Chereads / Dekap Luka Seorang Istri / Chapter 18 - 18. Bimbang

Chapter 18 - 18. Bimbang

18. Bimbang

Ramdan duduk termenung di teras rumah. Keadaan rumah sangat sepi. Nufus tidak ada, Lulu dan Omar ijin ke rumah mertua tanpa dirinya.

Sampai saat ini, Ramdan belum memberitahukan kepulangan Lulu pada orang tuanya. Ia takut mamanya langsung drop seperti dulu ketika mendengar kabar perihal kematian isteri pertamanya. Tapi bodohnya ia malah membiarkan Lulu bersilaturahmi hari ini dengan seijinnya.

Bodoh kau Ramdan!

Ia tengah merutuki perbuatannya kemarin. Karena tak bisa menahan dan meredakan amarah Nufus, isterinya itu masih berkeliaran entah ke mana. Ramdan tak bisa berhenti khawatir. Apa Nufusnya makan dengan baik, tinggal di tempat layak, dan yang paling penting apa dia tidak apa-apa?

Sebagai seorang suami, Ramdan merasa tak becus menjaga Nufus. Kepulangan Lulu pasti sangat memukul relung hatinya. Wanita mana yang ingin dimadu? Meski hal ini tidak disengaja, Ramdan yakin jiwa isterinya sangat terpukul. Bahkan dengan bodohnya ia tak mencari Nufus kemarin. Nufus benar-benar menepati ucapannya untuk tidak pulang ke rumah.

Pria itu mengacak rambutnya frustrasi. Ia diambang dilema antara mempertahankan rumah tangganya bersama dua isteri atau hanya memilih salah satu di antara mereka. Jika ia memilih Lulu, bagaimana nasib Nufus nanti? Ia masih muda. Ramdan meminangnya ketika Nufus baru lulus dari SMA selang beberapa bulan.

Membujuk orang tuanya pun tak semudah membalikkan telapak tangan. Susah sekali. Bahkan ia hampir tak mendapat restu dari ayahnya yang terkenal galak. Tunggu! Jangan-jangan Nufus pulang ke rumah orang tuanya. Bagaimana kalau ia minta cerai?

Tidak bisa dibiarkan. Ramdan tak rela melepas Nufus bahagia bersama dengan pria lain. Tidak!

Tapi jika ia memilih Nufus, bagaimana nasib Omar nanti? Ramdan tak tega membiarkan Lulu membesarkan anak mereka seorang diri. Terlebih sejak hamil, melahirkan, bahkan mengurus buah hati mereka Lulu melakukannya tanpa seorang suami. Saat pulang ke rumah ini pun Lulu tak menuntut banyak hal padanya.

Ramdan benar-benar bimbang sekarang.

Tanpa sadar, ingatannya berputar pada kejadian kemarin di mana ia meminta penjelasan kepada kedua belah pihak yang terkait pertikaian dengan Nufus.

[Flashback]

"Lulu, tadi itu ada apa? Kok Nufus sampai marah-marah?"

Lulu memutar bola matanya kesal. Sembari bersedekap, ia melangkah maju mendekati ranjang untuk diduduki. Ramdan tak niat duduk di sampingnya.

"Dia mau nyelakain anak kita, Mas," papar Lulu membuat Ramdan melongo tak percaya.

"Nyelakain? Kamu jangan salah ngartiin, Lu. Aku kenal betul tabiat Nufus kayak gimana. Dia sayang sama anak kecil."

Lulu berdecak kesal. Mengapa Ramdan terlihat memihak isteri keduanya itu? Padahal jelas-jelas ia melihat dengan mata kepala sendiri kalau Nufus sempat memaksa Omar untuk pergi bersamanya.

"Mas! Aku ini wanita dan sekaligus ibu. Aku paham betul sifat sesama dibanding Mas. Aku gak ngada-ngada. Jelas-jelas Nufus maksa anakku buat ikut dia entah ke mana tapi langsung ditepis sama Omar. Gak sampai di situ, bahkan Nufus mendorong anakku ke jalan. Untung warga langsung pada datang nolongin anakku." Dengan napas menggebu, Lulu menceritakan apa yang ia lihat tanpa ada yang ditutup-tutupi.

Ramdan mengacak rambutnya frustrasi. "Kamu di mana saat itu? Kenapa ninggalin Omar sendirian?"

"Aku cuma ke warung, Mas. Anak kita minta jajan ya aku turuti. Nafsu makannya lagi menurun makanya aku beliin roti buat ganjal perut dia. Salah?"

"Kenapa Omar gak sekalian kamu ajak ke warung?"

"Aku udah bilang ke Omar suruh jangan ikut. Tau sendiri 'kan kepulanganku jadi buah bibir tetangga. Aku selalu dibanding-bandingin sama Nufus. Mereka pada bilang yang engga-engga tentangku, Mas. Apa kamu tau itu?" Ramdan terdiam, mempersilakan Lulu untuk mengeluarkan keluh kesahnya.

"Omar nurut kok. Dia bilang bakal nungguin aku di pinggir jalan. Dia langsung nurut kalau aku kasih iming-iming jajan. Nufusnya aja yang tiba-tiba dateng terus maksa Omar buat pergi dari sana padahal dia nungguin aku."

"Oke. Di sini aku gak bermaksud nyalahin kamu, Lu. Yang penting Omar sama Nufus gak apa-apa. Tapi lain kali, tolong lebih diperhatiin anak kita. Aku gak selalu ada buat kalian berdua," jawab Ramdan akhirnya. Ia memilih untuk duduk di sofa melepas penatnya.

Serba salah. Ramdan bingung mana yang benar.

Mungkin ia harus menanyai Omar dan Nufus juga agar bisa mempertimbangkan keputusan akhirnya.

Lulu terlihat tak suka usai mendengar perkataanku barusan. Apa ia salah lagi?

"Kamu kelihatan gak suka, Lu. Ada apa?"

"Engga ada, Mas. Mana ada aku kelihatan gak suka orang aku biasa-biasa aja kok."

"Aku tau kamu lagi kesel. Kenapa? Karena perkataanku tadi?"

"Aku bilang engga ya engga!" Lulu mendadak bangkit. Seluruh wajahnya diliputi amarah, bagaimana ia bilang tidak ada apa-apa?

Kaum betina semakin lama semakin susah dijinakkan.

"Kalau kamu mau tau penyebab aku marah, mending kamu tanya sama diri kamu sendiri. Udah becus belum jadi suami?" Ramdan tertegun mendengar ucapan yang terlontar dari mulut isterinya. Apa katanya tadi? Becus?

"Ada masalah apa, sih, Lu? Aku lagi gak bisa berpikir jernih sekarang. Nanti kita bicarain lagi. Redain dulu amarahmu. Aku mau nemuin Omar di kamar tamu."

Daripada melampiaskan amarah kepada Lulu, Ramdan memilih pergi menuju kamar tamu tempat di mana Omar berada. Tak lupa ia menutup pintu kamar utama, berharap amarah Lulu cepat mereda karena ia tinggal.

Dulu, pribadi Lulu selalu tenang. Tak pernah ia membentak atau melawan suami. Kalau ada masalah selalu diselesaikan secara kekeluargaan. Hampir 3 tahun lamanya rumah tangga mereka aman dan tentram. Banyak warga sekitar yang iri sebab Ramdan dan Lulu tidak pernah bertengkar seperti mereka.

Tapi kini? Ramdan merasa sudah mengambil keputusan yang menurutnya benar. Lagipula ini masih sementara. Ia tak akan mendengarkan cerita dari satu mulut saja. Bisa-bisa ia berlaku tidak adil jika ceroboh seperti ini.

Berat rasanya mempunyai dua isteri yang sama-sama ia cintai. Ingin merelakan satu tapi ia belum bisa ikhlas. Di satu sisi ia ingin menjalin rumah tangga dengan Nufus seorang, di sisi lain ia masih ada sedikit rasa kepada Lulu. Terlebih sekarang sudah ada Omar di antara mereka. Ramdan semakin tidak rela melepaskan Lulu demi keegoisannya.

Ia ingin bersikap adil pada keduanya tapi ternyata cukup sulit. Bahunya seperti berat sebelah. Membayangkan hari pembalasan di akhirat kelak membuat nyalinya menciut. Hukumannya sangat berat jika ia sampai bersikap tidak adil kepada salah satu isterinya.

Apa definisi adil menurut kalian?

TOK! TOK!

"Omar, ini Ayah. Ayah mau bicara sama Omar, boleh?"

Tak butuh waktu lama, Omar membukakan pintu dari dalam. Memiliki wajah persis seperti Ramdan membuatnya teringat masa kecilnya dulu. Ia sangat menyayangi Omar sepenuh hati, tak ingin berpisah dengan anak yang selama ini ia harapkan.

Hanya dengan melihatnya, suasana hati Ramdan langsung membaik. Ia memeluk Omar erat dan membawanya ke kasur. Bocah laki-laki itu duduk tenang di sebelah Ramdan.

"Ayah mau tanya sama Omar tapi Omar harus jawab jujur." Omar mengangguk paham.

"Tanya apa, Yah?"

"Tadi Omar 'kan didatengin tante Nufus. Dia bilang apa ke Omar kok sampai jatuh gini?" Ramdan menunjuk luka Omar di lutut yang sudah diberi obat merah. Omar turut melihat apa yang ditunjuk ayahnya.

"Omar diajak nyebrang sama tante itu tapi Omar gak mau. Omar udah janji sama mama buat jadi anak yang nurut. Tante itu maksa Omar terus Omar didorong sampai jatuh," jelasnya tanpa ada yang ditutup-tutupi.

Ramdan menghela napas panjang. Sampai sini, kesimpulan yang dapat ia ambil adalah salahnya Nufus. Ia akan menasehatinya nanti kalau isterinya itu sudah pulang ke rumah.

"Maafin tante Nufus, ya? Omar 'kan anak yang baik. Sekarang Omar ke kamar mandi, cuci tangan cuci kaki habis itu tidur. Ayah bakal nemenin Omar tidur di sini." Omar bersorak senang.

"Sama mama juga ya, Yah?" tanyanya sebelum masuk kamar mandi. Ramdan tak kuasa menolak buah hatinya.

"Iya, sama mama juga."

[Off]

"Assalaamu'alaikum."

Sapaan dari arah depan membuat pria itu tersentak dari lamunannya. Netranya membulat melihat siapa yang datang dengan seulas senyum merekah. Wajah lelah Ramdan berubah menjadi pias.

"Masuk! Ada yang mau Mas bicarain sama kamu."

***