20. Kecelakaan
"Sejak kapan kamu di situ, Nu? Sini masuk," ucap Junar pura-pura tidak tahu. Lulu mengangguki ucapan mertuanya sembari senyum.
Namun, aku mendengar semuanya. Mereka bisa pura-pura tak terjadi apa-apa di hadapan Ramdan, tapi tidak denganku. Lagi-lagi mereka menghantam mentalku.
Aku tak menyangka mertua yang amat kusayangi ternyata lebih percaya dengan omongan Lulu. Ah, ralat. Mantu kesayangan maksudnya. Dari sini aku sudah bisa menebak siapa yang seharusnya mundur dari kehidupan mereka.
Aku tersenyum sembari mencengkeram kuat tali tasku. Haruskah aku keluar sekarang atau malah bergabung bersama mereka?
Ramdan menyenggol lenganku, menyuruhku mendekat ke arah mereka. Alhasil akupun menurut. Kucium punggung tangan mertuaku dengan hormat.
"Assalaamu'alaikum, Bu."
"Wa'alaaikumussalam."
"Maaf aku langsung masuk soalnya tadi Ibu gak jawab salamku. Aku takut Ibu kenapa-napa," paparku langsung ke inti pembicaraan. Junar tersenyum ramah.
"Makasih udah khawatir sama Ibu tapi Ibu beneran gak apa-apa kok. Ramdan ada bilang sesuatu ke kamu?" Aku bersitatap dengan mas Ramdan kemudian menggeleng cepat.
"Engga, Bu. Kami cuma takut Ibu ngedrop lagi kayak dulu waktu denger kabar Lulu meninggal. Maaf Ramdan baru mempertemukan Ibu dengan Lulu. Dia balik ke rumah dua hari yang lalu," jelas Ramdan pada Junar. Wanita paruh baya itu memakluminya.
"Gak apa-apa. Ibu seneng akhirnya bisa lihat wajah mantu Ibu lagi. Nufus sini duduk di sebelah Lulu. Ramdan ke belakang temui Omar sama bapakmu." Ramdan mengangguk patuh. Cepat-cepat ia pergi ke belakang meninggalkanku di sini bersama mantu dan mertuaku.
Aku duduk di samping Lulu sesuai perintah Junar meski tidak nyaman. Entah mengapa perasaanku tidak enak.
"Nufus, kamu udah kenal sama Lulu, kan? Ibu harap kamu bisa berbagi tempat sama Lulu. Kalian sama-sama isteri Ramdan, gak ada yang Ibu beda-bedain. Ngerti?"
"Ngerti, Bu." Aku dan Lulu menjawab kompak tanpa saling melempar kode. Jangankan melempar kode, menatapku saja Lulu enggan.
Junar tersenyum senang. "Bagus. Kalian udah makan? Ibu masak banyak hari ini niatnya mau ke rumah kalian."
"Sudah, Bu."
"Belum."
Jawaban berbeda dari kami rupanya membuat Junar sedikit bingung. Sedetik kemudian ia tersenyum.
"Karena Nufus udah makan dan Lulu belum, Lulu mau makan? Nufus mau makan lagi atau gimana?"
Aku tersenyum canggung. "Engga usah, Bu. Aku masih kenyang."
"Aku kangen masakan Oma."
Lulu bangkit disusul Junar, berjalan menuju meja makan sembari bercengkerama. Mereka mengabaikan keberadaanku di sini.
"Ibu masak semur jengkol kesukaan kamu."
Lagipula Junar terlihat biasa-biasa saja, tak seperti yang kukhawatirkan. Malahan ia masak masakan kesukaan Lulu. Sepertinya sudah direncanakan tapi kami yang datang ke sini terlebih dahulu.
Ternyata aku berlebihan. Benar apa kata Ramdan tadi.
Merasa tak ada gunanya berada di sini, aku keluar ke teras rumah mertuaku. Lebih baik aku menatap orang yang berlalu lalang di jalan daripada melihat kedekatan mereka. Aku tidak suka bukan karena iri. Hanya saja, kebahagiaan mereka tak juga membuatku bahagia. Aku menderita melihat mereka bahagia tanpaku. Terlebih ketika mengingat sebuah fatka yang memporak-porandakan isi hatiku.
Tiba-tiba ponselku berdering di dalam tas. Aku segera mengambilnya.
Mas Widi? Tumben banget dia nelpon.
Takut jika ada hal penting yang kulewatkan, akhirnya kugeser tombol hijau untuk menerima panggilannya.
"Halo, Mas? Ada apa?"
[Assalaamu'alaikum, Nu.]
"Wa'alaaikumussalam, Mas. Maaf lupa."
[Gak apa-apa. Lo lagi free engga?]
"Lagi di rumah mertua, sih. Ada apa emangnya?"
[Gue mau minta tolong, boleh?]
"Kalau bisa aku bantu pasti aku bantu."
[Padahal lo lagi ada masalah tapi gue malah nambahin beban lo. Sorry, ya.]
"Santai aja kali, Mas. Udah selesai kok."
[Syukur deh. Minta tolong ambilin surat ijin di mejanya Naya. Kuncinya ada di sangkar burung deket bel. Tolong serahin surat itu ke atasannya Naya.]
"Emangnya mba Nayanya kenapa, Mas kok bisa sampai ijin?"
[Kecelakaan tadi pagi. Ini masih diperiksa sama dokter di rumah sakit.]
"Astaghfirullah. Mba Naya kecelakaan? Oke aku ke sana sekarang. Mas kasih tau alamatnya di mana."
[Gue sharelock nanti. Makasih ya, Nu.]
"Gak perlu sungkan minta bantuanku. Mas udah banyak ngebantu aku."
[Gue tutup ya, Nu. Assalaamu'alaikum.]
"Wa'alaaikumussalam."
Segera kumasukkan ponsel ke dalam tas kemudian menyusul Ramdan di kebun belakang rumah. Saat di dapur, aku melihat keakraban Lulu dan mertuaku. Aku sengaja mengabaikan mereka daripada sakit hati lagi.
Keselamatan Naya lebih penting saat ini.
Ketika sampai di kebun belakang rumah, aku melihat Ramdan asik memetik sayuran dengan Omar. Sedangkan ayah mertuaku sedang bercocok tanam tak jauh dari tempat mereka. Tapi sayangnya jarak antara tempatku berdiri dengan tempat mereka sangat jauh. Selain itu, jalannya pun berlumpur. Mereka saja sampai pakai sepatu bot. Tak ada sepatu bot lain di sini.
"MAS RAMDAN! MAS!"
Sudah berteriak sekuat tenaga pun Ramdan tetap tidak mendengar suaraku. Cara lain, aku akan mengirim pesan pada suamiku. Tapi sialnya batreku malah habis. Ponsel suamiku entah ada di mana, mungkin di kantong celana.
Alternatif terakhir, bilang ke ibu mertua. Aku segera menemui mereka di dapur, tapi hanya ada Lulu di sana. Sedang mencuci piring kotor miliknya. Aku memberanikan diri untuk bertanya padanya.
"Lulu, ibu mana?"
Lulu menoleh dengan wajah datar. Melihat aku yang berbicara, ia kembali meneruskan pekerjaannya.
"Lagi ke warung beli makanan. Ada apa?"
"Aku mau minta ijin ke mas Ramdan tapi mas Ramdan lagi metik sayur. Berhubung ibu gak ada, aku ijin ke kamu gak apa-apa?"
Lulu meletakkan piring bersih di rak kemudian berbalik menatapku. "Mau ke mana?"
"Mba Naya kecelakaan. Aku mau nganter surat ijin ke kantornya dia sekalian jengukin mba Naya. Kamu pulang aja bareng mas Ramdan nanti. Tolong bilangin ke ibu sama mas Ramdan ya?"
Lulu mengedikkan kedua bahunya tak acuh. "Oke." Senyumku mengembang.
"Makasih, Lu. Aku pamit. Assalaamu'alaikum."
"Wa'alaaikumussalam."
Aku bergegas pergi keluar dari rumah mertuaku, mencari ojek terdekat untuk kutumpangi. Untungnya aku bawa uang lebih untuk pulang-pergi jadi tak perlu meminta uang dari suamiku.
***
TOK! TOK! TOK!
"Masuk."
Aku segera membuka pintu setelah seorang pria mempersilakanku masuk. Rupanya benar-benar Arqom. Kukira Naya membohongiku selama ini, ternyata tidak. Arqom adalah atasan Naya dan Lami di kantor, bukan sekedar rekan biasa.
Pria itu sedikit terkejut melihat kedatanganku. Aku tersenyum sembari mendekat ke arahnya, menyerahkan amplop putih berisi surat perijinan Naya untuk diberikan kepada Arqom.
"Nufus? Lo kok di sini?" Arqom buru-buru bangkit, menyingkirkan berkas dalam genggamannya tadi ke pinggir meja. "Duduk dulu. Ini apa?"
Aku duduk di hadapan Arqom. "Surat ijin atas nama Naya." Pria itu mengernyit bingung.
"Naya? Oh iya dia gak berangkat sekarang gue kira bolos. Ijin kenapa dia?"
"Tadi pagi kata kakaknya kecelakaan. Udah dibawa ke rumah sakit, ini baru mau aku jenguk."
Arqom terbelalak kaget. "Kecelakaan? Duh, kayaknya ini salah gue tadi nyuruh dia cepet-cepet ke kantor buat rapat padahal rapatnya jam sebelas nanti." Ia memijit pangkal hidungnya yang berdenyut.
Aku geleng-geleng kepala. "Kamu toh. Lain kali jangan gitu. Kita gak tau apa yang bakal terjadi ke depannya." Pria itu meringis, merasa bersalah menjadi penyebab Naya sampai berakhir di rumah sakit. Padahal niatnya hanya iseng tadi agar Naya tidak terlambat menghadiri rapat.
Aku tersenyum. "Gue ngaku salah. Lo mau jengukin Naya kapan? Gue ikut."
"Sekarang. Habis balik dari sini."
Arqom melirik jam tangan di pergelangan tangan kirinya. "Masih ada waktu satu jam setengah. Ayo! Naik mobil gue."
Aku tak bisa menolak rejeki, kan?"
***