Chereads / Unforgettable Regret / Chapter 5 - MENANTI PENGUMUMAN

Chapter 5 - MENANTI PENGUMUMAN

"Din, aku balik dulu ya." Ucap Bayu sembari melihat jam tangannya. "Udah hampir jam 2 nih, nanti sore aku masih nge-futsal bareng temen-temen, udah janjian soalnya."

"Ya okelah, hati-hati loh dan makasih udah antar jemput aku." Bibirku memberikan senyuman dengan ekspresi seimut mungkin.

"Iya." Dia pun ikut tersenyum sambil mengacak-acak rambutku, "Entar kalau dah waktunya pengumuman kita berangkat bareng lagi aja."

"Lah yakin ndak apa-apa nih, kamu antar jemput aku melulu?

"Enggak apa-apa cerewet." Dia melakukan pergerakan memutar bola matanya, "Lagian kita kan sahabat, dari dulu juga kita kemana-kemana selalu bareng. Kenapa baru sekarang tanya gitu? Santai aja kali."

Bukannya gitu, para fans gila kamu itu yang aku khawatirin. Mereka selalu up to date kalau kita pergi bersama, yang ada mereka malah ngelabrak-ngelabrak lagi kayak waktu dulu, ucapku dalam hati. Seakan mengerti kegundahanku, diapun berkata, "Udah nggak usah dipikir, kalau ada apa-apa lagi bilang aja sama aku. Mestinya kamu bangga lho, Din. Jalan sama cowok secakep aku." Ucapnya sambil mempertontonkan gigi putihnya yang rapi dan menggerakkan alisnya ke atas dan ke bawah.

"Iddiiiihhh, PD banget." Jawabku dengan memalingkan muka.

Dia malah terkekeh mendengar jawabanku. Lalu berlalu meninggalkanku menuju tempat ibuku yang sedang bersantai duduk di kursi meja makan, sambil menonton YouTube info goship terpanas kesukaannya, "Tante, Bayu pamit pulang dulu."

"Oalah, sudah mau pulang toh. Ya sudah hati-hati di jalan yah, dan Tante terimakasih banyak nak Bayu sudah mau nemenin Dinda hari ini." Ucap ibuku, lagi-lagi dengan senyum mengembang dibibir tipisnya.

Ibuku memang cukup akrab dengan Bayu, karena dia adalah satu-satunya teman laki-laki yang tidak dipermasalahkan orang tuaku, ketika bertamu kerumah. Mungkin karena dia luwes dalam berbicara, sopan dalam bersikap dan dia hanya mengajakku pergi bersama ketika hanya berhubungan dengan sekolah, seperti PENSI, belajar kelompok, maupun pelajaran tambahan di sekolah, termasuk mengajak berangkat dan pulang bersama ketika pendaftaran dan tes masuk Perguruan Tinggi. Selebihnya dia hanya menemuiku di rumah.

Lain halnya dengan beberapa laki-laki yang mencoba mendekatiku, mereka datang kerumah hanya ingin mengajaku kencan. Jelas saja orang tuaku tak pernah mengijinkan, jika keluar rumah dengan tujuan yang aneh-aneh.

Eitzz ... tapi ... tapi ... Bayu hanyalah seorang sahabat, bukan pacar ataupun HTS = Hubungan Tanpa Status, apalagi TTM = Teman Tapi Mesra. Enggak ... enggak ... enggak kayak gitu, suwer.

Dia memang selalu baik kesemua orang, termasuk aku. Tak sedikit pula dia di kagumi oleh para kaum hawa di sekolah karena sikapnya itu dan yang pasti postur tubuhnya yang mencapai angka 182 cm dengan wajah yang hampir mirip aktor Indonesia Verrel Bramasta menjadi magnet bagi para kaum hawa.

Dan yaa ... kalian bisa bayangkan sendiri bagaimana sikap para penggila Bayu itu terhadapku, hanya gara-gara tak satupun dari mereka yang berbalaskan perasaannya oleh Bayu, dan malah lebih sering terlihat bersamaku. Itulah yang menjadi kehawatiranku, karena aku pernah mengalami rasanya dilabrak oleh para fans gila bayu waktu di toilet puteri saat di sekolah. Mereka seakan seperti para Istri yang direbut suaminya oleh seorang pelakor. Tetapi entah darimana Bayu mengetahui hal ini, saat itu dia tiba-tiba datang membuka pintu toilet puteri lalu menarik tanganku dan  membelaku dari amukkan para fans gila dirinya.

Bukannya aku tak berani membela diri, tetapi 1 orang lawan 15 orang? Oh ayolah ... mencoba menjelaskan pada mereka yang sebenarnya seorang diri, juga tak membuat mereka percaya dan berubah pikiran tentangku.

"Iya Tante sama-sama." Sambil mencium tangan ibuku dan kami pun mengantar Bayu ke depan rumah. Dia mulai menaiki motor matic kesayangannya itu dan melaju menjauh dari rumahku.

Aku mulai mengunci pagar rumah dan mengekor mengikuti ibu memasuki rumah. Ibu menghentikan langkahnya tiba-tiba sehingga aku yang dibelakangnya ikut terhenti, lalu beliau menoleh kepadaku. "Kamu tadi gimana, bisa ngerjakan soalnya?" dengan tangan halusnya yang merangkul pundakku.

"Ya bisa, ndak bisa Bu. Hehe ... " jawabku cengengesan.

"Lha kok ... gitu?" sorot matanya terlihat heran melihat wajahku yang cengengesan, karena memberikan jawaban yang tak pasti.

Aku lantas meraih pinggul ibu dan mengajaknya duduk di kursi ruang tamu, "Ya maksudnya Dinda ngerjain dulu yang Dinda bisa. Terus kalau ada yang ndak bisa, Dinda jawab pakek hitugan kancing. Untungnya semua soalnya pilihan, coba kalau esay, gimana mau ngitung kancing."

"Ih ... memang kamu kemaren-kemaren ndak belajar nduk?" tanyanya dengan raut wajah terlihat sebal.

"Ya belajarlah, Bu. Cuma ada lupa-lupa dikit, ya wajar kan? Namanya juga manusia, Bu. Dengan soal sebanyak itu dan bukan cuma 1 mata pelajaran yang di kerjain, kan pusing."

"Uh ... anak ibu ini paling bisaaa ... kalau urusan alasan." Ucap ibu yang terlihat gemas sambil menjitak kepalaku. Sedang aku hanya tersenyum geli melihat tingkah ibu terhadapku.

*****

Hari demi hari kujalani hanya berdiam di rumah dengan rutinitas sehari-hari, sembari membaca buku kesukaanku untuk menunggu hari pengumuman itu tiba. Salah satu buku kesukaanku adalah 'Markesot Bertutur Lagi' karangan Emha Ainun Nadjib. Aku sangat menyukai tulisan-tulisan beliau seakan mengajak kita untuk merenungi hakikat sebuah kehidupan.

Saat sedang asyik membaca buku, kumendengar suara message di handphone yang berdering bertubi-tubi sedari tadi, mulai memecah konsentrasiku. Kuletakkan buku di atas meja belajar dan beralih meraih handphone. Terlihat grup SMP dan grup SMA dari aplikasi WA, yang isinya saling beradu pesan, berkelakar sesama teman.

Terlihat pula satu pesan dari satu jam lalu, yang sebelumnya sempat tak sengaja terabaikan olehku .

Pesan itu dari Bayu, "Oi, Din ... lagi ngapain?" sapanya, sambil mengirimkan emoticon kucing melambaikan tangan.

"Sorry ... sorry, Bay. Lagi baca buku tadi. Kenapa emang?" pesanpun telah terkirim, terlihat centang garis dua berwarna abu-abu. Tak butuh waktu lama terlihat Bayu mulai online pada aplikasi WA miliknya, dan centang dua berwarna abu-abu berubah warna menjadi biru.

"Enggak apa-apa. Cuma tanya aja. Lagi baca buku apa?"

"Tentang filosofi aja sih, kamu lagi dimana?"

"Wesss ... berat tuh bacaan. Lagi nongkrong bareng temen-temen nih, di Loko Coffee Shop. Oya Din. Besok berangkat bareng yuk ke kampus buat liat pengumuman lulus atau nggak di mading. Aku jemput jam 09:00. Oke? "

"Oke, udah dulu ya Bay. Aku mau tidur nih, dah malam. Sampek ketemu besok." Ucapku mengakhiri percakapan kami, karena rasa kantuk yang mulai merajalela. Mungkin ... karena mataku terlalu lelah. Wajar sebagian besar waktuku dihabiskan untuk membaca buku. Kuubah hpku dalam mode pesawat dan kuletakkannya di bawah bantal tanpa menunggu balasan dari Bayu. Aku termasuk pada golongan orang yang paling tidak suka waktu tidur malamku terganggu dengan kebisingan Hp, seperti bunyi chat masuk ataupun seseorang yang mentelephone di waktu tengah malam. Karena itu akan membuatku merasa lelah saat bangun tidur di pagi hari, seperti orang yang masih kekurangan tidur.

*****

Hari untuk melihat pengumuman kelulusan masuk perguruan tinggi pun telah tiba. Terdengar beberapa suara ayam jago berkokok mengawali hari. Sinar mentari perlahan mulai masuk menembus tiap-tiap jendela di rumahku. Pagi itu tak berbeda dari pagi-pagi biasanya. Kuberanjak dari tempat tidur dan berlalu meninggalkan kamarku. Kudapati Ibu sedang memasak di dapur dan ayah menikmati roti tawar yang dicelupkan kedalam kopi sambil asyik menonton televisi.

Kuhampiri ibu yang tengah kelimpungan dengan rutinitas memasaknya, "Masak apa Bu?" tanyaku sambil melihat bahan masakan yang sedang ibu olah.

"Masak sayur tewel nduk, tempe dan tongkol goreng. Sini kamu bantuin Ibu dulu. Iris itu tempe dan tongkol, nanti kamu bumbui lalu di goreng."

"Oke." Jawabku sambil mengacungkan jempol tangan kananku. Kulakukan sesuai perintah Ibu, lalu menggorengnya dengan minyak panas. Satu-persatu masakan telah matang sempurna, dan kutata pada piring dan mangkuk di atas meja.

Setelahnya ku bergegas untuk segera pergi mandi dan bersiap. Setelah selesai mandi dan bersiap, aku kembali ke dapur untuk sarapan pagi. Di sana kudapati Arya yang baru saja bangun tidur dengan wajah kusutnya, sedang membuka tudung saji. Tangannya mulai bergerilya di atas meja makan. Entah apa yang sedang dia pilih. Segera kudatang menghampirinya dari belakang dengan berjalan mengendap-ngendap agar tak menimbulkan suara. Ketika aku telah sampai di belakangnya, kudekatkan bibirku ketelinganya dan mengeluarkan suara khas lirih seperti Saiton yang sedang berbisik di telinganya, "Haaaaaa ... Aryaaaaaa ... Aryaaaaa ..."

"Aaaaaaaaaaaaa ..." Teriakan Arya yang melengking sontak membuat kaget orang seisi rumah dan sukses membuat penasaran para tetangga di sekitar rumah. Maklum dia memang seorang yang penakut, jika berhubungan dengan hal-hal goib. Tak jarang dia menjadi sasaran empuk aksi kejahilanku, terutama di saat menonton film horror bersama. Lha wong gimana ... Orang takutan kok suka ngintil nonton film horror, lha piye toh?

Ibu dan Ayah berlari menuju ruang makan dimana Arya berada dan di susul para tetangga yang nyelonong masuk tanpa permisi, "Ada apa ini? Pagi-pagi kok sudah bikin ribut." Tanya ibu dengan nada sedikit naik, sedang Ayah hanya melihat kami dengan wajah penasaran.

"Ono opo toh niki Bu? Kok Kulo mireng wonten sing bengok." Salah satu tetangga mulai ikut bertanya dan di setujui oleh yang lainnya, "Iyo loh Bu Kulo nggeh mireng."

"Duko niki lare-lare tasik enjing kok yo wis rame." Jawab ayahku menghentikan pertanyaan para tetangga.

"Ini loh Bu mbak nakal, tadi ngagetin Adek." Ucapnya sambil memonyongkan bibir.

"Oalaaahhh ..." para tetangga menjawab dengan serentak dan berhamburan keluar.

"Wis toh nduk ojoh nggudoi adekmu tok, iseh isuk wis nggolek rame." Ibuku mulai mengomel dengan bahasa jawa, sedang aku hanya pasrah di ceramahi sembari cengengesan saja.

"Mending kamu sarapan sana, nanti di jemput Bayu masih belom siap."

Aku hanya mengangguk malu tanpa menjawab omelan Ibu dan langsung duduk di kursi meja makan sambil mengambil nasi beserta lauk pauknya. Jarum jam terus bergulir, detakannya menunjukan pergantian waktu tiap detik. Hingga menunjukan pukul 9 kurang 10 menit. Samar-samar dari kejauhan mulai terdengar suara khas motor matic laki-laki bertubuh jangkung itu. Kubilang suara motor maticnya khas, karena dia telah memodifikasi knalpotnya sehingga bisa mengeluarkan suara seperti siulan. Aku langsung bisa mengenalinya, jika Bayu datang berkunjung ke rumah.

Aku berjalan menuju kamar, mengambil tas, handphone dan dompetku. Setelahnya, aku berlalu meninggalkan kamar menuju teras rumah, lalu meraih sepatu yang di letakkan di rak sudut teras dan mengenakannya.

"Assalamu'alaikum ..." ucapnya, "Weh, udah siap aja nih Din. Tumben cepet, biasanya aku masih nunggu kamu siap-siap dulu." Katanya dengan wajah yang terlihat sumringah.

"Wa'alaikumsalam, iya lagi ndak tenang nih mau liat pengumuman."

Dari arah dalam rumah terdengar suara ayah menyapa Bayu, "Lho nak Bayu sudah datang, mari mampir dulu."

"Enggak usah om, lain waktu saja. Dinda juga sudah siap, kami masih harus ke kampus dulu om lihat pengumuman."

"Oya? Sekarang ya pengumumannya? Kamu bisa ndak nduk ngerjainnya?" Tanya ayah sambil memalingkan wajahnya ke arahku.

"Bisa kok yah, ya sudah Dinda berangkat dulu." Jawabku sambil berjalan ke arah ayah dan mencium tangannya, lalu di ikuti juga oleh Bayu dari belakang. 

"Tante kemana om?" tanya Bayu.

"Oh, Tante masih mandi, biar sudah kalian segera berangkat saja."

"Iya om, kalau gitu titip salam sama Tante ya?"

"Iya ... Ya nanti om sampaikan."

Kami berjalan meninggalkan teras rumah untuk menaiki motor matic milik Bayu dan melaju menjauh dari rumah menuju kampus. Sesampainya di kampus, suasana terdengar riuh dipenuhi oleh lautan manusia yang sedang berkerumun, hendak berebut mendekati mading kampus.

"Biyuh ..." Seru Bayu.

"kenapa Bay?" 

"Rame banget Din."

"Namanya juga lagi lihat pengumuman di kampus, ya ramelah. Sepi itu kuburan." Celetukku sambil melepaskan helm dari kepala dan meletakkannya di spion, lalu pergi meninggalkan Bayu yang masih menempel di atas motornya.

"Oi ... Din tungguin." Teriaknya. Aku tak menghiraukan ucapannya dan terus berjalan menuju kerumunan orang yang berjubel di depan mading. Ku berjalan maju mencoba memisah orang-orang yang saling berhimpitan. Rasanya agak susah, sempat beberapa kali terasa kakiku terinjak oleh orang-orang yang berhimpitan dan saling dorong tak mau mengantri.

"Aw ... Sakit." Keluhku dan tiba-tiba seseorang dari belakang merangkulku dengan tangan kirinya sembari berkata, "Permisi ya, permisi." dengan gerakan memisah orang-orang dengan menggunakan tangan kanannya, hingga akhirnya aku berhasil berada di depan mading.

Aku mencoba mendongakkan kepalaku ke atas, dan kudapati Bayu sedang menundukkan kepalanya menatapku, "Dari tadi aku bilang tungguin, malah di tinggal. Gimana kalau kamu sampai kenapa-kenapa?"

Aku langsung menunduk dan mengabaikan perkataan Bayu. Situasi ini membuatku tak nyaman. Aku tepat berada didepan tubuhnya, sedangkan tangan kirinnya mengapit tubuhku sehingga tak ada jarak antara aku dengannya.

"Duh, gimana mau konsen nyari namaku di mading kalau seperti ini posisinya," gumamku dalam hati.

PS : Buat yang Muslim, Selamat menunaikan ibadah puasa. Masih pada kuat kan puasanya?

Jangan lupa tinggalin jejak kalian ya, sama power stone juga boleh ^_^