"Raksasa gua! Troll! Mereka datang!"
Sekumulan orang berseragam segera merapat di tembok batu perbatasan sebuah kota. Perasaan penuh kekhawatiran terpahat di setiap wajah mereka. Keringat mengucur dari kening, menetes, dan jatuh ke tanah.
Tidak mengherankan karena jauh dari sana, sekumpulan mahluk raksasa datang menyerbu. Tak diundang, namun kekeuh datang dengan kebengisan dan perut yang lapar.
Troll.
Mahluk yang lebih mirip dengan pengidap obesitas dengan tinggi tiga meter. Meski begitu mereka juga memiliki otot yang kekar. Lemak menumpuk di lengan , perut, dan paha itu bagaikan peredam serangan fisik bagi mereka.
Meski mereka terlihat terbebani dengan semua lemak dan otot di tubuh mereka, semua itu sama sekali tidak mengurangi kecepatan serbu mereka. Liur kental merembes dari rahang bawah. Mereka lapar. Daging-daging manusia yang masih segar adalah makanan yang mereka mau, dan akan mereka dapatkan.
Namun sebagai mangsa yang memiliki akal budi, manusia tidak akan mau diam dan pasrah, atau merelakan diri mereka sendiri dikunyah hidup-hidup. Manusia yang sehat yang sehat rohani sudah jelas melawan. Senjata dan sihir, semua siap. Kini tinggal bagaimana mereka akan bertindak.
"Mana yang lainnya?"
"Semua bersedia di posisinya, kan?"
"Ya Tuhan! Lama sekali yang persiapannya!"
Melihat raksasa-raksasa itu semakin dekat, panah-panah segera didistribusikan kepada setiap orang di tembok. Ember-ember berisikan puluhan anak panah disediakan disetiap lima meter jarak tembok.
"Felix! Hey, Felix!"
Seseorang dari atas tembok memanggil salah seorang lainnya di bawah. Setelah mendengar namanya dipanggil tiga kali orang itu menoleh ke atas, "Eh, Silba? Apa?" sahutnya.
"Kita butuh orang lagi! Kalian bisa bantu nggak?"
"Lagi?" ia mendecak lidah, "Iya, iya! Aku ke sana!" balasnya, lalu ia segera menuju ke atas.
Baru saja ia sampai, sebuah busur buru-buru disodorkan kepadanya, "Apa nih—sabar dong!" responnya kesal sambil merampas busur tadi.
"Cepetan! Mereka deket tuh!"
"Panah, ya? Kalo ini sih kamu jagonya, Silba! Bisa kan sendirian?"
"Felix!" balasnya disertai tatapan jengkel, "Kamu tau itu rasisme, bukan?" tambah si pria dengan telinga panjang.
"Iya, iya! Mengasosiasi kemampuan berpanah dan bangsa sylvan adalah satu dari beberapa perbuatan stereotip terhadap bangsa sylvan dan pantas dihukum pidana selama tiga tahun penjara atas tuduhan rasisme, kan?" jelasnya mengulang sejenis hukum yang berlaku disini.
"Aku setengah sylvan! Secara nggak langsung, aku manusia juga sepertimu! Setengahnya sih!"
"Kalau begitu kamu punya hak buat meledek mereka uga, kan? Kamu nggak salah apa-apa! Tapi lihat, apa yang mereka lakukan ke kamu—"
"Iya, aku tau!" potongnya, "Aku udah maafin kok mereka! Yang penting sekarang adalah aku harus lindungin rumah baruku, Kota Libraria! Kamu juga, Felix!"
"Kamu terlalu baik, tau, nggak?"
Satu dari mereka menarik tangan ke atas, mengisyaratkan aba-aba untuk membidikkan panah ke gerombolan raksasa-raksasa. Beberapa barisan dibelakang juga bersiaga dengan panah mereka, menunggu barisan pertama selesai menghempaskan panah, dan menggantikan mereka selagi mengambil anak panah baru.
"Panjang umur Kota Libraria dan segala pengetahuan yang dijaganya!"
"Kesejahteraan dan keselamatan lahir batin bagi Imperial!"
"Kekalahan bagi para mereka yang berani melawan Imperial!"
Seluruhnya menyemangati satu sama lain dengan jargon yang sudah diajarkan ke setiap prajurit Kerajaan Imperial sejak lama. Seragam biru laut dengan gambar paus narwhal yang memegang perisai dan tombak di punggung, mereka adalah prajurit kebanggan Kerajaan Imperial.
Sudah lima abad lamanya kerajaan ini berdiri, melalui berbagai rintangan dan perjuangan, tumpah darah, suka maupun duka. Dan kini, segerombolan raksasa ingin menghancurkan mereka?
"Tembak!"
Gelombang demi gelombang anak panah melesat ke angkasa dan menghujani raksasa-raksasa. Ada yang tumbang setelah diterjang puluhan panah. Ada yang seolah tidak peduli dengan rasa sakit dan masih menerjang, bahkan ada yang mengangkat bangkai rekannya yang sudah menjadi landak sebagai pelindung dari hujan panah.
"Ganti barisan, langsung tembak! Jangan berhenti sebelum ada perintah!" tegas salah satu kapten prajurit sambil melepaskan panah.
Meski berperang, kapten wajib ikutserta dalam melancarkan serangan. Dengan ini kapten mampu mengamati jalannya peperangan secara langsung dan menyiapkan strategi dan strategi balasan.
"Yang bisa sihir, kalian dipersilahkan menunjukan kemampuan kalian!"
Seketika beberapa anak panah yang dihempaskan, ada beberapa yang diimbuhi semacam mantra, sehingga memberikan dampak yang lebih menghancurkan dari panah biasa. Ada yang memancarkan api, membelah menjadi banyak, menciptakan ledakan saat mendarat, hingga menjelma menjadi burung api juga ada.
Dan Felix juga salah satunya yang menikmati panah yang diberkati sihir. "Wahaha! Hebat, Silba, hebat! Lagi dong, imbuhin panahku lagi!" serunya, setelah menyaksikan panah yang ia lepas menciptakan ledakan.
"Felix!" tegur Silba, "punyamu bahkan nggak ada nyampe sepuluh meteran jatuhnya! Aku rugi mana!"
"Ya aku tau! Ayolah, kawan-kawan! Biarin trollnya mendekat! Satu aja! Ya, satu aja! Aku mau nyobain jurus juga!"
"Maaf!" seru prajurit lainnya, "Siapa cepat dia dapat!"
"Maksudnya siapa yang paling jauh yang dapat?"
Dan seterusnya prajurit-prajurit lain ikut menambahkan.
"Iya, aku yakin ada yang datang satu kok!"
"Tapi udah sekarat, tentunya!"
"Bener tuh, nggak apa kok Felix! Yang penting kena!"
Menanggapi guyonan demi guyonan, Felix membalas, "Pelit kalian, ya?"
Meski dalam situasi perang, prajurit Imperial masih menyempatkan waktu untuk sekedar bercanda dan bersenda gurau, tertawa bersama, seperti anak-anak yang bertamasya dan menguliti hewan hidup yang mereka temui. Sudah jelas ada jurang pemisah dalam hal kekuatan tempur di antara kedua pihak disini.
"Ayo anak-anak! Tetap pusatkan panah-panah itu ke sana!" tegas salah seorang kapten prajurit yang menghampiri Felix, "Nak Leonharth, coba kau pakai tombak ini!"
Meski sedikit bingung, Felix mengangguk dan menerima tombak yang disodorkan kepadanya, "Tombak ini, Kapten Lancelot?"
Sang kapten mengacungkan jari ke arah troll, "Di barisan belakang mereka! Lihat!" tegasnya sambil menunjuk tajam ke arah raksasa.
Semakin ke belakang, terdapat satu troll yang terlihat lebih besar, lebih berotot, dan berlemak. Dari kepala hingga ke pundak ditutupi semacam kulit binatang yang diikatkan secara kasar. Tangannya yang gemuk dan kekar juga menggenggam sebuah pohon jati kurus yang terlihat seperti dicabut secara paksa dari tempatnya tumbuh, terlihat dari bekas tanah coklat yang kering masih menempel pada akarnya.
"Jika sekawanan troll memiliki pemimpin, artinya mereka sedang melakukan penjajahan! Tidak heran jika jumlahnya sampai puluhan!" gumam sang kapten. "Leonharth, luncurkan tombak itu!"
"Tapi, kapten—"
"Mahluk itu tidak sekuat yang kalian kira! Coba saja!"
Meski mempertanyakan niat sang kapten, raut wajah Felix yang tadinya bingung berubah. Senyuman beringas ala sang pemburu yang baru saja menemukan mangsanya, "Siap laksanakan, kapten!" serunya.
Berdiri di pinggir tembok dengan tangan kanan memegang tombak ditarik sekuat-kuatnya kebelakang, Felix menjulurkan tangan kirinya seperti menyuruh yang lain untuk melihat titik yang sama, titik dimana pemimpin raksasa berada.
Setelah mengunci targetnya, Felix mengayun tangan kanannya, melepas tombak dengan kekuatan penuh. Satu lemparan, dan tombak itu melesat jauh dan menerjang seperti elang yang menukik menuju mangsanya.
Menyadari ada serangan mendekat, pemimpin troll mengangkat pohon jati kurus ke depan, mencoba untuk menepis tombak yang meluncur seperti meteor.
"Percuma!"
Tombak itu segera menembus dan menghancurkan pohon jati yang menghadangnya. Tidak sampai disitu, tombak yang masih melesat dengan kencang itu masih harus menembus tubuh si pemimpin troll, bahkan dua troll lain yang secara kebetulan dibelakangnya tidak luput dari terjangan tombak dan mendapati tubuh mereka sudah dilubangi olehnya. Dengan tumbangnya pemimpin mereka, raksasa-raksasa yang berniat menyerang seketika menjadi gentar dan memilih untuk berlari ke arah sebaliknya.
Sementara di sisi lain, melihat pemimpin perang pihak lawan telah dibinasakan, prajurit-prajurit di tembok bersorak ria, menyoraki kemenangan mereka. Ditambah dengan beberapa raksasa yang mulai panik setelah kehilangan pemimpin perang, seluru prajurit semakin bernafsu untuk menghempaskan anak panah mereka, memastikan kemenangan mereka mutlak. Kemenangan bagi mereka adalah perjuangan. Kemenangan dari musuh yang menyerah tidak bisa—dan tidak akan pernah—memuaskan mereka yang telah mengangkat senjata.
"Kerja bagus, nak!" sanjung sang kapten menepuk pundak Felix.
"Terima kasih, Kapten Lancelot!"
"Nah sekarang kamu bawa kembali tombak itu kembali, saya tunggu!"
"Eh, m-maaf, bagaimana?"
"Yang lainnya, kalian juga segera berberes! Sisanya bantu kami dan yang lain mengumpulkan anak-anak panah yang kalian hempas tadi! Cepat bergerak sebelum senja!"
Seketika sorakan kemenangan berubah menjadi seruan kekecewaan yang bercampur dengan kelelahan. Mau bagaimana lagi, mereka terlalu bersemangan melontarkan anak panah saat ada musuh menyerang. Tidak ada satu anak panah pun yang boleh terbuang sia-sia selama masih bisa digunakan kembali.
Prajurit-prajurit ini masih muda, masih belum punya pengalaman nyata perihal peperangan. Serangan raksasa troll tadi bagaikan tinta emas yang tidak boleh dilewatkan untuk menulis di secarik kertas kisah muda mereka mengabdi sebagai prajurit Imperial.
Sebenarnya tidak mengherankan bila mereka yang sejak kecil terlanjur mengkonsumsi cerita kepahlawanan masa lalu berlomba-lomba ingin mengukir sejarah. Terutama sebuah cerita masa muda yang bisa diceritakan kembali kepada anak cucu kelak. Libraria adalah satu dari kota besar di Imperial yang tidak jarang mendapat kunjungan dadakan dari monster-monster yang merindukan nikmatnya daging manusia. Oleh sebab itu, banyak prajurit maupun petualang memilih menetap di Libraria demi memuaskan dahaga mereka akan tantangan dan kisah pertarungan yang nyata.
"Biasa aja lah! Aku dari kecil udah ditempa sama ayah, makanya bisa kebetulan sekuat ini! Kalian kalo rajin latihan juga bakal sekuat itu kok!"
Satu diantara prajurit yang tengah memulung anak panah di tengah-tengan bangkai raksasa, Felix Leonharth, bersendagurau sambil mencabuti sebuah tombak yang menancab dalam di tanah yang telah menjadi kawah seperti habis terjadi ledakan.
"Merendah nih!" gurau sang sahabat, Silba Evergreen.
Ras sylvan mudah dikenali dengan kedua telinganya yang panjang dan runcing. Sisanya, sylvan dan manusia tidak memiliki perbedaan secara fisik. Sylvan dikenal dengan kecerdikan dan ketangkasan mereka dalam memanah, namun sangat tidak sopan beranggapan kalau mereka semua pandai memanah. Sama buruknyanya seperti menganggap orang berkulit hitam sebagai budak, atau orang dari Kota Cattelburgh pandai berkuda karena mereka berbau seperti kotoran kuda.
"Iya!" ketus prajurit lainnya, "Felix suka merendah diri kalau ditanya soal kekuatan!"
Prajurit-prajurit lain pun segera menyumbangkan gurauan mereka masing-masing.
"Aku lho latihan pagi sampe sore, masih segitu-segitu aja!"
"Kalau aku agak jarang latihan, kayaknya sulit bisa seperti Felix!"
"Nggak sehebat itu kok aku!" tepis Felix, "Kalo saja aku nggak fokus ngelatih teknik tombak dan pedang, mungkin panah-panah yang aku lepas bisa lebih jauh lagi perginya! Mungkin juga aku bisa menggunakan sihir sestabil kalian!"
Semua prajurit tertegun. Memang benar yang dikatakan Felix. Meski dari pertempuran tadi ia sudah menunjukan kehebatannya, yang mana juga alasan utama kerajaan merekrut dirinya, ia masih memiliki banyak kekurangan yang bisa dibilang sangat vital. Memanah atau teknik menyerang dari jarak jauh merupakan kebolehan yang tidak kalah penting, sama halnya sihir dan seni berpedang. Felix sejauh ini tidak begitu mahir dengan sihir apapun.
Namun meski memiliki banyak kekurangan yang harus diperbaiki, Felix masih memiliki jiwa ksatria untuk mengakui kelemahannya di depan banyak mata yang mengagumi dirinya. Dan itu cukup membuat dirinya menjadi popular di kalangan prajurit dan juga petualang, serta penduduk, baik di Libraria maupun Cattelburgh Utara.
Sayangnya, ia pribadi tidak begitu menikmati menjadi pusat perhatian, terlebih sosok teladan.
"Hey, lihat!"
Seseorang menunjuk ke arah langit di atas hutan dengan panah masih tergenggam di tangan. Serentak semua menoleh kesana karena penasaran. Fenomena aneh telah mewarnai langit biru muda yang cerah dengan sedikit awan yang lembut dilihat mata.
Bagaikan sebuah peringatan dari surga, puluhan meteor kemerahan dengan ekor cahaya yang menyala-nyala datang berkunjung dari langit yang tak terbatas. Ada yang lambat dan menikmati indahnya langit selagi atmosfer mengikisnya, ada yang terlihat tidak sabar untuk menghantam bumi. Getarannya yang ditimbulkan oleh mereka yang berhasil mendarat tidak begitu kuat, namun getarannya cukup untuk memicu ketakutan dan kepanikan semua orang di Libraria. Hanya dalam sedetik setelah dentuman pertama, kepanikan terwujud di antara prajurit-prajurit yang sudah resah.
"Semuanya! Mundur! Kembali ke kota!" teriak kapten dari kejauhan memberi perintah.
Meski semua prajurit berhasil kembali ke kota dengan selamat, namun hujan-hujan meteor masih belum reda. Entah tembok setinggi lima meter ini mampu melindungi, mereka hanya bisa pasrah dan berdoa. Selama masih ada meteor yang datang dari langit dan dentuman-dentuman yang menggetarkan bumi, mereka harus bisa berjuang melawan musuh terburuk umat manusia yang tidak pernah memiliki wujud—rasa takut.
"Selamatkan kami, para Divinity sakti!"