Siang itu juga Eiji pergi meninggalkan apartemen Kei setelah perdebatan panjang. Mereka saling melempar kata-kata makian hingga berakhir perkelahian dan membuat bekas di wajah Eiji. Tidak terlalu parah, hanya memar yang akan hilang dalam beberapa hari setelahnya. Dia meninggalkan segalanya disana dan hanya membawa baju yang melekat di tubuhnya. Dia tidak berharap bahwa Kei akan memandangnya lebih rendah lagi jika dia membawa apa yang Kei pernah berikan. Tanpa barang dari Kei, dia tetap masih bisa berjalan menyusuri kehidupan.
"Sato-kun?"
Eiji berhenti melangkah ketika mendengar suara memanggil namanya. Dia menoleh dan menemukan seorang pria dengan pakaian rapi yang baru saja berjalan bersimpangan. Dia menatap pria dengan mata hitam gelap di belakangnya.
"Sato Eiji? Jadi itu benar, kamu?"
Pria itu menatap Eiji dengan senang. Dengan tergesa pria itu berjalan menghampiri Eiji, "kamu tidak mengingatku?" ada nada kecewa di dalam kalimat itu, seolah telah menghancurkan bunga-bunga yang telah bertebaran di hatinya beberapa saat yang lalu.
Eiji hanya menggeleng lemah. Ingatan Eiji akan wajah seseorang memang sangat lemah. Bahkan mungkin dia juga tidak akan mengingat wajah kedua kakaknya jika dia tidak melihat foto mereka yang terlampir di sebuah majalah bisnis.
"Ichikawa Jun."
Pria itu mengulurkan tangannya di depan Eiji dan menunggu Eiji akan menyambutnya.
.
.
.
Sekarang Eiji mengingatnya. Awal mereka bertemu adalah saat dia baru saja menginjak usia empat belas tahun. Dia sering sekali menghabiskan waktu luangnya di kantor kakak bungsunya. Dia bertemu dengan Jun di sana, ketika pria itu tengah menemani ayahnya untuk membahas masalah pekerjaan dengan kakaknya. Dia tidak mengerti dengan jelas apa yang sedang mereka bahas. Kakak bungsunya -Arisugawa Koichi- tidak membolehkan dirinya untuk sekedar mengetahui tentang apapun yang berhubungan dengan bisnis. Meskipun itu adalah bisnis keluarga ayahnya sekalipun.
Lalu pertemuan itu berujung perkenalan. Baik Koichi maupun ayah dari Jun, Ichikawa Ryuga tidak mempermasalahkan hubungan pertemanan yang mulai terjalin itu. Meski pada akhirnya Eiji tidak akan pernah menginjakkan kakinya dalam perusahaan Arisugawa sebagai pemegang kekuasaan.
Selama dua tahun semua berjalan baik-baik saja. Mereka masih saling bertemu ketika Eiji mengunjungi Koichi dan tidak sengaja bertemu dengan Jun. Namun di suatu hari pada awal semester baru, Koichi tiba-tiba saja memasukkan Eiji ke sebuah sekolah Asrama. Dan setelahnya mereka tidak pernah lagi bertemu ataupun saling berkomunikasi.
"Sudah sepuluh tahun lebih, bukan?"
Jun masih seperti dulu dengan senyum hangat yang seakan terlihat tulus. Mata kelamnya semakin tajam namun tidak terlalu menyeramkan. Pria itu telah tumbuh dengan baik meskipun sepuluh tahun telah berlalu. Rambut legamnya terlihat agak panjang dibandingkan hari terakhir mereka bertemu.
"Bagaimana kabarmu?"
Eiji tersenyum canggung. Dia merasa agak kurang nyaman ketika Jun berperilaku seakan mereka baru saja berpisah kemarin. Bagaimana pun juga sepuluh tahun bukanlah waktu yang singkat dan dia merasa asing di depan pria itu.
"Aku baik-baik saja."
Eiji mulai cemas ketika dia mengingat kembali tentang Jun di sebuah majalah bulanan yang dibeli oleh sahabatnya. Bagaimana seorang putra sulung dari Ichikawa Ryuga telah menggantikan ayahnya dalam menjalin hubungan kerja sama dengan perusahaan kakak bungsunya. Dan itu adalah kali terakhir dia membaca tumpukan kertas yang berharga mahal.
"Arisugawa-san bilang bahwa kamu dalam masa memberontak ketika kutanya kenapa kamu tidak pernah lagi datang ke kantor." Jun menatap penuh selidik ke arah mata hijau kebiruan itu, "jadi, kalian bertengkar?"
Eiji hanya bisa tertawa hambar mendengar itu, meski kecanggungan yang dia rasa belum hilang sepenuhnya. Dia merasa bingung harus menjawab apa. Dia bahkan tidak percaya kakaknya akan mengatakan kebohongan yang lucu seperti itu. Kenyataanya, Sato Eiji telah melarikan diri dari rumah saat berusia dua puluh tahun demi pria miskin yang bahkan tidak sanggup untuk membeli makan siang. Kenyataannya dia membangkang dan melawan kakaknya lalu ikut hidup dalam kekurangan bersama Kei. Namun kini pria itu membuangnya setelah keuangannya membaik setelah bekerja di perusahaan yang lumayan besar.
Eiji meremas kedua tangannya di bawah meja. Tanpa sadar bibirnya bergetar ketika mengingat kembali Kei. Bagaimana bisa Kei membuangnya begitu saja setelah tahun-tahun berat yang mereka lalui bersama.
"Sato-kun. " Jun mengangkat tubuhnya sedikit dari kursi hanya untuk mengusap air mata yang mengalir di pipi Eiji, di wajahnya nampak ekspresi kekhawatiran melihat Eiji tiba-tiba saja menangis, "kamu baik-baik saja?"
Eiji hanya menggeleng dan membuat kecemasan Jun semakin memuncak, "ada apa dengan wajahmu?"
Eiji tidak mampu menjawab. Sekarang, memar itu benar-benar telah terlihat. Dia tidak mungkin mengatakan apa yang sebenarnya terjadi kepada orang yang baru ditemuinya. Yah, walaupun sepuluh tahun yang lalu mereka pernah saling mengenal.
Eiji hanya diam dalam keterkejutan ketika Jun berdiri dengan kasar dan berjalan ke tempat dimana dia duduk. Lalu memegang dagunya begitu saja sampai dia mendongak. Dadanya mulai terasa sesak ketika merasakan perhatian yang Jun berikan di pertemuan pertama mereka setelah sepuluh tahun. Matanya berkaca-kaca melihat onik Jun memancarkan kekhawatiran. Andai saja itu Kei. Sampai saat itu, pikirannya akan Kei membuat air matanya kembali mengalir.
"Hei, kenapa kamu menangis?" Jun semakin merasa khawatir. Itu bukanlah pertemuan yang diharapkan. Dia tidak berharap akan melihat Eiji menatapnya penuh luka seperti itu, "ada masalah apa?"
Eiji menghapus air matanya dengan punggung tangannya. Dia mencoba berbicara dengan normal meski itu sia-sia saja, "A-aku baru saja putus dan kami bertengkar."
Pada akhirnya ketegarannya runtuh ketika dia mengatakan apa yang terjadi padanya hari itu juga. Bagaimana Kei menuduhnya berselingkuh dan menghajarnya tanpa ampun. Sementara dia bisa memahami mengapa Kei bisa membagi hatinya untuk orang lain.
Tanpa Eiji tahu, Jun tersenyum puas di balik kekhawatirannya itu. Rasa senang seperti meledak dalam dadanya. Dan tanpa sadar dia mengucap syukur.
Jun menurunkan badannya dan berjongkok di samping kursi Eiji. Dia meraih kedua tangan Eiji lalu tersenyum, "ada baiknya jika kamu memang berpisah dengan kekasihmu."
"Heh?" Eiji cukup syok mendengar bagaimana seseorang merasa bahagia melihat kesedihan orang lain. Dia membuka bibirnya dan bersiap untuk memaki Jun karena ketidaksopanannya itu. Bukankah pria di depannya terlalu kejam? namun ...
"Aku bisa mengumpulkan keberanianku untuk melamarmu."
"Apa?" Eiji tidak dapat menghentikan rasanya keterkejutan itu datang. Kemarahannya menguap dan berganti kebingungan. Pria yang pernah dia kenal selama dua tahun kini melamarnya setelah sepuluh tahun tidak bertemu. Dia pasti salah dengar. Eiji ingin tertawa namun tidak bisa. Dia bahkan tidak tahu harus berbuat apa untuk menanggapi kalimat tersebut.
"Ayo kita menikah, Sato-kun."
"Ap-apa maksudmu Ichikawa-san?" Eiji merasa bahwa ada yang salah dengan pria di depannya.
"Aku menyukaimu sejak pertama kita bertemu."
Eiji meragu dan tidak bisa mempercayai hal tersebut. Bagaimana pun itu sesuatu yang tidak mungkin. Bagi orang seperti Jun, akan lebih mudah mendapatkan seseorang yang bisa memcintai dirinya dengan lebih baik daripada menunggu seseorang dari masalalu.
"Ayo kita minta restu kedua kakakmu."
Eiji semakin merasa tidak nyaman mendengarnya. Dia kelabakan ketika Jun meraih tangannya dan menyeretnya paksa meninggalkan makan siang yang bahkan belum dia sentuh. Da merasa gugup, cemas dan ketakutan mengingat perkataan Jun. Bagaimana pun juga bertemu dengan kakaknya adalah hal yang selalu dia hindari. Eiji tidak akan siap untuk kembali bertatap muka dengan kedua kakaknya yang sudah memutuskan hubungan.
Demi tuhan, dia tidak mau kembali hanya untuk merasakan betapa sakitnya pukulan kakaknya dari tongkat kesayangan Koichi.