.
****
"Muka lo kusam bener. Eneg gue liatnya. Ceriah dikit napa sih," sindir Nadrika ketika melihat Ezhekiel memasuki kelas dengan wajah kusam dan tak enak dilihat. Sebenarnya wajah Ezhekiel bukan kusam, tapi sangat dingin.
Ezhekiel yang sudah duduk dikursinya lantas menoleh menatap Nadrika. Sahabat, lebih tepatnya uncle mudanya itu tengah bermain game diponselnya dengan mulut yang sedang mengemut permen dan kaki yang berada diatas meja.
"Bukan urusan lo 'kan--- Uncle muda," balas Ezhekiel dingin beserta dengan sindiran pada kalimat terakhirnya. Sindiran tersebut ternyata berhasil menyulut kekesalan Nadrika. Pemuda itu langsung mematikan ponselnya. Kakinya ditumbukkan ke meja tersebut sehingga terdengar suara keras.
"Gue benci sebutan itu," ujarnya kesal sambil menggigit permen yang berada didalam mulutnya dan membuang tangkai permen itu sembarangan. "Lo tau, lo adalah keponakan gue yang paling ingin gue hantam."
Ezhekiel hanya diam. Ia mulai membuka bukunya dan membacanya, membuat Nadrika berdecak merasa terabaikan.
"Mending gue bolos," ucapnya berdiri dan keluar santai dari dalam kelas dengan tangan yang berada didalam saku celananya.
Melihat Nadrika sudah pergi meninggalkannya, Ezhekiel kembali mengepalkan tangannya. Giginya bergemelatuk mengingat kejadian di koridor sekolah tadi. Dimana saat ia melihat Ahmetta yang tertawa hanya karena candaan konyol lelaki yang bernama Ray itu. Entah mengapa sesuatu didalam dirinya sangat ingin membunuh lelaki itu dan mencabik-cabik tubuhnya hingga tak terbentuk lagi.