Zay meraup semangatnya yang tersisa, semakin ia menjauh dari kediaman Adelardo maka firasatnya semakin tidak nyaman saja. Mengetukkan jari-jemari di paha, lelaki yang menaiki mobil taksi tersebut keras tidak mau diantar sang Ayah untuk ke bandara.
Gelisah.
Entah apa yang membuatnya takut kali ini. Khanza sudah setuju dengan kepergiannya, bahkan sang Adik membantunya mengemasi barang tadi malam. Dan keluarga Adelardo mendukung, menyemangati, serta selalu mendoakan setiap langkah Zay yang menjemput rezeki.
Ah gue benci banget kalau sudah pergi ke luar kota meski beberapa hari saja, rutuk Zay dalam hati. Melow banget kalau sudah gini, belum berangkat saja sudah kangen, batinnya.
Mendesis ngilu, ia pun melemparkan pandangannya ke luar jendela. Namun bukan jalanan yang ia lihat, justru ia semakin terbayang satu persatu wajah anggota keluarganya di rumah.