Kami sampai di Jakarta sekitar jam enam maghrib. Seharusnya sudah sampai sejak ashar, tapi kami berhenti dulu di sebuah warung makan untuk mengisi perut sambil numpang sholat ashar di musholahnya.
Dalam keadaan pelipis kanan yang sedikit memar membiru, dia keluar pintu mobil dari sisi bagian sebelah kanan—tempat pengendara mobil biasanya duduk.
"Ayo, Mas masuk! Nanti kita obati memarnya didalam," kataku berlari mendekati Habib yang berjalan lebih lambat.
Aku memapah Habib menuju teras, meski sebenarnya aku tahu kalau dia bisa jalan sendiri. Kepalanya yang sakit, bukan kakinya. Tentu itu tidak berpengaruh pada caranya berjalan, kecuali sakit kepalanya benar-benar mengganggu.
Langkah kami terhenti saat melihat ke arah pintu. Ada cat epilog yang menodai pintu warna putih rumah kami dengan coretan yang acak. Bukan hanya pintu, bahkan jendela kaca yang ada di sebelah pintu tersebut juga di corat-coret.