"Bang! Bang, tunggu! Abang mau kemana?!" seruku memanggil bang Fahri yang berjalan menyusuri koridor.
Dia kelihatan sangat marah dengan kedua tangan mengepal. Tak peduli siapapun orang yang menghalangi jalannya, baik itu suster atau dokter. Sekalipun bang Fahri yang menyenggol mereka, dia tidak akan mau minta maaf dalam keadaan marah seperti ini.
Aku berlari mengejarnya dengan tertatih-tatih. Sehabis aku selesai menceritakan tentang Habib pada bang Fahri, dia langsung emosi. Tanpa ba-bi-bu lagi, dia langsung berdiri dan pergi meninggalkanku. Aku tahu, bang Fahri pasti akan mencari Habib dan memukulinya. Sebab seperti itulah biasanya cara abangku menyelesaikan masalah dalam keadaan marah.
"Bang! Tunggu aku!" teriakku.
Perutku rasanya sakit sekali. Aku hanya takut, luka bekas operasi kemarin kembali terbuka. Lagian kenapa bang Fahri tidak bisa mengontrol emosinya? Sifatnya ini membuatku khawatir sendiri jadinya.