Pemikiran itu membawa Tommy ke masalah hubungan suami istri mereka. Ia sangat tahu seksualitas dalam diri Sherly selalu menggebu-gebu ketika ia menggoda wanita itu. Bahkan ketika dia senang ingin, Sherly tidak peduli meski suaminya itu sedang kelelahan atau tidak. Pokoknya dia akan tetap menuntut dan meminta Tommy untuk menuntaskan hasratnya.
Dan sekarang setelah punya usaha warung makan, Sherly tidak pernah sama sekali meminta suaminya lagi untuk bercinta. "Kenapa? Apa karena dia lelah dengan kesibukkannya sekarang? ini?" batin Tommy, "Tidak, itu tidak mungkin. Pasti karena ada seseorang yang telah mengalihkan pikirannya sampai dia seperti itu."
Keputusan Tommy pun sudah bulat. Karena tidak ingin menimbulkan masalah akibat kecurigaannya yang belum tentu benar terhadap sang istri tercinta, ia pun menepiskan semua pikiran-pikiran itu dari dalam benaknya. Ia tahu jika pikiran itu menguasainya, sudah pasti ia dan Sherly akan bertengkar. Lagi pula Sherly kan sudah bilang, kalau Denny itu adalah langganannya di warung makan dan lelaki itu akan membantunya untuk bertemu juragan ikan.
Tommy menepikan mobilnya tepat di depan warung makan. Sherly yang sedang berbicara dengan salah satu pekerjanya pun langsung menoleh ketika melihat mobil suaminya sudah terparikir. Ia tersenyum lebar dan segera menyambut Tommy kemudian menawarkan minuman, seakan-seakan pria itu adalah tamu di warungnya.
Tommy yang melihat ekpresi Sherly yang begitu bahagia saat menyambutnya tampak menyesal, karena sudah berpikiran yang tidak-tidak. Tapi hal itu tidak mengubah keputusan Tommy. Ia pun menarik kursi dan duduk menghadapi istrinya.
"Katanya nanti siang, tapi kok datangnya pagi begini?" tanya Sherly dengan senyum yang lebar saat meletakkan secangkir kopi hitam untuk suaminya.
Tommy meraih cangkir itu lalu menyesap isinya sambil menatap Sherly dari balik cangkir, seakan ingin menemukan sesuatu yang aneh di mata Sherly. Karena tidak menemukan kelainan apa-apa dengan sikap atau mata Sherly, ia pun mengetes istrinya itu dengan berkata, "Kita akan pulang besok ke Sulawesi."
Ekspresi Sherly kontan berubah. "Besok? Kenapa harus besok? Bukannya proyekmu belum selesai?"
"Aku merindukan anak-anak. Apakah kau sama sekali tidak merindukan mereka?"
"A-aku juga merindukan mereka. Tapi karena mereka bersama Mama dan Mami, aku jadi tidak perlu merasa khawatir terhadap mereka." Sikap gugup Sherly sempat direkam suaminya.
Tommy berdecak. "Lucu ya? Masa seorang Ibu sama sekali tidak merindukan anaknya."
Merasa tersinggung dengan perkataan Tommy, Sherly pun dengan cepat menjawab, "Baiklah, kalau begitu besok kita pulang. Tapi," katanya pelan, "bagaimana dengan proyekmu, Sayang? Bukannya pekerjaan itu tidak lama pagi selesai? Kenapa tidak menunggu sampai pekerjaanmu selesai saja, Tom?"
Pria itu menyesap lagi kopinya. "Proyek ini masih lama selesai. Lagi pula ada Andin kok yang akan menanganinya. Aku rasa tidak akan rugi jika aku memberikan lima puluh persen untuknya. Kau tidak marah, kan? Aku hanya ingin pulang untuk melihat anak-anak. Aku sangat merindukan mereka."
"Andin? Kenapa harus dia?"
"Karena hanya dia yang bisa menggantikan posisiku sementara."
"Biasa juga Andrew, kan?" Nada Sherly terdengar kesal.
"Dia sedang sibuk dengan pekerjaan lain. Lagi pula Andin sekarang yang telah menggantikan profesi ayahnya. Jadi karena Andrew sibuk dengan pekerjaannya, aku bisa menawarkan pekerjaan ini untuk Andin ketika dia sedang lowong."
"Tapi kenapa harus dia?" Suara Sherly semakin meninggi. "Apa kau tidak bisa menunggu sampai proyeknya selesai saja baru kita pulang, daripada kau harus menyuruhnya ke sini?"
Tommy menyeringai. Entah kenapa kecurigaannya semakin kuat. "Aku sudah sangat merindukan anak-anak, Sherly. Aku juga sudah menghubungi Andin kok dan dia tidak keberatan. Besok pagi dia tiba di sini dan kita akan mengambil penerbangan malam, karena dari pagi sampai sore aku akan sibuk menjelaskan semuanya pada Andin apa yang harus dia kerjakan."
Sherly semakin kesal. "Aku tidak suka wanita itu, Tommy. Aku tak peduli meski dia temanmu, tapi kau tahu sendiri kan kalau sejak dulu aku memang tidak suka padanya."
"Jadi bagaimana, kau setuju kan kalau kita pulang besok?"
Sherly mengendus kasar. "Baiklah, tapi hari ini mungkin aku akan pulang sedikit larut. Aku harus membereskan semuanya dulu, karena selama kita pulang tempat ini akan aku tutup."
"Tidak perlu, Sayang, warung ini tetap akan dibuka. Kau hanya tinggal mengarahkan pada mereka sesuai aturan yang kau buat. Soal omsetnya kau bisa menyuruh orang kepercayaanmu untuk mengirim tunai."
"Iya, Sayang, tapi itu semua tidak memakan waktu yang cepat. Aku harus mengajarkan beberapa teknik dan lain sebagainya pada mereka kepala koki agar rasanya tetap sama dengan resepku."
"Ya sudah, kalau begitu kamu atur saja," kata Tommy lalu berdiri, "Aku lokasi dulu, ya." Ia menghampiri Sherly dan mencium dahinya seperti biasa.
Sherly pun mengantar suaminya sampai di depan ruko. Wajahnya cemberut saat melihat mobil Tommy sudah melaju meninggalkan warung. Dengan cepat ia pun masuk ke dalam ruko dan mengambil ponsel dari dalam tasnya. Setelah menemukan nama yang akan dihubunginya, Sherly menekan radial kemudian menempelkan ponselnya ke telinga. "Halo, kau di mana?" tanya Sherly begitu panggilannya terhubung. "Oke, aku ke sana sekarang, ya."
Di sisi lain.
Tommy yang masih dalam perjalanan menuju lokasi pun tiba-tiba teringat sesuatu. Karena besok ia akan pulang ke Sulawesi dengan waktu yang cukup lama, ia pun ingin memesan nasi kotak untuk makan siang bagi semua pekerja proyek. Diraihnya salah satu ponsel di depannya untuk menghubungi Sherly. Ia menempelkan benda itu di telinga dan menunggu sampai panggilannya direspon.
Namun sudah berapa kali Tommy menggubungi kontak Sherly, tapi tidak ada satupun panggilannya direspon. Takut kalau-kalau Sherly akan semakin sibuk, Tommy pun memutar balik mobil untuk menuju warung makan Sherly, sekaligus menunggu saja agar sekalian membawa makanan itu untuk para pekerjanya.
Meski sedang menyetir dengan kecepatan normal, tiba-tiba matanya terbelalak.saat melihat mobil Sherly berpapasan dengan mobilnya. "Ke mana dia?" kata Tommy sambil terus menatap mobil Sherly yang melaju dengan kecepatan tinggi. Ia pun memutar balik mobilnya lagi untuk mengejar mobil Sherly.
Entah kenapa rasa curiga itu terlintas lagi dalam pikirannya. Jatungnya bahkan berdetak cukup cepat saat memikirkan semua itu. Tommy mengambil ponselnya lagi untuk menghubungi Sherly, namun hasilnya masih tetap sama seperti tadi.
Brak!
Kesal karena panggilannya tidak direspon, Tommy melemparkan ponselnya secara kasar ke depan kaca mobil kemudian menginjak pedal gas untuk menambah laju mobilnya. Jarak mobilnya dan Sherly tak terlalu jauh. Ada beberapa mobil yang menghalangi mobilnya, tapi itu tidak masalah karena bagi Tommy itu sangat aman agar Sherly tak tahu jika dia dibuntuti.
Tak berapa lama mobil Sherly akhirnya berhenti tepat di sebuah Dealer motor yang ada di kota itu. Tommy segera menepikan mobilnya dengan jarak yang tak terlalu jauh dari tempat Sherly memarkirkan mobil. Tommy sengaja memarkir mobilnya di antara mobil box dan mobil sedan agar Sherly tak dapat melihat mobilnya.
Dilihatnya sosok lelaki bertubuh pendek dengan pakaian ala-ala tukang bengkel sedang mendekati mobil Sherly. Mata Tommy menyipit untuk melihat siapa pria ituz tapi sosok dari wajah lelaki itu tidak jelas. Tommy terus memperhatikannya dan melihat interkasi antara Sherly dan lelaki yang tidak asing baginya.
"Denny?" kata Tommy saat lelaki itu menghadap ke arahnya. "Oh, jadi Denny kerja di situ," kata Tommy lagi, "Tapi ada urusan apa dia sampai harus menemui Denny di tempat ini?" Ia terus memperhatikan gerak-gerik mereka.
Karena tidak ada kecurigaan yang timbul dalam pembicaraan antara Sherly dan Denny, ia pun merasa bersalah sampai tiba-tiba Tommy melihat sosok Denny berlari menyeberang jalan dan masuk ke tempat kerjanya.
Tommy membuang napas panjang. Lagi-lagi ia menyesal karena sudah berpikir buruk tentang istrinya. Padahal mungkin Sherly hanya akan menggati ban mobil atau apa. Ia bahkan sampai mengejar dan membuntuti mobil Sherly saking cemburunya. "Maafkan aku, Sayang. Aku hanya terlalu cemburu," lirih Tommy.
Namun raut wajah menyesal itu tiba-tiba memudar ketika melihat Denny yang sudah melepaskan pakaian kerjanya lalu menyeberang jalan hingga masuk ke dalam mobil Sherly. Yang lebih mengherankan lagi bahwa Denny masuk ke balik pintu kemudi untuk menyetir mobil Sherly.
Continued___