Pria bermata biru itu berjalan menyusuri jalan setapak yang dikelilingi oleh pepohonan besar dan berlumut di kanan dan kirinya. Tak jarang terlihat tanaman perdu dan semak belukar, juga batu yang ditumbuhi berbagai macam jamur. Tapi bukan itu yang membuatnya tertarik. Melainkan cahaya matahari yang menerobos rimbunnya dedaunan, juga suara aliran sungai yang terdengar tidak jauh dari tempatnya berada saat ini. Ia tidak pernah menyaksikan hal seperti ini sebelumnya. Di tempat tinggalnya, yang biasa ia lihat hanyalah salju dimana-mana. Sungguh menakjubkan rasanya bisa menyaksikan pemandangan hutan yang tersapu cahaya mentari seperti yang dilihatnya saat ini.
Namun, ia segera menyadarkan diri dari keterpanaannya. Ia mendadak mengerutkan dahi bingung dan berpikir apa yang sebenarnya tengah terjadi? Mengapa ia bisa sampai di tempat asing ini? Ia pun menolehkan kepalanya ke belakang. Makhluk-makhluk hijau yang mengejarnya tadi bahkan sudah tidak terlihat sama sekali. Dan lagi, dimana pepohonan yang tertutup salju yang harusnya berada tepat di belakangnya?
"Dimana aku sebenarnya?" tanyanya pada diri sendiri. "Apakah cahaya itu yang membawaku ke tempat ini?"
Ia menghembuskan napas halus lalu kembali melanjutkan langkah kakinya yang sempat terhenti. Walaupun Ia tidak tahu kemana ia akan melangkah, setidaknya itu lebih baik daripada terus berdiam diri di tempat asing ini. Begitu pikirnya. Apalagi jika ia harus berhadapan dengan makhluk-makhluk yang menghuni hutan, ia tidak tahu seberapa buas mereka.
Sesaat berikutnya, sepertinya keberuntungan tidak sedang berada dipihaknya. Karena baru saja ia memikirkan kemungkinan buruk, hal itu benar-benar terjadi sekarang. Telinganya mulai mendengar suara geraman dari jarak yang cukup dekat. Ia segera mengambil pedang yang tersampir di pinggang kanannya lalu mengarahkannya ke segala arah sambil memegangnya erat tanda sudah siap akan apa pun itu yang menyerangnya.
Tubuhnya memutar perlahan, kuda-kudanya sudah memasang posisi siap siaga. Dan pada detik berikutnya, mata birunya menangkap sosok seekor harimau putih dengan ukuran besarnya yang terbilang tidak wajar—sedang berlari mendekat ke arahnya. Bola mata pria itu pun langsung terbelalak seketika, jantungnya juga mendadak berdetak begitu kencangnya. Bukan, bukan karena ia takut. Sejujurnya ia tengah panik lantaran bingung harus menyerangnya atau tidak. Masalahnya ia tidak pernah membunuh binatang sekalipun. Baginya mereka terlalu baik untuk dibinasakan. Ia takut salah langkah.
Dan akibat ia terus mengulur waktu karena ragu untuk menyerang, harimau itu kini sudah berada persis di hadapannya. Dia menggeram seperti sedang mencari titik lemah mangsanya. Pria itu pun bersiap akan serangan dadakan yang mungkin saja akan dilakukan harimau itu tidak lama lagi. Dan benar saja, harimau itu tiba-tiba melompat ke arahnya dengan begitu cepat. Untungnya, ia sempat berguling ke sisi lain dengan sigap dan terhindar dari cakaran mautnya.
"Hentikan!" serunya pada harimau itu. "Aku tidak ingin melukaimu."
Harimau itu menjawab dengan geraman yang semakin menjadi-jadi. Dia kembali berusaha menangkap mangsanya, namun selalu berhasil dihindari oleh pria itu. Tapi semakin lama, gerakan harimau itu semakin cepat dan buas. Membuat pria itu mulai kewalahan menghindarinya.
"Baiklah, Aident," katanya pada diri sendiri. "Jika musuhmu sudah sebuas ini, maka jangan ragu lagi untuk melawan."
Pria bernama Aident itu akhirnya tidak ragu lagi untuk menebaskan pedangnya dengan gerakan cepat ke arah sang harimau. Namun tidak seperti binatang pada umumnya, harimau itu terlihat memiliki kecerdasan yang diluar dugaan. Bak petarung handal, sang harimau berhasil menghindari tebasan demi tebasan pedang yang dilontarkan Aident padanya. Pria itu pun begitu terkejut mendapati hal itu. Dalam hatinya bertanya-tanya, bagaimana bisa seekor harimau bertarung layaknya ksatria atau pegulat handal? Itu mustahil!
Tapi kemudian Aident segera mengesampingkan hal itu dulu untuk sekarang. Kini ia mulai fokus mencari celah yang efektif untuk menyerangnya. Dan untungnya ia langsung mendapatkannya. Entah kenapa makhluk itu tiba-tiba meraung ke suatu arah, Aident menggunakan kelengahannya itu untuk segera menghunuskan pedangnya pada sang harimau.
Tapi lagi-lagi keberuntungan benar-benar tidak berpihak padanya. Saat tinggal seinci lagi pedangnya berhasil menusuk sang harimau, tiba-tiba saja sebilah anak panah berwarna coklat meluncur secepat kilat dan mendarat di lengan kanannya yang digunakannya untuk menopang berat pedang. Gerakan Aident pun terhenti. Ia meringis kesakitan. Darah segar mengalir di sepanjang lengannya ketika ia mencabut dengan kasar anak panah yang menancap itu.
Aident mengedarkan pandangannya, berusaha mencari sesuatu atau seseorang yang melontarkan anak panah itu padanya. Dan matanya menangkap sosok gadis dengan rambut ikal panjang berwarna pirang pucat, tengah berlari dengan begitu cepat ke arena pertarungan, lalu melompat menaiki tubuh sang harimau dengan sigap.
Aident terkesiap. Ia tidak bisa menyerangnya balik karena ia adalah petarung jarak dekat. Sementara gadis itu membawa busur juga sekantong anak panah di punggungnya, yang artinya dia adalah petarung jarak jauh. Aident berpikir panjang sebelum membalas serangannya. Mungkin sebelum ia sampai di jarak yang cukup untuk menyerangnya, sudah lebih dulu anak panah mendarat di jantungnya. Jadi, ia memutuskan untuk berlari. Lagi.
"Kejar dia, Leo!" Gadis itu berteriak entah pada siapa.
Aident berlari dengan sekuat tenaga. Rasa lelah sisa berkejaran dengan makhluk hijau tadi seolah sirna begitu saja. Ya, itu karena ia sedang dalam posisi terjepit saat ini. Setiap orang pasti akan tidak peduli dengan rasa lelah ketika sedang dikejar-kejar oleh pemanah handal yang menunggangi harimau besar dengan kecepatan lari yang mencapai 65 kilometer per jam. Dan bagaimana Aident menghindarinya? Tentu saja dengan melewati jalan setapak yang diapit oleh pepohonan dan semak-semak berduri. Itu cukup berhasil untuk memperlambat gerakan sang harimau, walaupun tidak untuk kecepatan panah milik penunggangnya. Untungnya Aident sudah cukup terlatih untuk bergerak gesit menghindari tembakan-tembakan anak panah itu.
Dan akhirnya, kini Aident berhasil menghilangkan jejak dari mereka. Setelah memastikan mereka tidak terlihat lagi di belakangnya, Aident berhenti sejenak sambil mengambil napas. Ia baru sadar kalau saat ini ia benar-benar lelah dan hampir kehabisan napas. Wajahnya pucat dan pandangannya mulai kabur. Tapi sebelum ia pingsan, ia segera mendudukkan tubuhnya sambil bersandar di bawah pohon untuk menormalkan deru napas dan juga detak jantungnya.
Aident menatap sekitar, saat ini ia berada di area yang sudah jarang pepohonannya. Ia pun melanjutkan langkahnya tidak tahu entah kemana. Ia benar-benar buta dengan hutan ini. Sampai beberapa jam kemudian, ia tiba di suatu tempat yang membuatnya ternganga lebar.
Di hadapannya kini terbentang gedung-gedung tinggi berdempetan, juga jalan berwarna hitam yang dilalui banyak sekali kendaraan berupa besi beroda yang melaju begitu cepat.
"Oh, Tuhan ... Apakah aku sudah mati? Apakah ini yang namanya surga?" gumamnya takjub.
•••
Seorang gadis berambut ikal panjang dengan warna pirang pucat, ia merutuk sebal karena telah kehilangan jejak mangsa buruannya. Ia segera melompat turun dari tubuh harimau putih besar yang ia panggil Leo, lalu menyampirkan busurnya di bahu dengan agak kasar. Matanya menatap geram pada jalan setapak tempat menghilangnya pemuda yang hampir saja melukai Leo jika ia tidak segera datang.
"Sial!" rutuknya sambil memukul kencang batang pohon di sisi kanannya. "Kita kehilangan makan siang untukmu, Leo."
Leo hanya menggeram seperti menyetujui perkataannya.
Gadis itu berbalik dan memandang Leo teduh. Ia membelainya dengan lembut dan hangat seolah tidak mau berpisah darinya.
"Oh, Leo ...," gumamnya sambil memeluk Leo. "Kalau saja tadi aku terlambat datang, aku pasti akan kehilangan dirimu. Aku tidak tahu apakah aku sanggup merasakan kehilangan untuk yang kedua kalinya."
Leo mendengkur lembut seperti turut senang serta merasakan haru yang tengah dirasakan gadis itu.
"Kau tenang saja, aku berjanji akan menghabisi manusia mana pun yang memasuki wilayah kita. Aku akan membalaskan dendammu, dendam kita," katanya lagi. Mata birunya tampak berkilat penuh dendam.
Gadis itu kemudian kembali menaiki tubuh Leo.
"Ayo! Antar aku ke perbatasan!" perintahnya." Aku akan mencuri makanan juga beberapa pakaian di kota."
Leo menggeram-geram marah pada gadis itu seolah tidak setuju dengannya.
"Hei, tenanglah!" seru gadis itu. "Mencuri atau menipu manusia tidak berperasaan seperti mereka bukanlah suatu hal yang salah. Kau tenang saja, aku akan berhati-hati. Lagi pula aku 'kan sudah biasa melakukan ini."
Leo kemudian menggeram dengan volume lebih rendah. Ya, ia akhirnya menuruti perkataan gadis itu dan mengantarnya hingga perbatasan antara hutan dan kota.
Suasana sunyi sepi menyelimuti keduanya di sepanjang perjalanan. Ya, memang jarang sekali orang yang berkeliaran di hutan ini, bahkan di perbatasan pun begitu. Sepertinya para manusia di era sekarang tidak terlalu tertarik berkeliaran di hutan. Mereka pasti sangat sibuk mengurusi urusan masing-masing di kota. Tapi syukurlah, dengan begitu sang gadis penunggang harimau tidak perlu cemas harimaunya akan diburu oleh orang-orang jahat itu.
Setelah tiga puluh menit perjalanan, kini akhirnya mereka telah tiba di perbatasan. Gadis itu pun segera turun dari tubuh Leo. Ia menatap harimau itu sekilas, mengisyaratkan padanya untuk langsung pergi dari sini sebelum ada yang melihat. Dan ya, tanpa disuruh dua kali Leo langsung berlari cepat memasuki hutan, hingga tak tampak lagi oleh mata biru gadis itu.
Setelah memastikan Leo sudah aman, gadis itu mulai berbalik dan berjalan mengendap-endap di sebuah perkebunan dekat hutan. Tidak, ia mengendap bukan karena ingin mencuri di tempat ini. Melainkan karena ia tidak ingin orang lain tahu kalau ia baru saja keluar dari hutan. Dan seperti biasa, ia selalu berhasil melewatinya.
Tiga puluh menit lagi berlalu, kini ia sudah memasuki wilayah kota yang menjajarkan bangunan-bangunan tinggi di sepanjang jalan. Mulai terlihat banyak manusia berkeliaran di sekitar sini. Gadis itu pun buru-buru mengenakan tudung di kepalanya. Jangan tanya mengapa ia memakai tudung, ia hanya ingin menghindar menjadi pusat perhatian banyak orang. Masalahnya ia tengah berada di kerumunan manusia yang rata-rata memiliki rambut hitam juga warna mata gelap. Pastinya warna rambut dan matanya yang terang akan menjadi sorot jika ia membiarkannya terbuka. Ia tidak mau hal itu terjadi. Rasanya sangat risih dan menjengkelkan.
Kini, gadis itu sudah tiba di sebuah pasar yang sangat padat manusia. Melihat hal itu, ia tersenyum penuh maksud. Ia kemudian berjalan berdesakan dengan mereka. Matanya awas menelusuri benda yang tergantung di bahu para wanita paruh baya, atau saku celana para pria. Gadis itu menggunakan instingnya untuk menebak yang manakah yang memiliki isi paling banyak. Dan kini ia mengincar seorang lelaki paruh baya yang terlihat habis memberikan uang pada penjual emas. Sorot mata tajamnya sempat menangkap kalau ada banyak lembaran kertas berwarna merah di dompet milik pria itu yang saat ini tengah di kantunginya di bagian belakang celananya.
'Hmm ... mangsa yang ceroboh,' batinnya.
Gadis itu segera berjalan menyusul incarannya. Setelah berada tepat di belakangnya, ia berpura-pura menabraknya hingga tubuhnya sedikit tersungkur ke samping. Dan di kesempatan itulah tangannya mengambil dompet yang berada di kantung belakang celana pria itu dengan gerakan cepat nan halus.
"Maafkan aku, Pak," ucapnya berpura-pura. Tangannya dengan cepat mengantongi dompet itu ke dalam saku jaketnya.
"Gunakan matamu kalau jalan!" seru pria itu marah.
'Cih, dasar manusia tidak berperasaan!' batinnya. 'Kau pantas mendapatkan ini, Pak!'
"Maafkan aku," kata gadis itu lagi terus bersandiwara. "Aku terdorong orang-orang."
Pria itu tidak menjawab, lantas pergi begitu saja tanpa menyadari ada barangnya yang hilang. Gadis itu pun tersenyum sinis. Ia buru-buru pergi dari kerumunan orang-orang di pasar, mencari tempat sepi untuk mengecek isi dompet yang baru saja di dapatkannya.
Ia berhenti di bawah pohon rindang di pinggir trotoar. Ia melihat ke kanan kirinya sebelum membuka dompet yang ia curi. Setelah memastikan situasi cukup aman, ia segera membukanya. Mulutnya pun langsung dibuat ternganga oleh isinya.
"Banyak sekali ...," gumamnya sambil melihat pundi-pundi uang berwarna merah yang cukup tebal. Ia kemudian mengambil semua uang itu, lalu membuang dompetnya asal. "Aku dan Leo bisa makan enak untuk beberapa hari ke depan."
Ia kemudian melangkah menyeberangi jalan dan memasuki sebuah restoran Steak. Ia mendorong pintu kaca bergambar daging berwarna merah kecokelatan yang disajikan di sebuah piring dengan cantik.
Saat tiba di dalam, ia bertanya pada sang penjaga kasir. "Bisakah aku memesan daging mentah di sini?"
Gadis penjaga kasir itu mengerutkan alisnya bingung. Lalu ia menjawab dengan 'ramah', "Maaf, Nona. Kami memang menjual aneka Steak di sini, tapi tidak untuk daging mentah. Untuk itu, saya menyarankan anda untuk membelinya di supermarket atau pasar."
'Sok ramah! Padahal berhati busuk!' rutuk gadis penunggang harimau dalam hati.
"Baik kalau begitu. Permisi."
Ia pun melangkah pergi, tapi telinga tajamnya masih dapat mendengar suara tawa cekikikan mengejek dari arah sang penjaga kasir. Ia berdecak kesal sambil bergumam, "Busuk, tetaplah busuk! Dasar manusia menjijikkan!"
Ia kemudian berbalik arah ke pasar yang tadi. Kali ini suasananya sudah lebih sepi. Ia menghela napas lega mendapati hal itu. Setidaknya ia tidak perlu berdesakan dengan para manusia yang amat sangat dibencinya. Tidak mau membuang waktu lagi, ia pun segera membeli banyak daging mentah untuk makanan Leo. Ia juga tak lupa membeli beberapa makanan untuk dirinya sendiri.
Setelah selesai dengan urusan makanan, gadis itu berjalan melangkah pulang dengan hati gembira. Ia bersenandung pelan sambil memandang ke arah seberang jalan yang ada di sisi kanannya. Tapi kemudian, matanya menangkap sosok pria yang familiar baginya. Dia terlihat sedang berlari di trotoar seberang sana.
"Pria itu ...," gumam gadis itu menerka-nerka. Matanya pun langsung melebar setelah berhasil mengingat siapa orang itu. "Dia pria yang tadi menyerang Leo tadi! Aku harus kesana dan menghajarnya!"
Gadis itu kemudian berlari menyeberangi jalan dan mengejar pria itu. "Hei, kau! Kau yang tadi hampir menyakiti Leo, berhenti!"
Pria itu menoleh ke belakang dan terkejut saat melihat gadis hutan penunggang harimau raksasa yang mengejarnya di hutan beberapa jam lalu. Tapi ia tidak segera menghentikan pacuannya. Karena kini, ia sedang sibuk berkejaran dengan makhluk-makhluk hijau yang kini terlihat berada di belakang gadis itu.
"Hei! Kau berani mengacuhkanku?! Kau pikir kau bisa lari dariku?! Jangan harap!" Gadis itu kembali berseru.
Pria itu alias Aident, ia menoleh pada gadis itu lalau menjawab singkat, "Maaf, aku akan bicara denganmu nanti! Sekarang aku harus lari dulu! Ini sangat genting!"
"Apa?! Dasar manusia tidak bertanggung jawab! Tidak tahu diri! Berhenti kubilang!" seru gadis itu semakin marah. Ia bahkan mempercepat langkah pacuannya untuk menyusul Aident.
Aident melirik ke belakang sekali lagi, saat itu, wajahnya seketika menegang. "Tidak sekarang, Nona! Tolong mengertilah!"
"Oh, dasar pengecut! Kau sampai tidak mau berhenti karena takut padaku!"
"Jangan terlalu cepat menyimpulkan. Aku bahkan sudah berlari sebelum kau mengejarku!"
Gadis itu berhenti sejenak untuk mengambil napas. 'Benar juga,' batinnya. 'Kalau begitu dia berlari dari apa?' Gadis itu kemudian menolehkan kepalanya ke arah belakang, dan matanya pun langsung terbelalak sempurna begitu melihat hal mengerikan yang ternyata membuat pria itu berlari terbirit-birit.
"Ma-makhluk apa itu?!" serunya terkejut.
Lima makhluk bertubuh hijau besar dan berotot dengan taring tajam yang mengerikan menatapnya murka. Gadis itu yang tidak tahu harus berbuat apa, ia memutuskan untuk kembali berlari menyusul Aident.
"Hei, tunggu!" serunya lagi sambil berlari.
Setelah ia berhasil menyejajari langkahnya dengan Aident, ia segera bertanya dengan napas yang memburu, "Makhluk apa mereka?!"
Mendengar pertanyaan itu, mata Aident langsung terbelalak seketika.
"K-kau bisa melihatnya?!" serunya tidak percaya. Tak sadar ia menghentikan pacuan kakinya dan menatap gadis di hadapannya ini dengan air muka yang tegang bukan main.
•••