Chereads / Dekap Luka Seorang Istri / Chapter 39 - 39. Smooth Like Butter

Chapter 39 - 39. Smooth Like Butter

39. Smooth Like Butter

Tubuhku rasanya letih sekali. Kulihat Ramdan tertidur pulas menghadap ke arahku. Satu selimut kami gunakan bersama. Tangannya masih bergelayut manja di perutku. Segera kusingkirkan agar aku bisa beranjak dari sini.

Aku mengingatkan diri sendiri jika ini terakhir kalinya aku melayani Ramdan di ranjang. Jika besok-besok Ramdan memintanya lagi, sudah kupastikan akan aku tolak. Enak saja. Kalau aku bunting sebelum surat cerainya keluar bagaimana? Orang tuaku pasti akan pusing memikirkan cara lain agar aku terlepas dari suamiku.

Aku bangkit dengan sisa tenaga yang kupunya. Karena Lulu masih di rumah mertuaku, Ramdan berani meminta jatah padaku. Semoga saja wanita itu cepat pulang. Beruntung aksi kami tidak ketahuan olehnya tadi. Kalau iya, sudah bisa kupastikan ia akan menangis darah sepertiku dulu.

Canda. Bahasaku berlebihan sekali.

Kuambil baju milikku dan milik Ramdan untuk dimasukkan ke mesin cuci selepas mandi. Jam menunjukkan pukul 9 malam. Di ruang tengah agaknya sepi. Aku meloncat masuk ke kamar mandi usai menyambar handuk di gantungan lemari.

Tak butuh waktu lama, aku keluar dengan wajah segar. Ternyata Ramdan masih tidur pulas meski kutinggal mandi. Sembari mengeringkan rambut, aku keluar dari kamar membawa baju kotor kami menuju kamar mandi di luar kamar. Kutaruh baju kotor di dalam mesin cuci untuk kucuci besok. Setelahnya aku pergi ke ruang tengah.

Layar televisi masih menyala-nyala dengan volume kecil. Laptop juga masih dalam keadaan terbuka meski layarnya menghitam. Kemungkinan mati karena kehabisan daya. Aku benar-benar lupa mematikan benda-benda itu.

Segera kucharger laptop merah milikku agar bisa digunakan untuk menulis lagi. Outlineku belum siap. Rencana besok aku sudah mulai membuat karakter tokoh utama di ceritaku. Semoga bisa selesai sesuai tenggat waktu yang tersisa. Masih ada seminggu lagi sebelum awal bulan.

TING!

Ponselku berdenting. Selepas menggulung rambut dengan handuk kecil, aku mengambil ponsel dan duduk di atas sofa. Naya mengirimiku pesan.

Pap.

Aku tersenyum senang melihat foto yang Naya berikan padaku. Itu foto dirinya, di belakang ada Arqom yang tengah berbincang dengan rekan bisnis ayahnya. Naya mengambil foto itu diam-diam. Wajahnya pun terlihat kocak, gugup tegang gimana gitu. Kukirim foto itu kepada Lami.

Pap.

[Sahabat kita lagi bahagia rupanya.]

Setelah mengirim chat untuk Lami, aku kembali ke roomchatku dengan Naya.

[Cantik banget, Mba. Gaunnya maksudnya.]

[Sialan lo, Nu. Btw, mau gue bungkusin makanan sini gak? Kampungan dikit gak apa-apa ye, kan? Mubazir sumpah dibuang gitu aja padahal enak.]

[Emang Mba Nay gak malu bungkusin makanan buat aku?]

[Kan ada Arqom.]

Aku tertawa membaca pesan dari Naya. Ada-ada aja. Ya kali Naya minta tolong ke Arqom untuk membungkuskan makanan di sana. Dikira Arqom tidak sibuk di sana.

[Gak usah, Mba Nay. Nikmatin aja pestanya. Kapan lagi bisa datang ke tempat kayak gitu. Aku juga belum pernah ke sana.]

[Haha ... tanpa perlu lo suruh juga gue udah nikmatin pestanya, Nu. Btw, lo udah mulai nulis belum?]

[Masih di tahan outline, Mba. Tadi ada gangguan dikit makanya kepending.]

[Ramdan pasti. Ah, serba salah ada di posisi lo. Nyuekin suami dosa, gak ngejalanin kewajiban sebagai isteri juga dosa, lebih enak hidup gue berarti nyak.]

Aku tertawa. Sebenarnya porsi bahagia manusia berbeda-beda. Ada yang lebih bahagia ketika dirinya menikah, ada juga yang lebih bahagia dengan status lajang seperti yang disandang Naya sekarang. Mungkin aku bukan termasuk keduanya.

Aku harus menciptakan kebahagiaanku sendiri di fase sekarang. Daripada terpuruk dan berakhir depresi. Dunia tidak akan memihak orang yang lemah. Sejatinya jika sudah tidak berguna pasti akan dilupakan. Entah itu manusia ataupun barang, semuanya sama saja.

Aku hanya kebetulan ada di dunia ini dan menyicip sedikit kebahagiaan berumah tangga. Jika Ramdan memang bukan ditakdirkan untukku, aku akan mencoba ikhlas. Tuhan akan memberiku pengganti yang lebih baik lagi, begitupun untuk Ramdan nanti.

[Eh, Nu udah dulu ya. Gue diajak nemuin bonyoknya Arqom.]

[Oke, Mba. Hati-hati pulangnya ntar.]

Naya tidak membalas chatku padahal ceklis dua. Mungkin ia terburu-buru menemui calon mertua. Kuletakkan ponsel di atas meja dan beralih mengutak-atik laptop milikku.

"Ini jusnya, sayang."

Aku mendongak kaget. Ternyata Ramdan sudah bangun dan juga mandi. Rambutnya yang basah dikibaskan ke arahku secara tidak sengaja. Ia tengah mengeringkan rambutnya sendiri, lalu duduk di sampingku.

"Makasih, Mas."

Diam-diam aku merosot dan duduk di lantai. Posisi laptopku lebih rendah dibanding kakiku tadi. Sungguh tidak sinkron. Kalau duduk di lantai begini 'kan posisi laptopnya berada di atas kakiku.

"Kok duduk di bawah?" Aku hanya cengengesan sembari membenarkan posisi dudukku agar lebih nyaman.

"Mau ngetik, Mas. Gak enak duduk di atas."

"Mas ganggu berarti?" Terpaksa aku mengangguk agar Ramdan cepat pergi. Terserah ke mana asal tidak satu ruangan denganku lagi. Kalau kami deketan terus bagaimana aku bisa move on?

Kulihat Ramdan mengangguk, lalu bangkit. "Mas cuma mau ngasih jus. Makasih buat yang tadi." Aku meresponnya dengan dehaman kecil.

"Mas ke kamar. Kalau butuh apa-apa bilang aja. Kamu masih sakit. Jangan tidur kemaleman," pesannya sebelum pergi. Aku hanya mengangguk, malas menanggapi. Ramdan pun pergi ke kamar dan menutup pintunya.

Kutatap jus buatan Ramdan dengan pandangan nanar. Setiap habis atraksi, Ramdan tak absen membuatkanku jus. Katanya biar tenagaku pulih. Tubuhku juga kembali fresh. Tapi kali ini, aku tidak minat meminum jus buatannya.

Ada satu alasan lain selain alasan move on. Aku paling tidak suka orang lain membaca karyaku saat sedang kutulis. Itu sangat mengganggu. Konsentrasiku langsung pecah dan berakhir badmood. Seperti sekarang ini.

Moodku langsung berantakan, padahal aku baru hendak menulis beberapa kata. Akhirnya kusingkirkan laptop ke sisi kanan, beralih menghibur diri sendiri agar moodku kembali.

Televisi yang semula menampilkan berita kuganti dengan mode USB. Kuputuskan untuk berkaraoke sebentar. Ada beragam lagu yang kuunduh, tapi hanya sedikit yang versi karaoke. Karena aku penggemar oppa-oppa Korea, aku memilih lagu yang sedang naik daun saat ini.

Butter-BTS.

Remot kujadikan mix. Alunan lagu mulai terdengar. Aku buru-buru membuka aplikasi perekam suara kemudian menaruh ponselku ke pangkuan. Tubuhku mulai bergerak ke kanan dan ke kiri mengikuti irama lagu.

~Smooth like butter

***

"Jangan lupa dimakan sekarang. Kalau buat besok bakal bau."

Lulu mengangguk. Pintu rumah dibuka, menampilkan ruang tamu yang jauh lebih bersih sebelum ia tinggal. Junar dan Omar masuk dengan wajah bahagia. Ketika mereka berjalan ke arah ruang tengah, keadaan sungguh sangat bertolak belakang dengan ruang tamu.

Camilan pedas berceceran, jus jeruk yang dibiarkan terbuka begitu saja, televisi menyala namun layarnya terjeda, sofa berantakan, juga laptop dalam keadaan menyala. Pasti ulah Nufus. Padahal ia susah payah membereskan ruang tengah tadi pagi.

"Maaf, Bu. Kayaknya Nufus lagi nugas. Kita bicara di ruang tamu aja," ajak Lulu kepada mertuanya sedikit tak enak. Namun, Junar menggeleng. Memilih untuk duduk di sofa ruang tengah daripada di ruang tamu.

"Di sini aja gak apa-apa. Oma cuma sebentar kok." Lulu mengangguk paham. Atensinya berpindah ke arah Omar yang sedang bermain robot-robotan.

"Omar ganti baju dulu, sikat gigi sama cuci tangan terus siap-siap bobo. Mama nanti nyusul." Omar mengangguk patuh. Sebelum pergi, ia mendapat elusan singkat di kepalanya dari sang ibu. Senyumnya tak luntur bahkan sampai masuk ke kamar tamu.

Lulu duduk di samping Junar. "Mau ngomong apa, Oma?"

Junar melihat sekeliling sebentar, takut ada yang menguping. Dirasa aman, ia mendekatkan diri ke arah Lulu.

"Ada sesuatu yang harus Oma bicarain sama kamu. Ini menyangkut rumah tangga kalian."

Lulu tersenyum. Sepertinya menarik.

***