Menyerah. Dea mengibarkan bendera putih atas perangnya bersama Randra, lelaki itu kalau marah lebih seram dari sahabatnya. Jika Arif bersikap frontal, emosional, maka berbeda dengan pemuda kadal satu ini. Dia lebih menunjukkan sikap dingin dan sindiran yang menusuk langsung ke dasar hati. Namun yang paling membuat gadis bar-bar itu tidak tahan keacuhan Randra yang seolah menganggap dia tidak ada. Bahkan terkesan jijik berdekatan dengan dirinya.
"Gue nggak bisa diginiin," gumam Dea seraya mengusap kasar air mata.
Mengambil langkah lebar, ia keluar dari kamar mandi dengan segera. Kembali ke meja yang sudah ada Faizal, Randra, Khanza, dan Arif bergabung di sana.
"Gue mau ngomong sama lo," ucapnya yang tentu saja pada Randra.
"Ngomong saja." Randra menyahut bahkan tanpa melirik sedikit pun pada Dea. Berbeda dengan tiga pasang mata yang justru melihat dengan sorot penuh was-was.
"Bukan di sini, di tempat lain," pinta Dea.
"Gue lagi makan," tolak Randra.
