Cakrawala sangat terang sore ini. Angin berhembus pelan menggoyangkan pepohonan. Garis oranye menghiasi langit, memberikan keindahan tersendiri. Kendaraan lalu lalang dijalanan, caffe dan tempat hiburan malam mulai buka. Dan ada dua ada dua darah muda yang sedang bergejolak.
"Sudah sampai tuan putri," kata Kevin ketika dia dan Nia sudah sampai di depan rumah dengan pagar yang tingginya melebihi tinggi tubuhnya. Seorang satpam langsung membukakan pagar dan menyapa Nia.
"Menggelikan. Sana pulang," perintah Nia mengusir pemuda sipit. Si pemuda merengut karena diusir. "Gak bilang makasih?" tanya Kevin.
"Makasih. Sana pulang!" usir Nia sedikit mendorong Kevin. Ia masuk ke dalam setelah memastikan Kevin pergi. Gadis manis itu senyum pada satpam dan masuk ke rumah besarnya.
Rumah yang ditempati Nia memiliki dua lantai dengan tiga kamar. Dua ditempati Nia dan orang tuanya, satu untuk tamu yang menginap. Rumah ini memiiki halaman luas yang di isi beberapa pohon dan tanaman hias, memberi kesan sejuk untuk rumah. Lalu ada kolam renang di belakang, dan ada ruang musik. Dapur yang dimiliki pun cukup luas. Ada ruang tamu dan ruang keluarga yang dipisah, meski mereka jarang kumpul di ruangan itu.
Nia menutup gorden kamar lalu merebahkan tubuhnya di kasur. Manik coklatnya menatap langit langit atap yang dipasang stiker glow in the dark. Ia merasa seperti ada di alam bebas dengan bintang yang bersinar terang.
Nia ingin langsung tidur tapi tubuhnya terasa lengket. Ia lalu menyalakan lampu dan membersihkan tubuhnya. Aroma lavender yang berasal dari lilin aroma terapi menguar di dalam kamar mandi. Bunga lavender dapat membantu mengurangi stres, kecemasan, dan rasa sakit yang ringan. Itu sebabnya Nia menyukai aroma bunga yang berasal dari Mediterania itu.
Setelah dirasa bersih, gadis dengan manik coklat cerah membilas tubuhnya dan memakai baju. Netranya menatap pantulan wajahnya di cermin. Kulit putih bersih, mata berbentuk bulan sabit, bibir tipis berwarna merah, hidung mancung dan rambut hitam lurus. Wajahnya tidak seburuk itu, tapi kenapa di sekolah banyak yang tak suka dirinya? Apakah karena mereka tidak tahu harta yang dimiliki dan siapa orang tua Nia?
Kasta sosial dan latar belakang keluarga memang sangat penting bagi kebanyakan orang. Mereka hanya menghormati orang yang berasal dari keluarga berada. Mau secantik apapun kamu, jika miskin, kau tidak akan dianggap. Meski sebenarnya Nia tidak miskin, hanya saja tak ada yang tahu siapa orang tua Nia.
Selain memandang kekayaan, mereka juga tidak suka anak yatim piatu, mereka menganggap anak yatim piatu tidak baik, asal usul tak jelas, tak pantas ditemani. Andai mereka tahu siapa orang tua Nia, akankah segalanya menjadi lebih baik? Ah bahkan dia hanyalah anak haram. Mereka tetap tidak akan mengakui Nia. Justru semakin memandang sebelah mata Nia.
Anak haram memiliki citra yang buruk di masyarakat, meski bukan kesalahan mereka terlahir ke dunia. Orang orang akan mencaci, memandang buruk, menganggap masa depan mereka tak kan baik dan segala pandangan buruk lainnya. Padahal dia sendiri tak mau dilahirkan sebagai anak haram. Mengenai anak haram, benarkah anak yang lahir di luar pernikahan haram? Tak pantas hidup? Tak pantas bahagia?
Terlalu lama berada di depan cermin membuat pikirannya berkeliaran tak tentu arah. Gadis berambut lurus itu memutuskan mengerjakan PR nya sekaligus mengulang materi tadi siang.
#
.
.
"Kak Kevin~ kenapa baru pulang? Rendi kan mau cerita banyak." Seorang bocah laki laki lari dengan semangat melihat kakaknya sudah pulang. Tangan mungilnya memeluk kaki Kevin. Pemuda yang mempunyai rahang tegas itu jongkok lalu memeluk sayang adiknya. "Tadi Kakak mengantar perempuan cantik pulang."
"Siapa itu Kak?" tanya Rendi penasaran.
"Kak Nia," jawab Kevin dengan cengiran. Manik Rendi berbinar seperti bintang mendengar nama Nia. "Rendi mau ketemu Kak Nia lagi. Kak Kevin ajak Kak Nia kesini dong."
Kevin tertawa dengan antusias adiknya. Ternyata bukan hanya dirinya yang jatuh cinta pada Nia, tapi juga adik kecilnya. "Hahaha coba Rendi yang ajak. Kak Nia gak mau kalo Kak Kevin yang ajak."
Rendi diam sesaat, bibirnya maju beberapa centi lalu mengangguk setuju. "Yasudah nanti Kak Kevin telfon Kak Nia. Biar Rendi yang bujuk. Pasti mau kalo Rendi yang ajak." Senyum melebar menghiasi wajah imutnya. Menampilkan deretan gigi yang untungnya masih rapih.
"Iya. Nanti malam kita telfon Kak Nia." Pemuda pucat mengelus pucuk kepala adiknya lalu masuk ke kamarnya yang bercat putih gading.
#
.
.
Gadis yang digerai rambutnya merenggangkan tubuhnya. Sudah dua jam lebih dia belajar. Otaknya terasa panas seperti terbakar. Semua PR sudah dikerjakan, saatnya bersantai. Kakinya melangkah turun ke ruang keluarga yang ada di lantai bawah.
Ia menyalakan tv dan mendudukkan tubuhnya di soffa. Berulang kali jari lentiknya mengganti chanel tapi tak ada acara yang seru sampai ia berhenti di acara gosip. Matanya melebar melihat gosip tentang ibunya.
"Benarkah Duta dan Sekar punya hubungan lebih dari sahabat?" kata Host yang lalu menampilkan beberapa video mengenai kedekatan Duta dan Sekar.
"Berita macam apa ini? Acara gosip selalu menyebar fitnah," decak sebal Nia. Ia menonton serius acara gosip itu. Manik coklatnya meredup seperti bunga layu saat melihat potongan video Duta dan Sekar yang terlihat mesra. Kegelisahan menelusup hatinya, ragu dan khawatir bercampur menjadi satu.
Bagaimana jika ibunya memang punya hubungan khusus dengan Duta? Bagaimana jika ibunya memang jatuh cinta padanya? Mengingat sikap ayahnya yang kurang baik. Terlebih, Duta punya profesi yang sama dengan ibunya. Bagaimana nasib Nia? Memikirkan nasib, memang nasibnya sekarang seperti apa?
"Drtt drrtt." Ponsel Nia yang ditaruh di atas meja berdering. Ia melihat siapa yang menelfon. Bola matanya berputar saat tahu siapa yang menelfonnya. Dengan malas ia mengangkat video call dari pemuda sipit.
"Halo Kevin, ada apa?" tanya Nia. "Wah ku kira gak akan diangkat. Kamu lagi apa?" tanya Kevin disebrang. Kevin memakai kaos putih yang terlihat kasual. Ia duduk di kasur. Di belakangnya tertempel poster atlet basket.
"Lagi napas," ketus Nia. Gadis rambut panjang itu menyandarkan punggungnya ke bantalan soffa. Kevin senyum tipis seolah terbiasa dengan sikap jutek Nia. "Ada yang kangen nih," kata Kevin. Dahi Nia mengernyit dan kelopak matanya menyipit, penasaran siapa yang merindukan dirinya. "Siapa?"
"Rendi yang kangen Kak Nia~ Kak main ke rumah Rendi yuk." Tiba tiba saja bocah lelaki duduk di samping Kevin. Bibirnya tersenyum lebar hingga pipinya yang chubby terlihat seperti bakpao.
"Wah Rendi!" pekik Nia semangat. Ekspresi kusutnya berubah cerah melihat anak kecil yang rambutnya seperti mangkok itu. Ia seperti lupa dengan sedih dan khawatir yang sempat menelusup ke dalam hatinya. Seolah semua kesedihannya menguap tak tersisa. Anak kecil di balik layar ponsel bak batrei yang mengisi daya kekuatannya. Entah kekuatan apa yang dimiliki anak itu. Hingga bisa menyalurkan energi positif ke dalam diri Nia.