Chereads / April yang Amazing / Chapter 3 - 3Sakit Hati

Chapter 3 - 3Sakit Hati

Seperti biasa Arta ke kampus siang hari dan berangkat masih selalu, sendirian, ya kalau beruntung ada Fifi yang terkadang bareng ke kampus. Kalau tidak ya selamanya sendirian. Hummm selamanya sendirian. Sebenarnya dia juga enggak mau. Tapi keadaan yang menjadikan seperti ini. Berat bagi Arta.

Sesampainya di kampus Arta tanpa sengaja melewati taman kampus. Dia lihat ada Karen yang sedang ngobrol serius denga David, pacarnya. Entah kenapa Arta memutuskan untuk mengendap-endap dan berusaha menguping tentang pembicaraan mereka.

Tampak David sangat marah kepada Karen, sedangkan gadis itu hanya menangis. Mereka berdua berdiri saling berhadapan. Karen adalah gadis satu-satunya yang mengisi hati Arta sejak masa sekolah SMA. Entah meskipun Arta tak pernah dipandangnya, tapi Karen masih berada terus di dalam hatinya itu.

Sampailah pada lelaki itu menampakan posisi tangannya hendak memukul Karen, secara spontanitas Arta berteriak. Ia lupa kalau dirinya sedang menguping dan bersembunyi diam-diam.

"JANGAN PUKUL PEREMPUAN!!!" teriaknya keras karena kaget melihat pemandangan itu. Ia seakan tak rela gadis yang ia cintai itu hendak diperlakukan kasar oleh pacarnya.

Kedua orang itu tanpa menunggu waktu lama menoleh ke arah Arta berbarengan. David nampak sangat marah lagi akan kehadiran Arta yang tak disangka-sangkanya.

"Hei! Siapa kamu?! Sok ikut campur urusan kami?" Teriak lelaki itu.

"Aku tidak ada urusan, aku hanya lewat dan aku lihat kamu akan memukul dia?" jelas Arta memberanikan diri. Padahal ini memang bukan urusannya.

"Memang kenapa kalau aku memukulnya? Dia pacarku ya terserah aku." David berjalan mendekati Arta.

"I ... iya memang di ... dia pacarmu, tapi kita kan sebagai laki-laki tetap tak boleh memukul perempuan? Lagian Karen adalah temanku sejak SMA, jadi kami sudah lama kenal. Wajar saja aku melarangmu," tambahnya terbata-bata.

"Hahaaaa ... ini teman mu Karen? Jangan-jangan kamu dulu pacarnya ya? Kok jelek begini Karen. Beruntung dong aku mau sama kamu. Hahaa, tuh kalau mau balikan. Angkut saja gadis itu," umpatnya kasar.

"Aku bukan siapa-siapanya dia, teman SMA saja. Aku hanya tak suka lihat cowok memukul cewek. Itu sangat tidak pantas," bela Arta. Karen masih terus menangis.

"Ah ... Sudahlah. Moodku jadi jelek melihat wajah lelaki jelek ini yang merasa sok jagoan. Nah, silahkan kalian berduaan. Aku mau pergi! Hahaaa!" balasnya sambil berlalu meninggalkan Karen dan Arta.

"Sayang!!! Jangan pergi, maafkan aku. Tunggu!!!" Karen nampak berusaha mencegah David untuk pergi, tapi tangannya itu di tepis oleh David sehingga laki-laki itu berlalu.

"Karen, maaf ya?" Arta menyodorkan tissu untuk Karen, Tissu yang masih dalam kemasan. Memang Arta kemana-mana membawa tissu karena ia menyadari kulit wajahnya yang sering berminyak itu.

Karen tak menggubrisnya sama sekali. Ia tetap menangis tersedu-sedu. Arta kira kalau Karen tidak mendengarnya, maka dia mencoba mengulang pernyataannya.

"Ini tissue, bersih kok. Masih dalam kemasan,"

"Aku tak butuh itu! Biarkan aku sendiri. Jangan sok perhatian!"

"Aku tidak ada niat apa-apa Karen, ini hanya tissue. Tidak lebih."

"Pergilah!!! Kenapa kamu sok ikut campur urusanku?"

"Aku tidak ikut campur, tadi karena kau mau dipukul dia ...."

"Memang kenapa kalau dia pukul aku? Aku sudah terbiasa dengan sikapnya. Sekarang dia makin marah kepadaku. Dia meninggalkan aku!"

"Tapi ... Karen ...."

"PERGILA!!!! Aku tak pernah melihatmu meskipun kita pernah satu kelas!"

"DEGH!!!" Hancur hati Arta, yang selama ini memang sudah hancur karena cinta yang tak kunjung ia raih, tapi kali ini lebih hancur. Seperti sebuah luka yang telah lama menganga, tiba-tiba hari ini seperti di siram oleh kucuran air jeruk oleh kata-kata Karen.

Gadis yang dia sangat cintai dari jaman sekolah, ternyata perangainya tak baik. Ia tak bisa membedakan mana kebaikan dan mana kejelekan. Apakah cinta yang membutakan dia?. Apakah dia kelak juga bisa berubah seperti itu jika sedang mabuk cinta?

"Ehm ... Ma .. Maafkan aku Karen," Arta melengos dan berjalan pergi. Sedangkan Karen masih berada disitu dan masih menangis tersedu-sedu.

Arta masih tak bisa berfikir. Aku sudah membelanya kenapa malah dimarahi gadis itu? Sudah dimaki sama cowoknya. Eeee ... serba salah! Nasih memang enggak pernah rela ngasi aku kemujuran. Melakukan kebaikan pun tetap menjadi sebuah kesalahan. Dia sangat sedih. Karena selama ini dia hanya tidak pernah dipedulikan oleh Karen. Itu sudah sangat biasa, tapi kalau dimarahi dan dimaki oleh gadis yang ia cintai adalah baru kali ini.

"Hufffft ...." dia melepaskan nafas yang panjang.

"Arta! Yuk kita ke kantin," tiba-tiba ada yang menayapa. Oh itu Fifi dan Ginanjar yang menghampiriku.

Ya ... Palingan mereka bertiga lah yang saling menemani dan selalu sering bersama, kalau grup yang lain sudah beda lagi. Kumpulan orang kaya sendiri, kumpulan orang pintar sendiri, kumpulan orang ganteng juga berbagai tingkatan. Kalau Arta ya hanya bertiga inilah kunpulannya yang mau menemani dia.

"Wajahmu kenapa, Ta?" tanya Fifi, "sesih amat sih? Amat saja sudah enggak pernah sedih!" goda Fifi mencoba menghibur teman swkaligus tetangganya ini.

"Aku, habis lihat Karen berantem aama pacarnya, gara-gara pacarnya mau mukul dia, aku spontanĀ  melarang ya? Eh, dapat makian dari pacarnya. Dapat marah dari Karen juga," sesal Arta.

"Ya, kamu sih sok kenal sok dekat, dia mana suka lagi ada hal serius tiba-tiba kami ganggu suasana dia? Hehe .. pantesan dia marah."

"Lhah?! Masak dia mau dipukul aku diam saja melihat itu semua?" terang Arta.

"Kalau aku jadi kamu sih, mending aku pura-pura enggak tahu saja, Ta," sahut Ginanjar. Ginajar adalah teman yang baru mereka kenal saat kuliah, kukitnya sawo banget dan orangnya juga gemuk sekali. Mungkin merwka bertiga memiliki banyak kesamaan dalam hal status sosial dan urusan percintaan. Ketiganya sama-sama belum pernah merasakan berpacaran. Begitu juga Fifi. Aneh! Kok bisa gitu yah. Hehee

Memang begitu, memang ada juga kok orang yang belum pernah merasakan pacaran sampai akhirnya dia menikah. Itu jugalah yang menjadi prinsip Fifi, sambil menyelam minum air. Berhubung belum ada yang menyatakan cinta kepadanya. Dia sekalian saja berprinsip untuk menghindari pacaran dan kelak ingin siap menikah saja.

Mereka bertiga akhirnya berjalan menuju kantin dan sudah biasa Ginanjar yang memilih untuk membayarkan semua makanan itu nanti. Dia sangat loyal kepada dua sahabatnya ini. Karena memberikan kenyaman bagi Ginanjar yang sedari awal tidak memiliki teman.

Mereka asyik mengobrol dan tertawa-tawa bersama. Sejebak melupakan segala masalah yang bergelayut di kepala dan di dada masing-masing.

Mereka berprinsip. Tak apalah tak ada yang memandang mereka saat ini. Mereka akan bersungguh-sungguh belajar agar kelak bisa menjadi orang Sukses yang terpandang