"Bu—nda."
Aku terdiam mendengar kata itu terucap dari bibir pucat bang Fahri. Ada rasa bingung dan juga tanda tanya dalam benakku, kenapa bang Fahri memanggil bunda? Apa mungkin bang Fahri merindukan bunda, hingga kata itulah yang pertama kali keluar dari bibirnya.
Sekali lagi aku minta bang Fahri untuk mengucapkan kata yang baru saja dia katakan, tapi sudah tidak bisa lagi. Jarinya menggenggam erat tanganku seolah dia menahan rasa sakit, hingga tanpa berpikir lagi aku langsung berlari ke arah pintu untuk memanggil dokter.
Seorang datang dengan tergesa-gesa, bersamaan dengan Habib yang kebetulan baru sampai di depan pintu ruang rawat bang Fahri tadi. Dia bertanya dengan cemas, apa yang terjadi barusan. Tapi aku sama sekali tidak bisa menjawab, karena masih panik menunggu hasil pemeriksaan dokter.
"Bagaimana kondisi bang Fahri, Dok? Dia baik-baik saja 'kan?" tanyaku cemas.
"Memangnya bang Fahri kenapa, El?" tanya Habib entah untuk yang keberapa kalinya.