Seorang gadis dengan kunciran rambutnya hari ini sangat senang. Ia berlari kesana-kemari menyapa semua orang yang ia temui dikoridor.
"Hallo kyla!" sapa nya melambaikan tangan.
"Hai Raja!"
"Hai Ciko!"
"Hai Wenda!"
"Hai Fifi!"
Semua orang menatap nya dengan heran, ada apa dengan Gina hari ini?
Senyumnya kembali mengembang saat melihat papan kelas XI IPA 3, ia langsung masuk ke kelas itu untuk bertemu sang pujaan hati.
Ia berjalan kearah meja pojok yang sudah diisi dengan ketiga cowok the most wanted SMA kencana.
"Hai semua!" sapa Gina pada Vian, Alder dan tentunya Gerald.
"Hai juga Gina, kenapa?" tanya Vian.
Gina menggeleng, "enggak kenapa-kenapa, gue cuma mau ketemu Gerald kok," katanya ramah.
"Oh mau nantangin Gerald lagi buat nyium Lo?" ceplos Alder spontan.
Ketiga orang itu terdiam mendengar ucapan Alder barusan, cowok itu menatap ketiganya dengan tatapan polos.
Pipi Gina kembali merona, jika diingat-ingat ia jadi malu sendiri.
"Ah enggak kok Al, aku cuma mau ngajakin Gerald ke kantin buat makan bareng," jelas Gina.
"Yuk Ger kantin!" ajak gadis itu.
Gerald tidak menjawab sembari menatap gadis itu datar.
"Ih ayo!" Gina menarik-narik tangan cowok itu dengan sekuat tenaga.
"Udah sono cus! Gue sama Vian lagi males ke kantin," ujar Alder pada Gerald.
Cowok jangkung itu menghela nafas kemudian menepis tangan mungil gadis itu. Ia berdiri dan keluar kelas tanpa berbicara sepatah katapun.
"Duluan ya Al, An!" pamit gadis itu melambaikan tangannya keluar kelas menyusul Gerald yang sudah jauh dari pandangannya.
"SAYANG TUNGGU!" teriaknya lalu berlari sekencang mungkin.
Saat di kantin, Gina menopang dagunya menatap Gerald dari jarang yang dekat. "Kenapa sih Lo ganteng banget? Waktu emak Lo ngidam makan apa? Sayur kol kah?" tanya Gina absrud.
"Pesan apa?" Gerald mengalihkan pembicaraan, ia bahkan tidak menatap gadis itu.
"Gue? Gue pesen bakso aja deh sama es teh!" kata Gina lalu kembali tersenyum menatap wajah Gerald yang sempurna dimatanya.
Cowok jangkung itu berdiri untuk memesan makanan, sedangkan gadis mungil yang duduk menunggu pesanannya mengikuti gerak-gerik Gerald yang memesan bakso untuknya.
"Berasa diakuin sebagai pacar gue njir, sedingin-dinginnya Gerald dia baik juga," kekeh Gina melihat punggung Gerald yang tegap.
Tak lama Gerald kembali dengan dua mangkuk bakso ditangannya, cowok itu meletakkan satu dihadapan Gina.
"Makasih beibs, tapi es teh nya mana?"
"Sabar!" ketus Gerald kembali lagi untuk mengambil minuman.
"Yey!" sorak Gina kegirangan, ia menyeruput minumannya langsung saat Gerald kembali membawakan es teh manisnya.
"Selamat makan Gerald!" ucapnya.
Gerald hanya berdehem pelan lalu memakan baksonya.
"Slurpp Ah!" Gina meminum kuah baksonya hingga tandas tak bersisa sama sekali alias licin!
"Gilak nih bakso enak banget!" ujarnya dengan ekspresi yang hiperbola.
"Biasa aja," sahut Gerald.
"Bagi Lo emang biasa aja, tapi bagi gue luar biasa! Mana di pesenin lagi sama Lo!" katanya.
"Makasih ya baksonya gue udah gak lapar lagi!" lanjutnya memukul-mukul perut ratanya yang sedikit buncit.
"Jangan lupa bayarin, gue gak bawa uang tadi," kekehnya dan Gerald hanya memutar matanya malas.
Ada-ada saja tindakan yang tak terduga dari gadis ini, siapa yang ngajak makan siapa yang bayar, aneh!
"Kalo gitu gue balik ke kelas dulu yaw!" pungkas gadis itu kemudian berlari keluar kantin dengan kencang.
Gerald yang melihat kepergian Gina hanya melongo, ia menggeleng-gelengkan kepalanya dan tersenyum tipis.
***
"Gimana? Jadi gak nih?" tanya Riri yang sedang merangkul Dinda disebelahnya.
"Gue gak tau, yang pasti saat ini gue deg-degan serrr," ujarnya memegang dadanya yang sedang berdisko.
"Tenang, gue sama Riri bakal bantu, Lo tinggal tau beres aja oke!" tambah Gina lalu di angguki oleh Riri yang setuju.
Dinda dengan ragu mengangguk, mau tak mau ia harus menyatakan perasaannya pada Vian nanti, soal penolakan, kata Riri urusan belakang yang penting sudah berani mengungkapkannya.
"Nah sekarang Lo diem disini dan tunggu oke! Gue mau panggil Vian dan Riri mantau noh dari pohon kalo Vian udah datang dia bakal bersiul oke!" jelas Gina dengan jari telunjuk dan jempolnya membentuk huruf O.
Gadis yang duduk di kursi taman itu kembali mengangguk mengerti, kakinya bergerak gelisah dan tangannya berkeringat dingin.
"Yakin nih? Gue takut njir," kata Dinda mengigit bibir bawahnya.
"Udah tenang aja, rileks!" ujar Riri menenangkan Dinda yang mulai kalut.
"Gue pergi dulu, Lo berdua siap-siap, inget Din, Lo pasti bisa, penolakan sekali bukan akhir dari segalanya," pungkas Gina lalu pergi sendiri.
"Kayak acara katakan putus njir," kekeh Riri menatap Dinda yang masih grogi.
"Ri..." lirih gadis itu.
Riri menepuk bahunya kemudian berlari di dekat pohon besar yang ada di taman tersebut untuk memantau kedatangan Vian.
Sekitar sepuluh menit, Vian datang sendiri dengan wajah binggung. Riri yang melihat kedatangan Vian langsung bersiul nyaring agar dapat didengar oleh Dinda yang bengong menatap sepatunya.
Mendengar ada yang bersiul Dinda mendongak, tidak jauh dari posisinya, Vian datang dengan gaya coolnya.
"VIAN!" panggil Dinda.
Langkah cowok itu terhenti, ia menatap Dinda lalu menghampiri gadis itu.
"Gue kira Lo udah balik, ternyata masih disini, ada apa? Kata Gina Lo manggil gue," ujar Vian membuat Dinda semakin panas dingin.
Gadis yang tingginya hanya se dagu Vian itu menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ia bingung harus menjelaskan dari mana dulu.
"Maksud gue buat ketemu Lo disini gue bener-bener mau ngungkapin sesuatu sama Lo. Sebenarnya sih udah lama gue mau bilang, tapi gue ragu buat ngomong," kata Dinda.
"Ngungkapin apa emangnya?" tanya Vian.
"Gini, kita kan udah lama nih kenal, bahkan sejak masuk SMP kita selalu satu kelas sampe kelas sembilan kan?" Angguk Vian membenarkan.
"Lo selalu duduk dibelakang gue kan waktu SMP?" Lagi-lagi Vian mengangguk.
"Nah semenjak saat kenal Lo, dan sering ngomong sama Lo bahkan sampe curhat sama lo ada sesuatu yang ganjal dan perlu gue ungkapin An, tapi gue takut buat bilang," ucap Dinda meringis.
"Kenapa takut? Gue gak makan orang kali," gurau Vian terkekeh.
"Sebenarnya gue suka sama Lo dari kelas satu SMP," ungkap Dinda dalam sekali tarikan nafas.
Vian tersentak, ia mengerjapkan matanya berkali-kali mencoba mengerti apa yang gadis ini ucapkan.
"Maksudnya?" tanyanya masih belum ngeh.
Dinda menghela nafas panjang, "gue suka sama Lo An, jadi ini yang mau gue ungkapin sama Lo dari lama." paparnya.
Vian diam, ia menatap Dinda lekat. "Lo suka sama gue?" Dinda mengangguk.
Cowok itu menggaruk kepalanya mencoba menjelaskan apa yang saat ini ia rasakan. "Maaf nih Din, bukan gue tega sama Lo nih ya, gue gak bisa. Gue gak ada rasa sama Lo, dari dulu bahkan sekarang. Gue cuma anggep Lo sebagai temen gue, gak lebih." jelas Vian berhati-hati takut menyakiti perasaan teman dari SMP nya itu.
Dinda mengangguk, "iya gue tau kok, gue gak minta buat Lo bales perasaan gue, gue cuma mau Lo tahu aja, dan gue juga tahu kok kalo Lo lagi memperjuangin cinta Lo kan?" tanya Dinda berusaha agar tetap tegar.
"Iya Din," jawab cowok itu.
"Gue boleh minta sesuatu gak?" tanya Dinda.
"Apa emangnya?"
"Setelah ini jangan jauhin gue ya, gue cuma mau ngungkapin apa yang mau gue ungkap kok, gak lebih," pinta gadis itu.
Vian tersenyum lalu mengacak-acak rambut Dinda gemas, "gue gak kayak gitu juga kali, tenang kita bakal tetap berteman kok. Kalo gitu gue pamit dulu mau ke kelas, Lo juga ya," pungkasnya lalu pergi meninggalkan Dinda yang bengong dengan tatapan kosong.
Riri dan Gina yang ada di persembunyiannya langsung keluar dan berlari menghampiri Dinda.
"Din!" panggil Gina.
"Guys, gue ditolak huaaa," tangis gadis itu langsung memeluk Gina erat.
Riri ikut bersedih ia mengusap-usap punggung sahabatnya itu.
"Sabar Din, cowok kayak Vian gak cuma dia doang kok, masih banyak diluar sana," ucap Gina.
"Lagian masih banyak waktu kok buat Lo dapetin dia, selagi dia belum jadian sama Ana ya nggak papa Lo berjuang," tambah Riri.