Bukit-bukit menjulang tinggi di desaku. Orang bilang, mereka dulunya adalah dasar laut. Karena proses alam yang mengagumkan, mereka terangkat ke atas dan sekarang menjadi gugusan puncak yang begitu indah.
Barisan bukit itu membentang luas hingga ke berbagai daerah. Kebanyakan masih perawan. Kau akan terpana jika melihatnya. Dan suatu saat, kau harus melihatnya sendiri.
Aku tinggal di suatu wilayah di Jawa Tengah. Desaku adalah awal dari hamparan perbukitan itu. Bisa dibilang pintu masuk ke bagian pedalaman.
Meski wilayah kami merupakan wilayah dengan tingkat kemiskinan tertinggi di Jawa Tengah, namun kami hidup layaknya manusia lain di negeri ini.
Kami sudah memiliki televisi - meski tak dapat menangkap siaran tv selengkap milik kalian. Di beberapa desa hanya bisa menangkap stasiun swasta RCTI dan Indosiar. Di desa lain hanya SCTV dan TVRI. Kadang pula harus bergiliran dengan stasiun TV lokal. Yah, bahkan kabupaten kami sudah memiliki stasiun TV sendiri. Biasanya siaran mulai sore hari.
Dan seperti halnya penduduk lain, kami juga bisa menikmati sinyal ponsel - meski hanya satu operator seluler. Tower-nya terletak di dekat balai desa.
Kami juga sudah mengenal berbagai produk peradaban seperti kalian. Rental komputer dan wartel sudah ada di desa.
Tapi bagaimanapun juga, kami tetaplah warga desa tertinggal. Bisa menikmati fasilitas hampir sama dengan kota, namun wilayah kami tetap tak semaju daerah lain. Atau setidaknya kami merasa begitu.
Dan sebagai layaknya seorang manusia, entah di desa atau kota, kami juga merasakan cinta. Dan cinta pertamaku itu berawal di desa ini. Desa yang dipenuhi perbukitan indah ini. Bahkan cinta kami juga bersemi di puncak-puncaknya.
Akan kuceritakan kisah cintaku itu. Untaian masa lalu yang takkan pernah kulupa. Semua berawal ketika aku masih kelas satu SMP.
****
Tahun 2006
Aku pulang sekolah saat hujan deras baru saja berhenti turun. Kabupaten kami memiliki curah hujan tertinggi di Jawa Tengah. Sering mendapatkan julukan Bogor-nya propinsi ini.
Jalanan masih basah. Dan udara dingin masih terasa. Untung air langit itu cukup pengertian hari ini. Berhenti saat jam pulang sekolah.
Biasanya mereka turun tanpa jadwal. Kapanpun mau turun, maka turunlah. Tak peduli pagi, siang, atau malam.
Kami sudah terbiasa dengan itu. Berbasah-basahan ketika pulang sekolah, berangkat sekolah, atau ketika pergi ke manapun bukan hal yang asing lagi.
Dan kami menyukainya. Karena kalau hujan tak turun, sawah-sawah tak mendapatkan air. Kebanyakan sawah di sini masih tadah hujan. Dan beberapa mata air - terutama di perbukitan, akan kering jika hujan tak turun.
Seperti biasa, aku pulang bersepeda bersama teman-teman. Sekolahku terletak di pusat kecamatan yang berjarak sekitar empat kilometer dari desa.
Hanya itu SMP negeri yang tersedia di sini. Ada juga sekolah SMP dan SMA swasta di desaku. Juga sebuah pondok pesantren yang cukup besar dan dikenal hingga ke luar daerah. Namun kebanyakan murid ingin bersekolah di sekolah negeri.
Dan saat SMA nanti aku harus ke kota kabupaten. SMA negeri yang bagus hanya berada di sana. Di Kecamatan tak ada.
Jalan pulang terasa ringan karena menurun. Tak perlu susah-susah mengayuh. Pusat kecamatan dan sekolahanku terletak di sebuah kaki perbukitan yang cukup tinggi.
Kalau berangkat di pagi hari, kami harus kuat-kuat mengayuh. Jalanan utama memang sudah beraspal, namun kadang berlubang di sana-sini. Terutama jalan yang mengarah ke pedalaman. Dan di pedalaman sana, jalanan masih terjal berbatu.
Sebenarnya sudah banyak angkutan umum mini bus yang berangkat dari desa kami. Menuju ke pusat kecamatan, beberapa daerah pedalaman, dan ke kota kabupaten. Namun kami para murid lebih memilih bersepeda. Mengirit biaya.
Jika di kebanyakan kota sudah begitu riuh dengan kendaraan bermotor - dan mendambakan transportasi sepeda dan berjalan kaki seperti di Jepang, maka mereka harus melihat ke desa kami.
Ketika jam berangkat sekolah, jalanan di sini akan dipenuhi oleh sepeda kayuh. Kebanyakan adalah para pelajar dan petani! Cukup banyak juga pelajar yang berjalan kaki menuju pusat desa untuk naik angkot.
Sepeda kayuh memang masih menjadi transportasi utama di sini. Sepeda motor cukup banyak, namun hanya beberapa saja yang memilikinya.
Lagipula, sepeda motor akan kesusahan menaiki perumahan padat di lereng bukit yang curam. Yah, bahkan di pedesaan seperti ini, perumahan di lereng bukit sangatlah padat. Mirip di kota. Dan tak menyisakan jalan yang nyaman untuk sepeda motor. Apalagi mobil.
Pemilik kendaraan roda empat di desa ini masih bisa dihitung dengan jari. Hanya mereka yang benar-benar kaya atau pegawai pemerintahan saja yang memilikinya.
Kami juga masih mengandalkan transportasi andong meski sudah tak banyak lagi. Cukup nyaman bagi mereka yang ingin berbelanja ke kota.
Sampai di perempatan pusat desa, aku berbelok kiri. Sementara teman-teman mengambil arah lain. Beberapa sudah sampai di desa masing-masing sebelumnya.
Setelah berbelok, aku melewati sebuah rumah tua. Yaitu rumah salah seorang sesepuh desa kami. Letaknya di dekat balai desa, sekolah SD dan TK, dan juga masjid.
Biasanya rumah itu sepi karena anak-anak sang sesepuh merantau semua. Yah, kebanyakan penduduk desa ini memang merantau ke kota. Hanya tinggal golongan tua dan anak-anak sekolah saja yang tertinggal.
Namun siang itu, kulihat ada banyak orang di teras rumah sang sesepuh. Sebagian berjalan-jalan di halaman dan sebagian menuju keluar.
Orang-orang asing. Belum pernah kulihat sebelumnya. Masih muda. Dan sangat mengherankan ada orang-orang seusia mereka di desa ini. Mereka saling bercanda dan tertawa. Siapakah mereka?
Sekitar lima puluh meter dari rumah itu, beberapa orang berhenti di jembatan. Itu adalah sebuah jembatan di atas sungai besar yang membelah desa kami. Mungkin dibangun sejak jaman Belanda.
"Ada apa?" tanyaku pada orang-orang itu. Kebanyakan adalah ibu-ibu yang memang tinggal di dekat jembatan.
"Biasa Put, meluap lagi!" jawab salah-satu dari mereka.
Kuamati sungai itu, dan tampak meluap seperti biasanya sehabis turun hujan deras.
"Kali ini agak tinggi, Put!" imbuh ibu-ibu yang lain, "Hati-hati, semoga jembatan ini tak roboh!"
Aku menghentikan sepeda di ujung jembatan dan mengamati airnya. Memang meluap cukup tinggi.
Beberapa kali, sungai ini banjir hingga airnya meluap ke rumah-rumah sekitarnya. Padahal permukaan air sungai ini berada jauh di bawah sana jika normal.
Kalau meluap, bisa naik hingga enam atau tujuh meter barangkali. Dan hari ini memang tampak cukup mengkhawatirkan.
Arusnya cukup deras. Berwarna coklat kental. Katanya gara-gara banyak penebangan hutan di bagian hulu - di pedalaman sana, yang menyebabkan sungai ini sering banjir.
Saat tengah asyik menonton sungai meluap, tiba-tiba dari arah belakangku datang orang-orang asing tadi. Mereka berjalan bergerombol menuju ke sini.
Aku menatap ke belakang dan sedikit panik. Orang desa memang sering ketakutan ketika melihat orang asing. Apalagi seorang gadis yang masih perawan sepertiku.
"Siapa mereka, Bu?" tanyaku sedikit gemetar seperti melihat hantu kepada ibu-ibu.
"Ohh, katanya mahasiswa KKN. Baru datang pagi tadi."
Aku segera mengayuh sepedaku pergi. Orang-orang itu semakin mendekat. Dan aku ketakutan. Aku bahkan tak berpamitan pada ibu-ibu. Sepedaku pun berjalan sedikit oleng. Mungkin karena grogi.
"Hati-hati, Put!" seru seorang ibu-ibu.
Tak kubalas seruan itu dan terus kukayuh sepeda dengan panik. Orang-orang asing yang katanya mahasiswa KKN itu tampak terpukau melihat sungai yang meluap. Rupanya mereka sengaja datang ke jembatan itu untuk melihatnya.
"Banjir ya, Bu?" kudengar salah seorang dari mereka bertanya.
"Belum, hampir Mbak! Tapi untungnya belum! Semoga tidak!"
Aku mengayuh sepeda sambil sesekali menoleh ke belakang. Mengamat-amati orang-orang yang tampak senang melihat sungai hampir banjir itu. Apakah di tempat mereka tak ada sungai? Dan tak ada yang banjir?
Mereka pun tak mempedulikanku. Sibuk melihat sungai. Beberapa mengambil gambar sungai dengan kamera digital dan juga sebuah - sepertinya kamera handycam.
Mereka pasti dari kota! Orang desa seperti kami tak mengenal perangkat itu. Kamera rol film saja tak ada yang punya. Mungkin hanya beberapa yang benar-benar kaya dan para pegawai. Ponsel berkamera juga belum ada. Waktu itu ponsel masih jadul dengan kemampuan untuk menelepon dan SMS saja.
Beberapa ratus meter kemudian, aku sampai di rumah. Setelah membersihkan diri dan makan siang. Kuhabiskan waktu di kamar.
Entah kenapa, aku kembali terngiang-ngiang pada orang-orang tadi. Sungai banjir bukan hal mengagetkan bagiku. Tapi orang asing, tentu mengusik pikiranku!
"Mbak Putri sudah pulang!" sapa Maya menyelonong masuk ke kamarku.
Ia adalah sepupuku yang masih kelas 3 SD. Datang seperti biasanya bersama Indah, sepupuku juga yang masih kelas 5 SD. Mereka adalah anak dari paman-paman dan tante-tanteku yang tinggal di samping rumah.
Aku juga memiliki seorang kakak perempuan bernama Nisa. Kelas satu SMA. Dan tampaknya ia belum pulang. Kalau sudah pun, biasanya juga cuma mendekam di kamar. Tipikal gadis desa.
Maya dan Indah bermain di kamarku yang cukup sempit. Mereka memang saudara sepupu yang paling akrab denganku. Mungkin karena sifatku sendiri yang masih kekanak-kanakan. Kami pun bermain boneka dan gambar bongkar pasang.
*
Pagi harinya, seperti biasa, aku bersepeda untuk pergi ke sekolah. Kak Nisa sudah berangkat terlebih dahulu. Ia bersekolah di SMA yang terletak di dekat kecamatan juga. Namun kami tak pernah berangkat bersama.
Aku tak ingin melanjutkan ke SMA itu. Cita-citaku ingin masuk ke SMA di kabupaten yang lebih bagus. Meski tak pintar-pintar amat, namun syukurlah aku bisa masuk ke SMP terbaik di kecamatan ini. Semoga aku juga bisa meneruskan ke SMA terbaik di kabupaten. Lalu - jika ada biaya, mungkin bisa melanjutkan kuliah!
Masih jarang sekali orang desa yang berkuliah! Kebanyakan akan bekerja merantau selepas SMA atau SMP. Bahkan banyak yang jadi TKW di luar negeri.
Indah sendiri, sepupuku itu, kelahiran Malaysia. Ia lahir sewaktu ibunya bekerja di sana sebagai pembantu. Dan beberapa tahun lalu, mereka kembali ke Indonesia.
Saat melewati rumah sesepuh desa, kembali kulihat orang-orang yang katanya mahasiswa KKN itu. Mereka tampak bermain-main di halaman. Sebagian menyapu. Dan sebagian memasang plakat bertuliskan 'Pondokan Mahasiswa KKN' di pohon.
Kebanyakan dari mereka adalah perempuan. Dan sepertinya mereka belum mandi. Mahasiswa apaan itu? Apa mahasiswa memang kerjanya main-main begitu? Belum mandi pula jam segini!
Beberapa di antaranya mengamati kami para pelajar yang bersepeda. Aku malu bukan main dipandangi orang asing begitu. Segera kualihkan pandang ke depan dan menggenjot sepeda lebih kencang. Lagi-lagi sepedaku hampir oleng!
Dan kulihat ada yang ganteng di antara mereka. Kutoleh lagi ke kebelakang. Dan orang ganteng itu memandangiku balik. Ah! Gawat! Aku segera bergegas melanjutkan perjalanan! Orang itu melihatku! Mungkin terheran-heran melihat orang desa dan udik seperti aku!
Di sekolah, entah kenapa, aku justru memikirkan orang itu. Siapakah namanya? Berasal dari mana? Mahasiswa dari kampus mana? Ah, kenapa aku jadi kepikiran terus?
Lelaki di sekolah ini sudah bosan kulihat semua. Wajahnya rata-rata. Ada pula yang ganteng. Namun kegantengan ciri khas orang desa. Dan mereka biasanya sudah dikerubuti gadis-gadis ganjen. Perawan desa sekarang sudah mulai berani.
Dan aku? Tentu mereka tak melirikku. Wajahku pas-pasan. Cantik tidak, pintar tidak, kaya juga tidak. Masih kekanak-kanakan, iya! Tak ada yang menarik dari diriku di mata lelaki! Dan aku memang belum memikirkan lelaki.
Kata temanku, ada seorang siswa dari kelas lain yang menyukaiku. Tapi aku tak begitu menanggapinya. Orangnya biasa saja. Tipikal orang desa yang tampaknya suka kerja keras, mungkin! Dan ia pun tak begitu mengejar-ngejarku seperti layaknya orang jatuh cinta. Lelaki desa kebanyakan masih malu-malu.
Pulang sekolah, tak kulihat lagi orang-orang yang katanya mahasiswa KKN itu. Rumah sang sesepuh terlihat sepi. Kemana mereka? Kemana si ganteng itu?
Dan aku pun pulang dengan kecewa. Merasa sedih tak bisa melihat mereka lagi. Mungkin begitulah sifat orang desa. Ketakutan melihat sesuatu yang baru, namun sedih jika tak bisa melihatnya lagi.
Dan malam harinya, secara mengejutkan, orang-orang itu datang ke rumahku! Juga si ganteng itu.
"Siapa mereka?" kasak-kusuk kami di belakang bersama Maya, Indah dan Kak Nisa.
"Katanya mahasiswa KKN!" jawab Kak Nisa berbisik.
"Apa? Apa Kak?" tanya Maya yang belum mengerti arti mahasiswa KKN.
"Ssst!" redam Kak Nisa menyuruh kami diam.
Dan layaknya orang desa, kami terus saja kasak-kusuk dan tersenyum-senyum mengintip mereka. Sesekali mencuri-curi dengar pembicaraan mereka.
"Nisa!" panggil ibuku, "Nih, sana suguhkan minuman!"
"Ahh, nggak!" jawab Kak Nisa panik, "Malu, malu!"
Perawan desa mana yang tak panik kedatangan tamu-tamu necis dari kota? Cantik-cantik dan ganteng-ganteng pula.
"Aish, kamu itu, jadi perawan kok penakut amat!" balas ibuku berbisik, "Sana, latihan berani! Cuma menyuguhkan minuman dan makanan saja kok! Kamu kan sudah SMA!"
"Nggak mau!" jawab Kak Nisa kesal dan masuk ke kamarnya.
"Bocah kok pemalu amat!" kesah ibuku, "Mau kawin sama siapa kau?!"
Dan memandang kepadaku ibu menyuruh, "Putri, kau saja yang suguhkan sana!"
"Ahh, enggak! Malu, malu!" jawabku juga menolak.
"Ini juga!" balas ibuku kesal.
"Sana, sana Mbak!" dorong Indah padaku, "Nggak papa! Jangan malu-malu!"
"Iya, ayo Mbak Putri!" tambah Maya menyeret-nyeret tanganku.
"Enggak ah!" tolakku, "Ibu aja!"
Dan malam itu ibuku mengalah. Ia sendiri yang menyuguhkan minuman dan makanan ringan.
Kami memang belum terlatih menyuguhkan hidangan kepada tamu. Apalagi tamu orang asing.
Kami pun terus mendengarkan percakapan mereka sambil cekikikan. Dari yang kutangkap, mereka datang kemari untuk menemui bapakku selaku ketua RW. Mereka memperkenalkan diri dan berdiskusi tentang program-program KKN mereka.
Bapakku adalah salah-satu ketua RW dari enam RW yang ada di desa ini. Dan katanya, para mahasiswa itu mendatangi satu per satu ketua RW dan RT untuk memperkenalkan diri dan membicarakan program mereka.
Selebihnya, aku tak paham apa yang mereka bicarakan. Sibuk berkasak-kusuk dengan Maya dan Indah. Kak Nisa tak keluar lagi dari kamarnya. Mungkin takut disuruh ini itu lagi oleh ibu. Ia memang sangat pemalu.
Dan kutahu juga malam itu, bahwa mereka berasal dari kampus yang tak begitu jauh dari kabupaten kami. Hanya memerlukan dua jam perjalanan.
Mereka terdiri dari enam mahasiswi dan dua mahasiswa. Selain si ganteng, mahasiswa lelaki yang satu lagi juga cukup tampan. Kelihatan kalem dan baik. Sepertinya juga tipe pekerja keras.
Hari berikutnya, sepulang sekolah, Maya dan Indah berseru-seru memasuki kamarku. Aku terheran-heran dan menyuruh mereka diam.
"Mbak, mbak Putri tahu nggak?!" cerocos Maya tak henti-hentinya.
"Apa?!"
"Orang-orang semalam itu, tadi ke sekolah lho!"
"Iyaa!" dukung Indah tak kalah antusias.
"Oh ya? Ngapain?"
"Mereka tuh, mahasiswa K - K - N!" jawab Maya terbata-bata mengejanya, "Mereka mau melatih kami untuk Pesta Siaga!"
Pesta Siaga adalah suatu lomba pramuka yang diadakan secara bertahap. Mulai dari tingkat desa hingga ke kecamatan. Masing-masing sekolah mengirimkan satu regu putra dan putri untuk mengikuti berbagai jenis macam lomba.
Para peserta biasanya diambil dari murid kelas 3 hingga 5 SD. Regu yang juara dari tingkat desa akan beradu di tingkat kecamatan.
Maya dan Indah, keduanya terpilih masuk regu. Aku pun dulu juga terpilih dari kelas 3 hingga kelas 5. Dan pernah meraih juara ketiga di kecamatan.
Di daerah kami tak ada acara kemah pramuka saat SD. Hanya Pesta Siaga itu saja. Memasuki kelas enam, sudah tak diwajibkan lagi berkegiatan pramuka. Hanya fokus pada pelajaran sekolah. Kami murid desa harus mengejar ketertinggalan di bidang akademis dari murid kota.
"Iya Mbak!" kukuh Indah, "Mereka melatih yel-yel dan masih banyak lagi!"
"Oh ya?"
"Ada yang ganteng lho, Mbak!" imbuh Maya, " Namanya Kak Setya!"
"Iya, Maya langsung pindah duduknya ke depan." sahut Indah, "Tepat di depan Kak Setya!"
"Hahaha, biarin! Abis, ganteng!"
"Kak Setya?" tanyaku.
"Iya, namanya Kak Setya!"
Yang mana orang itu? Apakah si ganteng? Yang terngiang-ngiang di kepalaku itu?
"Dia pintar, lho Mbak!" lanjut Maya, "Pintar menjelaskan!"
Dan kami pun membahas mereka sepanjang sore itu. Rupanya mahasiswa yang bernama Setya itu memanglah si ganteng yang kumaksud.
Dari ciri-ciri yang disebutkan Maya dan Indah; ia berambut gondrong dan dikucir. Mirip seniman. Wajahnya cerah, berbadan ideal dan agak cantik. Benar, dialah orangnya.
Kata nenekku dulu; kegantengan utama lelaki Jawa memang harus agak cantik. Mirip Arjuna dan Krishna.
Karena itulah, selama ini tokoh Arjuna pada pertunjukan wayang orang selalu diperankan oleh wanita. Susah mencari lelaki ganteng yang agak cantik dan lemah lembut, tapi bukan banci.
Nenekku berpesan; jika aku dapat menemukan sosok lelaki semacam itu maka suatu anugerah yang besar. Dan jika memiliki sifat-sifat baik dan ksatria, bisa jadi ia titisan Arjuna atau Krishna.
Tubuhnya ideal, biasa saja. Tidak terlalu tinggi atau pendek, tidak terlalu besar atau kecil, tidak terlalu kekar ataupun lembek.
Kelihatan lemah dan kalem. Namun itu hanya untuk mengecoh musuh saja. Sebenarnya mereka adalah ksatria terhebat di muka bumi.
Sering disebut sebagai Lelananging Jagad, atau lelaki sejati di jagad raya ini. Dengan ciri; melindungi yang benar dan menegakkan keadilan. Bekerja untuk orang banyak dan melenyapkan keangkaramurkaan.
Jika bertemu dengannya harus menghormat - sebesar-besar hormat. Jangan pernah membikin masalah atau membuatnya tersinggung. Kurawa memusuhi dan menghina Arjuna dan Krishna, akibatnya mereka hancur-lebur.
Mungkinkah Kak Setya adalah sosok yang dimaksud oleh nenekku itu? Aku memang belum pernah melihat keindahan lelaki seperti dirinya.
"Main yuk, Mbak!" ajak Indah, "Ke tempat mereka!"
"Ngapain?!" jawabku kaget.
"Ya main aja! Mereka bilang, kita boleh kok main ke sana kalau ada hal yang perlu ditanyakan."
"Enggak mau ah, malu!" jawabku menelungkupkan diri ke kasur.
"Ah, Mbak Putri! Ikut-ikutan Mbak Nisa aja, pemalu!" sahut Maya meledek, "Mbak Putri belum kenalan, kan? Kami sudah!"
"Ah, sana main aja sendiri!"
"Ummh!" keluh mereka kesal.
Kami pun melanjutkan permainan di kamarku seperti biasanya. Tak berani bermain ke tempat para mahasiswa.
Perkenalanku dengan para mahasiswa akhirnya terjadi juga.Β Waktu itu kami sedang mengaji ke masjid. Karena rumah pondokan mahasiswa terletak di seberang jalan dekat masjid, maka mereka melihat kami.
Para mahasiswa yang sedang bersantai di teras itu memanggil-manggil Maya dan Indah. Juga anak-anak lain yang ikut regu Pesta Siaga.
Maya dan Indah pun memaksaku untuk ikut datang ke pondokan mereka. Lagipula kami sudah selesai mengaji.
"Ayoo, Mbaak!" paksa Maya menyeret lenganku.
"Nggak ah,! Malu!" tolakku hendak beranjak pulang.
Indah dan beberapa anak lain turut menyeret dan mendorong tubuhku. Akhirnya aku pun mau.
Ditemani oleh gadis seusiaku, Ima. Ia bersekolah di SMP swasta dan rumahnya tak jauh dari rumahku.
Kami pun bermain ke pondokan mahasiswa itu. Dan aku berkenalan dengan mereka. Diluar dugaan, ternyata mereka sangat baik dan ramah. Jadi apa yang kutakutkan selama ini?
Mereka senang mengobrol dengan kami. Dan pada saat itulah aku bekenalan dengan si ganteng, Kak Setya.
"Kelas berapa, kamu Putri?" pertanyaan pertamanya kepadaku.
"Satu SMP, Kak!" jawabku malu-malu.
"SMP-nya di mana?"
"SMP ......"
"Di mana itu?" sambung yang lain.
"Sana, dekat kecamatan!"
Dan perbincangan pun terus berlanjut dengan hangat. Ima cukup pendiam, namun ia bisa menjadi teman yang sebanding denganku.
Sedangkan Maya dan Indah tampak lepas berbincang dengan mereka. Juga anak-anak seusia mereka yang lain.
Maya-lah yang paling menarik perhatian para mahasiswa. Mereka bergantian memeluk dan mencubiti pipinya. Termasuk Kak Setya. Sepupuku itu memang paling manis dan imut di antara kami. Juga paling cerewet.
Sementara yang menarik perhatianku ada dua orang; Kak Setya dan Kak Desi. Yang terakhir ini mahasiswi paling cantik di antara mereka. Tampak akrab dengan Kak Setya dan kelihatan serasi. Mungkinkah mereka berpacaran?
Hari sudah sore, dan kami beranjak pulang. Dan selanjutnya, kami tak sungkan-sungkan lagi untuk bermain ke sana. Kadang sore hari selepas sekolah, atau selepas mengaji.
Kadang pula pada malam hari untuk meminta bantuan mereka mengerjakan PR. Dan mereka dengan senang hati membantu kami belajar. Mereka betul-betul baik dan pintar.
Kadang saat mereka melatih pramuka pada sore hari di sekolah Maya, aku ikut menonton. Dan karena aku masih kekanak-kanakan, maka aku pun tak sungkan bergabung dan bermain dengan anak-anak SD. Beberapa anak kelas lima tentu masih mengenalku. Apalagi rumah-rumah mereka di sekitar sini saja.
Kami pun bermain lompat tali, engklek dan permainan anak kecil lainnya di sela-sela latihan. Para mahasiswa pun tak sungkan turut bermain dengan kami. Terutama main lompat tali.
"Ayo Kak, main lompat tali!" ajakku pada Kak Setya. Akhir-akhir ini aku sudah cukup akrab dengannya.
"Ayo!" dan ia pun ikut bermain bersama kami.
Beberapa anak cowok SD juga turut bermain. Mereka selalu mengikuti kemana Kak Setya pergi. Seperti bos dan anak buah saja.
Dan kami para perempuan pun tertawa cekikikan melihat tingkah Kak Setya dan para mahasiwi berlompatan. Lucu!
Tak terasa, kami semakin akrab dengan para mahasiswa. Tiada hari yang tak dihabiskan bersama mereka.
****
(Bersambung)