Kapan pria itu terakhir terlihat? Eiji bahkan hampir tidak mengingatnya. Mungkin sekitar dua atau tiga minggu yang lalu. Dia hanya mampir sebentar dan kembali pamitan untuk pergi ke luar kota. Maka ketika Eiji menemukan sepasang sepatu yang amat dikenalnya setelah membuka pintu apartemennya, dia buru-buru masuk ke dalam. Dia merasa bahagia, pria itu akhirnya pulang.
Eiji memeriksa kamarnya dengan bibir yang tidak juga berhenti tersenyum. Dia agak kecewa ketika pria itu tidak ada disana. Dia pikir, pria itu akan menunggunya untuk pulang. Senyum Eiji perlahan memudar. Dia melepas jaketnya dan membiarkan kaos pendeknya tetap melekat. Eiji melangkah ke dapur.
"Kamu sudah pulang?" suara pria itu terdengar biasa saja. Tidak ada kerinduan di dalamnya atau hanya sekedar kekhawatiran.
"Harusnya aku yang bertanya seperti itu, bukan?" Eiji balik bertanya. Dia menggenggam dengan erat pinggiran piring di depannya. Eiji cukup kecewa dengan kalimat itu, seakan dialah yang lebih banyak menghabiskan waktunya di luar sana. Eiji mengambil nafas dalam-dalam dan membuangnya dengan pelan. Dia tersenyum ketika berbalik.
Namun senyum itu hanya bertahan beberapa detik ketika dia mendapati pria di depannya telah siap dengan pakaian rapi. Pada akhirnya dia mengumpulkan semua kekuatannya agar rasa getir yang perlahan merayap di hatinya tidak menyebar, "kamu akan pergi lagi, Kei?"
"Ada masalah lagi di cabang kota A. Jadi aku harus ke sana." Kei menjawab dengan ringan. Seakan rasa bersalah karena telah meninggalkan Eiji tidak pernah ada, "penerbangan terakhir satu jam lagi."
Eiji hanya bisa tertawa getir dalam hatinya. Dia semakin merasa bahwa kekasihnya telah benar-benar keterlaluan. Dia pergi selama hampir tiga minggu dan kembali hanya untuk mengatakan bahwa pria itu akan pergi lagi.
"Kamu bahkan hanya karyawan biasa, tapi bagaimana bisa perusahaan memperlakukan dirimu seakan kamu adalah seorang bos." Kesabaran Eiji menguap begitu saja. Dia tidak sebodoh yang Kei kira. Dia tahu bahwa karyawan rendahan seperti Kei tidak akan pernah mendapatkan kesempatan untuk menyelesaikan masalah di setiap cabang. Pikiran-pikiran buruk mulai terlintas dalam benaknya.
"Kita sudah membahasnya, bukan? Itu bisa membuatku mendapatkan promosi kenaikan jabatan."
Eiji tidak ingin percaya. Dia tahu bahwa pria di depannya telah membohonginya. Dia berbalik dan kembali memunggungi Kei. Dia menunduk hanya untuk menemukan lagi piring putih yang belum terisi makanan apapun.
"Kamu tidak sedang menjalin hubungan dengan putri petinggi perusahaan, kan?" pada akhirnya semua yang menjadi ganjalan di hati Eiji keluar begitu saja. Mata Eiji perlahan memerah ketika dia mencoba menahan air matanya agar tidak jatuh.
Namun Kei tidak mencoba untuk menyangkal dan mengatakan hal yang begitu kejam bagi Eiji, "sebuah keberhasilan membutuhkan pengorbanan."
"Apa semua ini?" tanya Eiji dengan air matanya yang telah tumpah dan jatuh ke atas piring di bawah wajahnya, "apa yang kamu cari? Apa semua ini masih kurang? Apa kebersamaan kita harus kamu tukar dengan ambisimu?"
Ingatan Eiji kembali berputar dan jatuh kembali pada musim semi hari itu. Jika saja dia bisa lebih jujur dan mengatakan bahwa dia dari keluarga Sato, apakah Kei akan meninggalkan dirinya demi uang? Namun dia terlalu takut dengan segala kemungkinan. Dia takut Kei akan menjauhi dirinya ketika tahu bahwa dia adalah pewaris termuda dari Rokkotsu Group. Semua orang terlalu takut untuk berurusan dengan kakak bungsunya. Lalu dia berkata bahwa dia hanyalah Eiji.
Eiji mengerjapkan matanya untuk mengurangi air yang menghalangi pandangannya. Namun semua itu kembali semula dan matanya masih di penuhi dengan air.
'Kamu tidak akan bahagia. Ingat Eiji, pada akhirnya kamu akan kembali kesini untuk menangisi semua.'
Eiji teringat lagi pada sumpah serapah yang diucapkan kakak bungsunya. Hari itu bahkan kakak sulungnya tidak mencoba untuk menghentikan ucapan-ucapan keji untuk mengutuk dirinya.
.
.
.
Eiji terluka. Dibandingkan dengan stress yang dikatakan oleh Yukihiro, itu lebih ke tekanan bathin. Eiji telah menjalani masa-masa sulit selama lima tahun hubungannya dengan Kei terjalin. Ketika tahun kedua, dia harus belajar mengurus flat bobrok sementara Kei pulang lalu tidur dengan nyaman. Eiji bahkan harus bekerja apapun untuk membayar uang sewa, sementara Kei hanya fokus dengan kuliahnya. Tidakkah dari awal hubungan itu telah terlihat kurang sehat? Kei bilang mencintai Eiji, namun pria itu tidak sedikitpun mencoba untuk membiarkan Eiji berbagi tugas.
Lalu, ketika keuangan mereka membaik, Kei mengurungnya di sebuah apartemen mewah dan tidak membiarkan dia untuk keluar dengan bebas.
"Kamu kembali?" Eiji mendongak dan menemukan sepasang mata hitam menatapnya dalam dia. Sepercik harapan seakan muncul dan membuat hatinya menghangat. Hubungannya dengan Kei masih bisa diselamatkan. Kei pasti akan kembali padanya dan membuat dia seakan harta berharga seperti tahun pertama mereka menjalin hubungan.
Namun pria itu hanya diam. Pria itu menatap wajah memerah Eiji. Lalu matanya menatap botol-botol kosong dimana minuman mewah itu telah dihabiskan oleh Eiji.
"Mengapa kita harus berakhir seperti ini?" Eiji hanya bisa merancau sementara tubuhnya benar-benar lelah, "Jika saja. Jika saja aku mempunyai banyak uang, apakah kamu akan tetap berada di sampingku?"
Pria itu tidak mengeluarkan satu katapun. Dia berjalan mendekat dan meraih lengan Eiji.
Ditatapnya mata biru kehijauan itu sebelum akhirnya dia mencium Eiji dengan penuh gairah dan menuntunnya ke dalam kamar.
.
.
.
"Jadi ini yang kamu lakukan di belakangku?"
Ketika pagi telah datang, wajah penuh amarah Kei adalah yang Eiji lihat pertama kali setelah dia membuka mata. Pria itu terlihat sedang melempar koran di tangannya. Sementara tubuh besarnya masih tetap merasa nyaman di atas sofa kamar mereka. Mata kelamnya menatap Eiji dengan dingin.
"Kamu bicara apa?" Eiji mencoba untuk bangun meski kepalanya kembali berdenyut sakit.
Kei tersenyum sinis ketika dia mengangkat tubuhnya dari sofa. Kedua kaki panjangnya melangkah mendekati ranjang dimana Eiji masih mencoba untuk mengumpulkan seluruh kesadarannya.
"Dengan siapa kali ini kamu berbagi malam? Jadi, apakah ini yang kamu lakukan setiap kali aku tidak ada di dekatmu?"
Eiji masih terdiam menahan segala rasa sakit yang berkumpul di kepalanya. Dia bahkan tidak mampu menangkap apa yang dikatakan oleh Kei.
"Hei, berapa banyak pria yang menggantikan aku-"
"Kamu bicara apa?" Eiji hanya mampu menyela dengan kalimat itu.
Eiji tidak mengerti mengapa Kei bisa mengatakan hal buruk seperti itu. Dia masih bisa mengingat jika mata kelam Kei menatapnya penuh cinta semalam. Namun setelah waktu berganti, bagaimana bisa Kei menuduhnya telah berselingkuh?
"Aku lebih memilih untuk membatalkan penerbanganku dan buru-buru ke sini karena mengkhawatirkan kamu." Kei menatap leher dan dada telanjang Eiji yang dipenuhi oleh bercak merah, "tapi apa semua itu?" ada nada tidak enak dari kalimat itu, seakan Kei begitu jijik melihatnya.
"Aku tidak tahu kamu lupa atau pura-pura lupa bagaimana kamu menciumku semalam." Eiji mencoba menahan rasa sakit yang kembali menyerang hatinya, "dan sekarang kamu bertanya seakan ada pria lain disini."
Buaaghh ..
Eiji tidak dapat menangkis pukulan Kei yang datang dengan sangat cepat. Eiji hanya mampu merasakan kembali rasa sakit yang berkumpul di pipinya. Mendapati rasa besi bercampur dengar air di mulutnya. Mungkin saja sudut bibir dalamnya telah robek.
Pada akhirnya ketegaran Eiji runtuh. Dia bisa menerima jika Kei mempunyai hubungan lain di luar sana. Tapi menuduh jika dia telah berselingkuh rasanya itu terlalu egois.
"Hei, Eiji. Mari akhiri hubungan ini saja."
Eiji menelan ludahnya dengan susah payah dan membiarkan air matanya terjatuh kembali. Dia tidak dapat membayangkan bahwa pria yang dia cintai selama lima tahun dengan tulus bisa membuangnya demi ambisi. Apa yang pria itu cari? Jika saja Kei berkata bahwa uang adalah tujuan dari perjalanan hidupnya, mungkin Eiji akan memberikan hal itu dari awal. Kenyataannya, tanpa bekerja pun dia telah mengumpulkan banyak uang. Tapi suatu hari Kei berkata bahwa dia tidak membutuhkan apapun kecuali perhatian dari Eiji.
"Tinggal saja disini. Semua kebutuhanmu tetap akan kupenuhi."
"Kenapa kamu memperlakukan seakan aku adalah selingkuhanmu?"
Eiji terlalu lelah untuk hanya sekedar meraung. Dia mengenal Kei lebih dari siapapun. Apapun itu, jika pria itu telah mengambil keputusan, semua akan tetap seperti itu.
"Lalu kamu bisa tinggal di jalanan jika mau."
Eiji menghapus air mata yang menetes di pipinya ketika Kei berjalan meninggalkan dia di dalam kamar. Mungkin Kei lupa bahwa Eiji telah lama tinggal di jalanan sejak meninggalkan rumah kedua kakaknya.