Berlimpahkan harta dan tahta membuat seorang Arif Saputra Wijaya dipuja-puja oleh para kaum hawa. Laksana Pengeran muda, hidupnya bersinggasana kemewahan dunia. Namun apa itu semua bisa menjamin bahagia?
Tidak. Menghela napas panjang, dia melangkah malas masuk ke dalam. Rumah besar nan mewah terasa hampa untuk ditinggali seorang. Meskipun ada beberapa pelayan di rumah itu, tetap saja tidak bisa menggantikan arti keluarga sesungguhnya untuk Arif.
Brak!
Pintu kamar ia banting dengan keras, tanpa melepas sepatu lelaki tampan tersebut melempar setengah tubuhnya ke kasur.
"Ayah sama Bunda kapan selesainya sih? Masa anak masuk sekolah saja mereka tidak peduli."
Merogoh benda pipih di saku celana, ia pun memutuskan menghubungi orang tuanya. Menggerutu dalam hati, sambungan ditelpon yang ia lakukan tak kunjung mendapat jawaban.
Kesal. Arif pun bangun dan membanting keras benda canggih tersebut ke ranjang. "Harta terus yang kalian cari! Sampai kebahagiaan anak pun rela kalian gadaikan demi sepeser uang."
"Argh!" Mengusap kasar wajah, Arif frustasi akan kesepian. Dari pada larut dalam kemarahan, ia lantas mandi guna menyegarkan pikiran.
***
"Non tidak apa-apa?" Sang Sopir turun menghampiri Khanza. Sontak marah, ia pun berniat menyusul Vera yang sudah hampir memasuki mobilnya.
"Dasar anak tidak tahu etika," geram Mang Usup.
"Jangan Pak. Biarkan saja dia pergi," cegah Khanza. Dia malas jika memperpanjang masalah, bisa-bisa besok ia akan kena hukum lagi di sekolah.
"Tapi Non."
"Ayo kita pulang saja Pak." Khanza masuk ke mobil lebih dulu, perasaannya campur aduk antara kesal sekaligus was-was jika nanti sampai rumah.
"Ini Non handuk." Sang Sopir menyerahkan selembar kain tebal yang biasa ia bawa kemana-mana.
Khanza menerima dan segera membersihkan rambutnya. "Pak tolong jangan bilang orang rumah ya?" melasnya.
Mang Usup menatap wajah sang anak majikan yang sendu. "Kenapa Non? Apa Non kenal anak perempuan tadi?"
"Iya Pak. Dia senior Khanza di sekolah."
"Wah senior kok kelakuannya seperti itu. Apa jangan-jangan di sekolah dia juga membully Non Khanza?" Geleng-geleng kepala, Mang Usup tidak bisa terima kalau majikannya sampai dibully. "Kalau anak itu sampai macam-macam segera laporkan saja sama pihak sekolah Non."
Khanza mengulas senyum. Lebih baik dia menutup rapat kejadian di sekolah hari ini. "Tidak kok Pak. Di Sekolah banyak pengawas yang memantau. Kalau yang tadi, itukan memang salah Khanza yang tidak sengaja menabrak dia sampai esnya tumpah dan mengotori seragam sekolah."
Tetap saja Mang Usup tidak terima. "Kalau ada yang macam-macam sama Non di sekolah, bilang sama Bapak ya Non," pinta lelaki paruh baya tersebut.
"Siap Pak, tapi yang tadi beneran jangan dibilang sama orang rumah ya Pak."
"Iya Non."
"Janji dulu Pak."
"Iya Bapak janji."
Khanza melengkungkan bibir membentuk senyuman. Menarik napas dalam, dia lega karena masalah hari ini tidak akan melebar ke mana-mana. Terus membersihkan rambut yang semakin melengket, gadis cupu itu pun melepas kepangan dan kaca matanya.
Non Khanza ... Non Khanza berparas cantik menawan kenapa harus ditutup dengan penampilan cupu seperti itu. Andai Non terus seperti ini ke sekolah, Bapak yakin Non Khanza akan banyak mempunyai teman.
Tak terasa mobil hitam tersebut memasuki halaman rumah. Bergegas turun, Khanza pun mengendap-endap seperti maling masuk ke dalam.
"Syukurlah sepi," gumamnya.
Berlari menaiki tangga, dia terus merapalkan mantra semoga tidak ada yang sempat melihatnya. Namun sepertinya mantra tersebut tidak mempan adanya.
"Khanza." Suara lembut seorang wanita memanggil dirinya.
Sontak mematung di tengah undakan tangga, gadis cupu tersebut pun memejamkan matanya sesaat. Menyusun alibi pada otak, dia sudah merangkai kata untuk menjawab setiap tanya.
"Rambut kamu basah kenapa?" Sang Kakak Ipar tersayang memerhatikan dari bawah tangga.
Berbalik dengan pelan, Khanza pun semakin membuat mata sang Kakak ipar melebar kala mendapati seragam yang kotor akan warna coklat boba.
"Kamu kenapa Za? Kenapa seragam kamu kotor? Bekas apa itu? Seperti bekas coklat? Apa kamu habis ditumpahi minuman?" Sontak diberondong pertanyaan, Khanza pun segera menghentikan crewetnya wanita tersebut. Jika tidak maka seisi rumah akan gempar karena ocehannya.
"Em itu Kak. Khanza tadi mengambil sesuatu di kolong meja. Pas mau keluar, eh kepala Khanza malah terbentur. Dan ternyata di atasnya ada es boba yang sudah terbuka penutupnya. Tumpah deh ke kepala Khanza."
Ugh! Emang gadis super duper pintar. Masuk akal sekali dia memberikan alasan. Membulatkan mulut, Sang Kakak ipar pun menyuruhnya segera membersihkan diri ke kamar.
"Makanya lain kali hati-hati Za. Sekarang cepat mandi sana, pasti kepala dan badan kamu lengket semua."
"Iya Kak. Khanza pamit ke kamar ya?"
Bergegas ke kamar, ia pun menghela napas lega kala sudah berhasil mengunci pintu. "Syukurlah Kak Sisi percaya," gumamnya.
Melepas segala atribut pelengkap sekolah, ia juga menanggalkan seragam putih abu-abunya. Melempar ke keranjang kotor, Khanza pun segera masuk ke dalam kamar mandi.
"Aku harus berendam air hangat," cetusnya.
***
Sementara di jam yang sama tetapi dengan tempat yang berbeda, Arif sudah berganti pakaian santainya. Keluar dari kamar dan menuruni tangga untuk menuju dapur. Lelaki itu pun menyantap makanan yang sudah bibi buatkan untuk makan siang, karena sedari tadi dia sudah menahan laparnya.
Rumah tetap terlihat sepi karena orang tuanya pergi keluar kota. Pak Irfan Wijaya—ayah dari Arif yang merupakan seorang CEO di perusahaannya sendiri. Sekarang beliau sedang ada tugas di luar kota, Ibu Rita—istri dari Pak Irfan atau Bunda dari lelaki tampan tersebut juga menemani suaminya keluar kota.
Seorang diri di rumah, Arif merupakan anak tunggal dalam keluarganya. Cuma ada beberapa pembantu yang menemaninya. Dipaksa berdamai dengan keadaan, dia pun lama-lama terbiasa hidup mandiri sendirian. Terkadang dia protes, tapi akan selalu diabaikan oleh orang tuanya.
Meskipun dia berasal dari keluarga kaya raya dan bergelimpangan harta, benda, tetapi dia bukan tipe lelaki manja yang suka menghambur-hamburkan uang keluarga demi sesuatu yang tidak penting adanya.
Terdapat beberapa mobil di tempat tinggalnya, tapi dia hanya memilih naik motor untuk ke sekolah. Selain karena ingin lebih hemat, terutama hemat waktu, dia juga hobi menaiki kuda besi beroda dua tersebut.
Hanya sesekali dia menggunakan mobil, itu pun kala moodnya sedang ingin saja.
Menaruh sendok dan garpu, lelaki berperawakan tegap tersebut pun menyelesaikan makan. Kembali ke kamar, dia menyambar sebuah gitar yang selalu terpajang rapi di dinding bercat putih tersebut. Sontak memetik senar, dia bersenandung untuk menghilangkan rasa sepinya. Memejamkan mata, lelaki itu meresapi setiap untaian kata.
Arif yang sangat piawai memainkan Gitar dengan suara merdu dia mencoba menyalurkan perasaan. Lewat lantunan lagu, bait demi bait dia bernyanyi, tanpa sadar bayang-bayang pertemuan dengan Khanza menari nari di benaknya.
Ketika petikan terakhir gitarnya dia membuka mata dan tersenyum menatap pemandangan di depannya.
Kenapa aku jadi terbayang Khanza? tidak mungkin 'kan, aku jatuh cinta pada pandangan pertama? Lagi pula dia cuma seorang gadis cupu, jauh dari seleraku.
Arif mencoba menampik perasaan, tetapi tidak dengan pikiran yang terus menerus terfokus pada Khanza apalagi daya tarik senyum manisnya.
Dengan gitar di pelukan, Arif melamun mengingat wajah blasteran si gadis cupu. Senyumnya berbeda dari wanita lainnya, tulus dan ikhlas, komentar Arif dalam hati.
"Shit! Kalau memikirkan dia terus bisa-bisa beneran jatuh cinta gue!" Sontak menaruh gitar, Arif pun mengusap kasar wajahnya. Argh! Lebih baik aku cari angin sore saja keluar," cetus Arif sendirian.