Plakk.
Raga melotot. Dia tak percaya ciumannya malah dibalas Kaila dengan tamparan di pipinya. Tangannya mencengkeram dagu Kaila kemudian menghempaskannya.
"Akh." Kaila mengerang. Kepalanya terasa begitu sakit karena terbentur lantai dengan keras. Sedetik kemudian dia sadar kalau apa yang dilakukannya itu tidak benar. Raga sekarang pasti sangat marah terbukti dari urat di lehernya yang menonjol. Kaila takut jika ini nanti akan berimbas ke papanya.
"Maaf." ucapnya lirih.
Namun Raga tak mendengarnya. Dia meraih nampan tadi dan melemparnya.
"Kalau kau tak mau makan ya sudah! Jangan membuatku tak tahan lagi untuk segera membunuhmu!" teriaknya. Setelah itu Raga beranjak. Dia menghentikan langkahnya saat Kaila memanggilnya.
"Jika itu bisa menyenangkanmu maka lakukan sekarang." Kaila sangat sayang pada papanya. Jadi dia akan melalukan apapun asalkan Raga tak mengganggu papanya lagi.
"Kau masih berguna untuk membuat pria itu melunasi semua hutangnya."
"Berapa?"
Raga membalikkan badan dan menelengkan kepalanya. "Apanya?"
"Berapa hutang papaku?"
Raga tak menyahut dan hanya tersenyum sinis. Kemudian keluar begitu saja. Kaila geram. Dia kira papanya telah menyinggung orang penting dari perusahaan lawan. Ternyata hanya gara-gara hutang toh. Kalau tahu lebih awal maka dia akan memberikan semua uang yang ada di tabungannya.
Kaila memang masih belum tahu kalau Raga seorang presdir dari perusahaan yang paling ditakuti. Hal ini dalam artian perusahaan tersebut tidak bisa disinggung. Siapa saja yang sekiranya memiliki suatu masalah maka mereka tidak akan dilepaskan dengan mudah.
Kabarnya sempat ada sebuah perusahaan yang baru didirikan di kota s. Perusahaan tersebut hanya bertahan sekitar dua bulan. Penyebabnya adalah salah satu pegawai yang ditugaskan untuk menjalin kerjasama dengan perusahaan Raga, membuat kesalahan yang sebenarnya tak begitu fatal. Tapi namanya juga Raga. Laki-laki itu tidak terima kesalahan sekecil apapun mengenainya. Pegawai saat itu tengah menunggu di depan lift sambil membawa sebuah kopi.
Ketika membuka ponselnya melihat jam yang menunjukkan hampir pukul sebelas. Itu berarti waktu pertemuannya sebentar lagi. Beruntung disaat bersamaan pintu lift terbuka. Karena terburu-buru maka dia bergegas dan tak sengaja menyenggol laki-laki yang ada di depannya. Tak ayal kopinya pun tumpah mengenai jasnya.
Pegawai itu tak tahu. Namun setelah laki-laki yang tak lain Raga itu melihat tanda pengenal di leher pegawai, dia berkata dengan penuh penekanan. "Leyna, perusahaan m. Kerjasama dibatalkan. Perusahaan itu tak diizinkan berada di wilayah ini."
Kembali ke Kaila. Dia berlari mengejar Raga sampai ke kamarnya.
"Raga." panggil Kaila.
Raga berdeham. Kaila ragu mau mengatakannya sekarang karena Raga berdiri membelakanginya sambil melepas baju. Kaila lalu keluar sebentar, menunggu sampai Raga selesai berganti pakaian. Beberapa menit kemudian dia masuk ke kamar Raga namun tak melihat orangnya.
Zrashh.
Suara shower yang mengguyur tubuh itu terdengar. Kaila mendecak sebal. Rupanya Raga sedang mandi. Mau tak mau dia menunggu lagi. Setengah jam kemudian pintunya terbuka.
Kaila meneguk ludahnya. Raga yang hanya mengenakan handuk di atas lutut itu memperlihatkan tubuh menggodanya. Bulir air yang menetes dari rambutnya yang basah habis keramas itu turun sampai ke dadanya yang bidang. Ditambah dengan perut kotak-kotaknya atau yang biasa disebut abs, semakin menambah kesan yang menggiurkan.
"Tutup mulutmu gadis. Aku tidak mau air liurmu itu jatuh dan mencemari kamarku." ucap Raga membangunkan Kaila dari fantasinya.
Kaila bodoh. Ingat dia itu musuh papamu. Camkan baik-baik di otakmu. Sebagus apapapun tubuh Raga kalau bisanya dilihat doang itu tidak ada gunanya. Lebih baik pilih yang bisa dimiliki agar bisa disentuh kapanpun, ehe.
Eh tapi Raga tadi bilang soal mencemari kamarnya? Jiah benar-benar menyebalkan. Apa Raga terus berpikir Kaila sumber virus yang harus diwaspadai keberadaannya? Lalu kenapa mau membawanya ke rumah?
Kaila menutup mulutnya, memalingkan wajah. "Aku disini untuk melunasi hutang papaku. Jadi cepat katakan berapa jumlahnya."
Raga mengusap rambutnya dengan handuk yang baru diambil, lalu menjawab dengan nada mengejek. "Memangnya kau punya uang?"
Kaila mengiyakan. Dia merogoh saku celananya. Dua buah kartu kredit diberikannya pada Raga. "Masing-masing ada sekitar dua ratus juta. Jadi harusnya empat ratus juta tidak kurang. Kalau ada kembalian kau ambil saja."
Raga tertawa. Kaila mengabaikannya. Pikirnya dengan begini dia sudah tidak ada urusannya lagi dengan Raga. Makanya dia segera keluar. Namun baru dua langkah, dia terhenti karena mendengar ucapan Raga.
"Satu triliyun."
" ... "
"Hutang papamu satu triliyun. Harusnya dilunasi tiga tahun yang lalu tapi dia mengundurnya sampai sekarang."
Astaga. Pantas saja papanya diam tak melawan saat ditembak Raga. Tapi dia tidak bisa menyalahkan papanya meski murni kesalahan sang papa. Sebab tiga tahun yang lalu mereka mengalami kejadian yang tak mengenakkan. Kaila tak mau membahasnya karena setiap mengingat kejadian itu rasa sakit yang dialaminya terasa sama seperti baru terjadi.
Kaila memejamkan matanya sebentar. "Baiklah akan kubawakan kurangannya. Tapi beri aku beberapa waktu lagi."
Raga menaikkan sebelah alisnya. "Kurangan?"
"Apa kau tidak melihat kartu yang kuberikan tadi? Itu aku gunakan untuk menyicil hutang." kesal Kaila. Apakah sebegitu tidak berharaganya kartu yang jumlahnya hampir setengah milyar di hadapan Raga.
"Oh?" yah hanya itu tanggapan Raga. Dia membuka almari dan memakai kaos hitam polos. "Jangan pura-pura bodoh. Di dunia ini kalau telat bayar bunganya semakin bertambah."
Raga menimbang sebentar sambil mengelus dagunya. "Baiklah kuanggap bunganya lunas."
"Lalu hutangnya?"
"Tidak masuk perhitungan. Papamu tetap berhutang satu triliyun padaku." jawabnya enteng.
"Kau tidak pergi juga?" tanya Raga. Dia hendak menarik lilitan handuk. Sebenarnya ini rencananya untuk mengusir Kaila. Dia terlalu malas menyuruh secara langsung. Padahal cara yang digunakannya itu tidak selalu efektif karena tergantung pada bagaimana sifat wanitanya.
Karena kan Raga tampan, kaya yah meski kejam banyak wanita di luar sana yang mau melemparkan diri ke ranjangnya. Mendapat kesempatan seperti ini tentu akan dimanfaatkan. Tapi lain halnya dengan Kaila. Dia tidak berminat dengan Raga. Maka dari itu dia segera angkat kaki.
Namun Kaila berhenti di ambang pintu tanpa menoleh ke Raga yang tengah memakai pakaian dalamnya. "Aku berjanji akan melakukan apapun untukmu kalau kau mau memberiku posisi yang tinggi di perusahaanmu."
....