Beberapa hari telah berlalu, semakin dekat saja dengan waktu yang ditetapkan oleh musuh. Bara berlatih dengan lebih giat, dia hanya habiskan hari-harinya dengan berlatih mengendalikan angin, meditasi dan istirahat. Dia tahu bahwa semua bergantung padanya, untuk hal ini, dia sebagai Pangeran dan calon Pemimpin Kerajaan merasa perlu menjajal kebijaksanaannya dalam melindungi rakyat, meskipun bukan rakyatnya.
Sore itu, lokasi base camp kedatangan tamu besar yang memang sudah dinantikan okeh dokter Vigian, yaitu rombongan Jenderal Brighant Hewurst. Sesuai niatnya, ingin menemui suster yang telah menyelamatkan jiwanya, hendak memberi penghargaan dan hadiah spesial untuknya.
Semua pengunjung menaruh hormat kepada pak Brighant. Dokter Vigian memeluk beliau dan sangat menaruh hormat, tak terkecuali Neira juga membungkuk dihadapan beliau. Pak Brighant menyuruh prajuritnya yang juga ia ajak sebagai bodyguard dan supirnya untuk mengambil beberapa bingkisan untuk diserahkan kepada dokter Vigian agar dibagikan ke penghuni base camp dan ada sebuah kotak kado untuk Neira yang ia serahkan sendiri pada Neira.
"Terima kasih sekali Suster, kau telah menyelamatkan nyawaku, aku bisa hidup sampai sekarang" Ucapnya dengan berwibawa.
"Saya hanya melakukan tugas, dan Pak Jenderal berterima kasihlah kepada Tuhan, Dia yang memberi kesempatan hidup untuk anda" Neira membungkukkan kepala sambil menerima kado itu untuknya.
"terima kasih hadiahnya pak"
"nanti kalau situasi sudah membaik, kau akan mendapat penghargaan secara symbolis, akan diadakan acara besar di khalayak umum, tapi belum tahu kapan"
"tidak usah berlebihan pak" jawab Neira
"tidak, memang agar menjadi contoh untuk
yang lain, dedikasimu itu luar biasa"
Mereka semua masuk ke dalam dan membicarakan banyak hal, terutama tentang situasi ke depan yang berhubungan dengan serangan susulan dan persiapannya untuk negara yang sudah lebur ini, Neira merasa sedikit dongkol karena dokter Vigian tidak membahas tentang Bara sama sekali, padahal jenderal ini adalah orang yang sangat berpengaruh, siapa tahu bisa kerja sama dengan Bara untuk menghadapi serangan susulan itu.
Sementara di lahan lapang yang dikitari oleh pepohonan, sebagian masih kokoh dan sebagian sudah roboh itu Bara masih sama, bersemangat untuk latihan sendirian, karena waktu sudah sore hari, Neira berpamitan kepada semua orang untuk mengantarkan makanan kepada Bara, karena tadi Bara meminta seperti itu. Dia berpamitan sebentar untuk keluar dari perbincangan dengan pak Jenderal tadi.
Terlihat pak Jenderal mengarahkan pandangan kepada Neira dan meliriknya, lalu entah kenapa Pak jenderal Brighant itu turut berpamitan keluar sebentar dan mengejar Neira.
"Suster, mau kemana?" tanya Pak Brighant setengah berlari. Jenderal berusia sekitar 45 tahun dengan perawakan badan yang masih kekar, tinggi dan cukup terawat mungkin karena dari golongan orang berada sebelumnya ini sedikit berlari untuk bisa menyusul berjalan mengiringi Neira.
"Saya mengantar makanan dulu untuk Hero kami pak," sengaja Neira menyebutkan topik Bara agar didengar keberadaan Bara dalam misi penyelamatan negara ini.
"Hero siapa?" Tanya Pak Brighant mengerutkan dahi. Neira menunjuk dengan jari telunjuknya.
"Dia pak, orang yang berjasa memberi ketenangan negeri ini dalam beberapa hari kemarin sampai saat ini, dia bisa mengundang badai"
"Waow, terdengar lucu sih, tapi baguslah kalau dia bisa bantu" Balas jenderal ini seperti meremehkan membuat Neira merasa makin dongkol terhadapnya.
"Suster Nei, tujuh menit saja aku mau bicara serius, hanya untuk kita berdua"
"Apa itu pak Jenderal?"
"Aku mau membantumu keluar dari kungkungan kepedihan ini, kalau kamu mau ... aku ajak suster Nei meninggalkan negeri yang berantakan ini ke tempat dimana ada kedamaian dan membuka lembaran baru bersamaku" Tawar sang jenderal dengan penuh semangat.
"Apa maksud Bapak?! aku tak mengerti" Neira bingung mencerna omongan itu.
"Aku sudah mencari tahu profilmu dan semua seluk belukmu. Kamu sebatang kara. Ayahmu ksatria seperti aku yang gugur dalam peperangan, jadi sudah sepantasnya aku mengentaskanmu dari kepedihan ini sebagai balas jasaku kepadamu untuk Nyawaku yang kau selamatkan dan kepada Ayahmu untuk Negara ini" imbuh sang Jenderal.
"Maaf pak, saya masih tak mengerti maksud anda" jawab Neira polos.
Tiba-tiba, Jenderal itu memegang dan menggenggam tangan Neira sambil menatapnya.
"Oke, Menikahlah denganku suster, aku seorang duda dan kamu single, aku akan memberimu hadiah rumah seisinya di negara timur, kita bisa tinggal disana sampai perang ini reda"
Neira dengan cepat menarik tangannya itu dan sangat syok dengan apa yang di dengarnya. Apa telinganya masih berfungsi dengan baik? sampai ia harus alami hal seperti ini?
"Maaf pak, saya tidak pantas menerima itu dari anda, saya juga minta maaf tidak bisa menerima tawaran anda, maafkan saya pak"
"Suster Nei, aku pikir ketika kau menciumku itu, kau menyukaiku .. sampai-sampai setiap hari aku memikirkan ciumanmu itu, dan sekarang aku menginginkannya lagi" Pak Brighant memegang bahu Neira.
"Jaga bicara anda pak!!!, Anda salah paham, waktu itu sangat sulit dan berat, luka anda sangat parah di leher, bahkan terparah, saya bohong kalau luka anda tidak parah, itu hanya untuk menyemangati anda" Neira mulai ketus sambil menepis tangan di bahunya itu.
"Lalu ciuman itu untuk apa?"
"Saat itu saya sangat bingung karena obat bius telah habis, untuk menjahit luka anda bagaimana harus membuat anda tenang, saya mohon maaf berinisiatif mencium anda karena anda seperti Ayah saya pak" Neira segera membalikkan badan membelakangi Pak Brighant, dia sebenarnya malu dan tak ingin mengingat itu, dia tak menyangka kalau keputusannya itu membuat orang ini bisa mengejarnya.
"Kau benar suster, ciumanmu bisa membuat aku terbius, bahkan sampai aku sembuh aku juga tak pernah merasa sakit dengan luka-lukaku, aku terbius sampai hari ini belum siuman. Aku memohon terimalah lamaranku. Kamu akan aku bahagiakan Suster Nei" tiba-tiba pria paruh baya ini mendekatkan bibirnya ke telinga Neira membisikkan sesuatu.
"Atau katakan berapa harga ciumanmu itu? aku merindukannya lagi"
"Jangan kurang ajar pak, ingat! anda berhutang nyawa kepadaku. semua menyuruh meninggalkan anda karena harapan hidup tipis, tapi saya memilih menyelamatkan anda, saya hanya melihat wajah Ayahku! tidak lebih"
"Maaf, saya harus pergi. Selamat tinggal"
Neira tak bisa melangkah karena satu tangannya dipegang oleh Jenderal itu dengan erat.
Sebenarnya Bara juga memperhatikan Neira dari tadi karena menunggunya lama untuk datang menghampirinya.
"Siapa Pria itu? dia serius sekali berbicara dengan Nei" Ucap hati Bara. Ada rasa tak enak hati karena dia juga melihat tangan Neira yang berulang kali dipegang dan ditarik pria itu, meskipun pada saat kedekatan berbisik dan gerakan Neira tidak luput pula dari pandangan Bara, jadi Bara memutuskan untuk menghampiri Neira saja daripada menunggunya untuk mencari tahu.
Seperti biasa, seperti seorang superhero Flash dia seketika sudah berdiri di sebelah Neira tanpa mereka berdua sadari. Hanya tubrukan angin kencang yang tiba-tiba menghampiri mereka.
"Siapa dia?" Tanya Bara yang Neira lihat ada rasa memendam amarah.
"Ehm Hero, beliau Pak Jenderal yang pernah jadi korban perang, beliau kami selamatkan waktu itu. jadi beliau kemari untuk menyampaikan terima kasih"
Neira berbicara sangat cepat dan dengan gugup, karena kaget juga salah tingkah di hadapan Bara. Bagaimana kalau Jenderal itu mengatakan soal ciuman itu? sungguh Neira sangat takut dan pastinya akan malu.
"Pak jenderal, dia Hero yang aku ceritakan, namanya pangeran Bara, dia menguasai Badai" keduanya pun bersalaman, Bara yang memang melihat tatapan Bapak setengah tua ini sedikit curiga dan aneh. menyalaminya dengan kuat dan sedikit meremas tangan orang itu dengan tatapan tajam. Dia sungguh tak suka Neira dipegang-pegang orang lain, apalagi Bapak-bapak bau tanah ini.
"Ayo kita lanjutkan lagi latihannya," ajak Neira buru-buru segera ingin meninggalkan pak jenderal yang sudah agak gila ini, pikirnya.
"Suster Neira yang cantik, kita belum selesai. Soal ciumanmu itu ... aku akan mendatangimu lagi" Teriaknya dengan kencang.
"Mati aku, Hero pasti mendengarkannya, semoga ia tak berkata apa-apa, karena aku akan bingung mengucapkan apa untuk soalan itu."
"Ciuman? dia bilang apa?!"
"Oh ... dia bilang 'siuman' Hero, kamu pasti sudah lapar ya? ayok cepat kita kesana, kalau tidak, aku harus segera kembali. Ada banyak pasien yang siap diangkut ambulance hari ini untuk dipindahkan ke rumah sakit, atau aku tak bisa menemanimu" Tutur Neira mengalihkan apa yang di dengar Bara tadi.
"Fiuuu ... hh, selamat" bathin Neira sambil menggandeng tangan Bara karena untuk merayunya melupakan yang tadi.