Mei 2017
Bahagia.
Satu kata yang dapat menggambarkan perasaan gadis dengan kostum toga, ia baru saja di wisuda dari sekolah menengah atas. Mendapatkan nilai terbaik satu angkatannya, meski sudah biasa menerima peringkat pertama, tetapi gadis itu tetap merasakan kebahagiaan yang teramat sangat.
Hiraya Titania, gadis yang kerap dipanggil Hira tersebut menunjukkan tropi dan hadiah dari nilai terbaiknya pada sang ayah. Pria paruh baya yang kini berdiri dan bertepuk tangan paling keras diantara semua yang hadir dalam wisuda kelas dua belas, beliau tersenyum bangga pada putrinya.
"Terimakasih kepada Tuhan yang telah memberikan kesehatan untuk kita semua, terimakasih kepada ayah dan ibu yang selalu mendukung setiap perjalanan ku, terimakasih juga kepada bapak ibu guru yang tidak pernah lelah membimbingku dan mengajarkan banyak hal, terimakasih kepada teman-temanku karena mau menerimaku sebagai teman kalian, dan terimakasih kepada adik-adik yang telah membuat acara ini dengan baik.
Tak banyak yang Hira sampaikan, hanya ucapan-ucapan terimakasih yang tak pernah cukup untuk membalas jasa kalian semua. Hira hanya berpesan, jangan patah semangat untuk meraih kesuksesan, jangan malas belajar dan jangan membuat orang tua kita bersedih. Terimakasih atas waktunya untuk Hira, sehingga dapat mengucapkan terimakasih kepada banyak orang."
Senyuman Hira tidak pernah luntur bahkan setelah pidatonya usai, ia bahkan meminta temannya untuk mengabadikan foto momen bahagianya bersama sang ayah.
"Congrats, Hira!" seru Eric.
"Makasih, Rik!"
"Ayah tunggu di luar, mau merokok dulu," Hira mengangguk dengan singkat. Ayah Hira seakan mengerti jika Hira membutuhkan waktu untuk berbicara dengan pemuda itu.
Hira sama saja seperti gadis pada umumnya, memiliki cinta pertama di sekolah. Pemuda beruntung itu Eric, siswa yang baru Hira kenal tidak lebih dari satu tahun. Seorang siswa pindahan pada awal tahun ajaran baru kelas dua belas, semua orang tahu alasannya mengulang satu tahun sekolah adalah demi mendapatkan ijazah dari jurusan IPA tepatnya kelas fisika.
Eric pernah menyatakan perasaannya pada Hira dan mengajaknya berkomitmen namun, Hira menolaknya ia tidak ingin masa remajanya berakhir dengan kesedihan dan permusuhan karena hubungan cinta. Ia memilih untuk tetap menjadi sahabat yang baik untuk Eric. Apalagi, Risya-sahabatnya juga menyukainya. Hira memilih jalan terbaik untuk hubungan persahabatannya.
"Kamu jadi masuk sekolah pelayaran?" tanya Hira dengan suara yang lembut.
"Iya, doakan ya Ra. Minggu depan test fisik," Eric menurut Hira telah banyak berubah.
Tak ada lagi Eric yang menggodanya, seperti yang Hira inginkan hubungannya dengan Eric benar terasa seperti teman biasa.
Jika boleh jujur, Hira masih memiliki perasaan suka pada Eric. Ia bahkan merindukan pemuda tersebut, tetapi Hira yang telah membuat keputusan dan Eric menghargainya.
"Selfi bareng dulu yuk, hari terakhir ketemu loh." Hira tersenyum manis yang menampakkan lesung pipitnya dan mengangguk setuju.
Eric merangkul bahu Hira, dan mulai menjepret wajah mereka dengan smartphone canggih miliknya.
.
Seakan menjadi kenangan terakhir, semua kebahagiaan Hira lenyap. Dengan menundukkan kepalanya, ayah Hira mengatakan bahwa ia tidak sanggup lagi untuk membiayai pendidikan Hira di masa kuliah.
Pria paruh baya itu bahkan berharap agar putrinya dapat membantu untuk menafkahi keluarganya, bibir Hira bergetar tidak dapat berkata-kata.
"Maafkan ayah nak, meskipun kamu berkuliah dengan beasiswa ayah tidak bisa membantu lagi. Ayah harap, kamu membantu meringankan hutang kami nak," Hira terdiam.
Setelah ayahnya pergi, kedua mata bulatnya tidak dapat mencegah air matanya agar tidak mengucur dan membuat aliran sungai dipipi nya.
"Maafkan kami, Hira." Elusan lembut tangan ibu selalu menghangatkan, begitu pula yang dirasakan oleh Hira.
Ia juga sadar jika melanjutkan pendidikannya tahun ini adalah hal yang tidak mungkin, boleh saja Hira berpikiran egois dan tetap berpegang teguh pada cita-citanya. Namun, apakah semuanya akan berjalan lancar?
Hira terkadang berdosa karena mengharapkan jika hidupnya tak pernah menjadi seorang putri buruh seperti ayahnya, tetapi Hira tak dapat melakukan hal lain. Gadis itu dengan tangisannya mengangguk dan memeluk perut ibunya dengan erat, dalam hatinya ia berjanji bahwa cita-citanya pasti akan terwujud suatu hari nanti.
Malam itu, Hira bertekad untuk pergi ke kota besar. Ia telah menyiapkan persyaratan untuk mencari pekerjaan, Hira juga telah mengemas baju-baju yang akan ia bawa.
Tak ada raut kesedihan lagi di wajahnya, Hira memang cenderung akan cepat berubah mood. Ia juga membawa buku, mungkin karena kecintaannya pada sebuah buku.
.
Suara ayam jantan berkokok membuat Hira segera bangun, ia tidak akan ketinggalan bus pagi ini. Gadis itu mandi kilat, berganti pakaian yang lebih formal.
"Buk, ayah dimana?" tanya Hira yang sudah bersiap dengan perlengkapannya.
Ibunya menatap sang putri dengan sendu, ada rasa berat untuk melepaskannya ke kota besar–apalagi Hira sendirian.
"Didepan Hira, apa kamu yakin nak?"
"Yakin buk, doakan saja. Kalau sudah dapat pekerjaan Hira pasti langsung kabarin ibu," kata Hira sembari menggenggam tangan ibunya.
Jika sudah berkeinginan bulat, siapa yang mampu membuat Hira berhenti sekarang. Kecuali, ayahnya. Hira dengan degup jantung yang tidak teratur, menghampiri ayahnya yang sedang menyesap batang rokok di teras.
"Yah?" cicit Hira.
Ayahnya bergumam, Hira tahu jika ayahnya ingin menolak keputusannya untuk pergi merantau ke kota besar. Hira seorang gadis belia, baru saja memiliki kartu identitas penduduk belum lama.
"Kamu yakin nak? Bekerja di pasar bisa, pasti ada yang mau menerima," kata Ayah.
"Tidak yah, Hira ingin mencari pengalaman diluar saja. Akan lebih repot lagi kalau Hira bekerja di pasar, ayah nanti harus antar jemput Hira."
Ayah menghela napasnya berat, lalu memandangi putrinya yang kini beranjak dewasa. Meskipun, ia meminta Hira untuk membantu ekonomi keluarga bukan berarti ia akan mengirimkan putrinya kedua luar yang begitu kejam. Apalagi ibu kota? Memang hampir semua pemuda di desa merantau ke kota, tetapi Hira masih belum memiliki pengalaman.
"Ayah, Hira mohon!"
"Baiklah, tapi kamu harus janji dengan ayah. Jaga diri baik-baik, jangan mudah percaya dengan orang lain. Dan jangan bergaul dengan sembarang orang."
Senyuman Hira terbit begitu mendengar jawaban ayahnya.
Ibunya juga menyampaikan hal yang sama, Hira memeluk erat wanita yang tengah berkaca-kaca menatapnya.
Pukul enam tepat, hawa dingin menusuk kulit Hira yang tidak tertutup kain. Dengan diantar oleh ayahnya, gadis itu pergi ke terminal terdekat. Tak banyak yang ia bawa, hanya ransel hitam dan sebuah tas jinjing berisikan bekal dijalan.
Suara motor butut ayahnya terdengar nyaring ketika melewati jalanan berlubang di desa, sudah mulai ramai orang pergi ke ladang. Tetangga yang mengenal, menyapa mereka.
Hira mengingat semua kenangan masa sekolahnya kemarin, ia menghirup aroma sejuk khas desanya yang asri. Hira akan selalu mengingat kampung halamannya hingga nanti, ia pasti akan kembali setelah sukses bekerja di kota.
"Hira pamit yah, assalamualaikum!"
"Wa'alaikumsalam, hati-hati nak. Kalau sudah sampai langsung kabarin ayah ya."
Hira mencium tangan ayahnya yang dingin, gadis itu sekarang ingin menangis. Tapi, ia menahannya.
Bus yang tak terlalu besar dengan bau solar tiba, Hira buru-buru berpamitan pada ayahnya kembali dan segera naik.