"Ada yang mau kamu ceritakan pada papa, tentang kejadian akhir-akhir ini, Angga Darmawan?"
Suara bariton menggema di ruang tamu menyapa Angga saat baru saja kakinya menjejakkan lantai di ruang tamu. Angga menoleh. Dia tahu, suara siapa itu. Ayahnya sudah duduk jumawa di salah satu sofa single ruang tamu. Singgasana ayahnya jika ingin mengajak ngobrol dengan putranya.
Angga langsung mengerti kebiasaan ayahnya itu. Dia lantas duduk di sofa berseberangan dengan ayahnya.
"Kamu nampak kelelahan, bisa kamu ceritakan bekas memar di ujung bibir itu akibat dari apa?" selidik ayahnya.
Angga tidak bisa berbohong pada ayahnya. Meskipun ingin mencobanya, tetap saja tidak akan berhasil. Mata ayahnya sangat tajam hingga bisa menembus relung hatinya.
Angga tak lantas menjawab pertanyaan ayahnya. Ia memutar otaknya untuk mencari jawaban yang tepat pada ayahnya.
"Kosan disatroni maling," ujar Angga.
"Maling?"
"Seminggu yang lalu. Beruntung tidak ada barang yang berhasil diambil karena keburu ketauan olehku," sambung Angga lagi.
Angga menunduk. Dia tidak berani menatap tatapan tajam ayahnya.
"Karena alasan itukah kamu tidak menunaikan tugasmu sebagai mahasiswa kedokteran tingkat akhir, Angga Darmawan?"
Bola mata Angga membulat. Dia melupakan hal penting itu. Jelas sekali ia sampai lupa karena sibuk menjaga keselamatan Alexa.
"Ayah mendapat laporan dari bagian jurusan, kalau kamu belum juga memulai bimbingan skripsi dengan dosen pembimbing. Kenapa?"
Sesaat Angga lupa bahwa ayahnya merupakan bagian dari orang akademik. Ayah Angga merupakan salah satu pengajar di universitas yang sama dengan Angga. Bedanya, ayah Angga merupakan dosen luar yang hanya sesekali mengisi mata kuliah tertentu saja. Tahun ini, ayah Angga mendapat beban mengajar mahasiswa semester akhir, karena itulah dia bisa dengan cepat mendapat laporan dari pihak akademik tentang anaknya.
"Aku ... belum siap."
Dahi ayah Angga mengernyit. Dia merasa ada yang tidak beres dengan anaknya. Meski beberapa tahun ke belakang hubungan mereka seperti ada jurang pemisah karena suatu hal di masa lampau, tapi ayah Angga sangat mengenali hati sang anak.
"Baiklah ... kapan kamu ... "
"Aku minta bodyguard!" ujar Angga memotong ucapan ayahnya.
"Apa kamu bilang? Bodyguard? Untuk apa?" tanya ayah Angga heran.
"Aku mau bodyguard yang menjaga kosan. Mungkin saja, maling bisa datang kembali."
Angga akhirnya memberanikan diri meminta bantuan pada ayahnya. Dia benar-benar takut jika hanya sendirian menghadapi Ben yang memiliki banyak anak buah.
"Baiklah, asalkan kamu tidak meninggalkan kewajibanmu menyelesaikan skripsi," ujar ayah Angga menyetujui permintaan Angga.
***
Wajah Angga nampak kusut layaknya kertas yang diremas. Sejak tadi dia tak hentinya berdecak kesal. Pasalnya kali ini ia tidak bisa menghindari ajakan ayahnya menghadiri sebuah pertemuan. Lebih tepatnya sebuah pesta ulang tahun. Pesta ulang tahun kolega ayahnya.
"Ayah, aku ke toilet dulu," ujar Angga di dekat telinga ayahnya.
Ayahnya mengangguk. Beliau tidak takut Angga kabur kali ini, karena lokasi pesta berada di sebuah vila di sebuah pulau. Jikapun Angga nekat kabur, coba saja. Karena semua perahu dijaga ketat oleh para penjaga dari sang pemilik pulau.
Saat di toilet, Angga mengeluarkan ponselnya. Dia ingin menghubungi Alexa. Jam analog pada atas layar ponsel Angga menunjukkan pukul sepuluh malam. Ia mendesah. Segera ia menekan tombol panggilan pada nama yang selalu berputar di dalam otaknya seharian ini.
Hingga nada sambung ke lima, Angga belum bisa mendengar suara Alexa. Ia kembali menelepon Alexa. Rasanya sudah hampir setengah jam Angga berada di kamar mandi, namun orang terkasihnya belum juga dapat dihubungi.
"Haish ... Sial! Baterai ponselku lemah! Aku lupa mengisi daya ponselku tadi di rumah. Arghh ... !" umpat Angga gusar.
Di tengah kegusaran Angga. Seseorang mengetuk pintu toilet yang tengah ia pakai.
"Permisi ... kakak yang di dalam. Aku mau minta bantuan."
Angga tersentak. Buru-buru ia menekan tombol "Flush" pada atas closet. Lalu membuka pintu toilet.
"Iya? Ada apa?" sahut Angga.
"Maaf kak, saya mau memakai toilet di sebelah kakak, tapi sepertinya tuas kunci yang di dalam tidak bisa terkunci," ujarnya.
Seorang anak kecil rupanya hendak memakai toilet yang berada tepat di sebelah Angga. Mungkin dia belum pernah memakai toilet seperti yang ada di hadapan mereka. Angga lantas mengajari anak itu bagaimana menggunakan toilet.
"Baik kak, terima kasih."
"Sama-sama. Kamu dengan siapa berada di pesta ini?" tanya Angga akhirnya penasaran.
Bagaimana tidak! Ada anak kecil yang berkeliaran di pesta para orang dewasa. Pastilah ada ayah dan ibunya, tapi kenapa ia tega membiarkan anaknya sendirian ke toilet tanpa pengawasan dari orang dewasa?
"Itu ... aku ikut pamanku ke sini," jawabnya.
Alis Angga mengerut kecil. 'Ada yang aneh dengan anak ini,' batin Angga.
Anak itu menjawab dengan nada seolah ketakutan. Tapi Angga sedang tidak ingin ambil pusing oleh urusan orang lain.
"Baiklah, kalau begitu, kakak pergi dulu. Setelah selesai di toilet, sebaiknya kamu segera kembali pada pamanmu itu, ya," pesan Angga sambil mengusap lembut pucuk kepala anak itu.
Anak itu mengangguk. Anggapun bergegas keluar dari toilet. Dia kembali bergabung dengan ayahnya, meskipun dia memberi jarak cukup jauh dari tempat ayahnya berdiri.
Jika dihitung, ini kali pertama Angga tidak bisa kabur dari ajakan ayahnya. Mungkin karena ada perasaan takut. Takut jika rahasianya tentang Alexa diketahui oleh ayahnya ataukah perasaan bersalahnya karena belum juga menyelesaikan skripsinya.
Alasan utama Angga enggan ikut ajakan ayahnya adalah karena ayahnya selalu mengenalkan dirinya pada teman-teman beliau. Tentu saja bukan hanya perkenalan biasa, tapi berujung pada pembicaraan perjodohan. Dan Angga sangat membenci itu!
Seperti yang dilakukan ayahnya saat ini. Ayahnya mengenalkan dirinya dengan seorang gadis. Anak dari salah satu teman yang diajaknya bicara. Entah mereka sudah membuat janji sebelumnya ataukah hanya kebetulan si gadis ikut menghadiri pesta para orang tua.
"Putri bapak sungguh cantik. Tak kusangka anak bapak sudah sebesar ini."
'Mulai lagi ... drama perjodohan bakal dimulai dalam hitungan 3, 2, 1 ... '
Angga menghitung dalam hati. Dan benar sekali! Ayahnya kembali mempromosikan dirinya sebagai mahasiswi kedokteran tingkat akhir.
"Angga, ayo kenalan dulu dengan anaknya pak Wijoyo. Anaknya cantik, bukan?" titah ayah Angga.
Angga mengulas senyum hambar. Dia menjabat tangan si gadis yang kemudian diketahui bernama Rengganis. Tak seperti Angga yang sekali saja mengulas senyum tipis. Gadis itu malah tersenyum merekah. Sepertinya gadis itu tertarik dengan ketampanan Angga. Buktinya adalah, gadis itu terus menerus mencuri pandang pada Angga.
Angga seorang yang cuek terhadap perempuan. Mungkin karena trauma masa kecilnya di lingkungan keluarga yang menyebabkan dia sangat dingin pada wanita. Baginya hanya Alexa satu-satunya wanita yang mampu meluluhkan hati bekunya terhadap seorang wanita.