"Apa tak bisa, kau cari istri yang sama pekerjaan dan kedudukannya dengan kau Langit?" Pertanyaan ibu seketika memasang dinding pemisah antara aku dan ibu. Bulan yang selalu menyinari hari-hariku tak bisa sirna dari pikiranku. Gadis lugu dari orang tua miskin yang hanya bekerja sebagai tukang bangunan itu selalu ada di saat aku sulit.
"Hanya dia yang bisa ngerti aku Bu, bahkan Ibu sekalipun tak pernah mengerti aku." Kuhirup secangkir kopi yang kubuat sendiri malam ini tanpa memalingkan wajahku pada ibu yang kutahu pasti, saat ini kemarahannya begitu memuncak.
Sesaat kemudian sebuah mobil pajero mendarat di depan rumah dua lantai ini." Tengok tu, kakak kau datang sama suaminya," teriak ibu sambil tergopoh-gopoh menyambut anak kesayangannya ke depan pintu.
Sambutan hangat itu selalu ibu perlihatkan di depan mataku setiap kali Kak Kay datang. Tanpa bertanya sedikit pun ibu dengan sigap membuatkan kopi untuk anak dan menantunya yang seorang ASN itu.
"Ngapa cemberut aja Bu?" Pertanyaan Kak Kay memecahkan keheningan yang terjadi.
"Kau nasihatkan lah adek kau Langit itu Kay, mau nikah kok sama orang susah tak sederajat sama kita." celetuk Ibu dengan netra yang memerah.
"Orang mana dapat Langit? Apa kerjanya? Orang tuanya kerja apa?" Pertanyaan Kak Kay bertubi-tubi mengisyaratkan keingintahuannya begitu besar.
"Orang Padang, kerjanya guru honor, orang tuanya buruh bangunan," jawabku dengan santai.
"Emang bodoh kau ini Langit, tak bisa kau cari pegawai juga yang sama dengan kau. Orang Padang pulak lagi. Udah gitu orang tuanya susah. Nanti kau juga yang susah. Kebanyakan orang mereka cerdik buruk." Kak Kay mengarahkan telunjuknya tepat ke depan mataku.
"Kalian semua jangan menilai orang hanya karena materi. Terkadang yang terlihat baik belum tentu baik. Dengan Bulan aku bahagia dia bisa ngerti aku." Kutinggalkan mereka yang duduk di sofa merah di ruang tamu itu tanpa peduli lagi apa yang mau mereka utarakan. Aku tahu keluarga ini tidak akan bisa menerima pendapat.