"Hei, kau!" lelaki itu terus saja berteriak memanggil seorang gadis yang terus saja berjalan tanpa mempedulikannya. Kondisi koridor sekolah yang saat itu tengah sangat ramai membuat sang lelaki semakin dibuat kesusahan untuk memanggilnya. Dan hal yang paling merepotkan adalah saat lelaki itu tak tahu siapa nama gadis sialan yang tengah ia kejar sekarang. Sungguh membuat kesal.
"Hei, berhenti kau!" teriak lelaki itu semakin mempercepat langkahnya. Dan beberapa saat kemudian,
Grep!
Dapat!
Lelaki itu berhasil mencengkeram lengan gadis yang membuatnya terus berlarian hari ini. Gadis yang membuatnya merasa begitu kesal di pagi hari. Gadis sialan. Beraninya dia.
Sedangkan di sisi lain, Ariana hanya diam sembari memasang wajah datar. Gadis itu terus menatap ke arah lelaki di sampingnya. Ternyata dia, batin Ariana.
Saat itulah senyum seringai mulai tampak di bibirnya. Matanya terus bergerak menatap sang lelaki mulai dari ujung rambut sampai ujung kaki. Dialah lelaki terbodoh yang pernah ia temui dalam hidupnya. Dan hari ini, Ariana telah menobatkannya.
"Kenapa kau tak mau berhenti saat aku terus memanggilmu?" tanya lelaki itu dengan napas yang masih tersengal-sengal. Lelaki itu terlihat begitu kesal saat menanyakan. Sungguh, Ariana adalah gadis pertama yang telah memperlakukannya seperti ini. Sialan.
"Sejak kapan kau memanggilku?" tanya Ariana menampilkan wajah tanpa dosa. Satu tangannya pun telah bergerak untuk melepaskan cengkeraman sang lelaki di sampingnya. Jujur saja, Ariana tak suka jika ada seorang yang memegangnya. Terlebih lagi saat ia tak tahu itu siapa.
"Sedari tadi aku terus memanggilmu, Bodoh!" jawab lelaki itu dengan nada menghardik. Wajahnya memerah seketika. Amarahnya meluap dengan begitu tiba-tiba.
"Kenapa kau membentakku?" tanya Ariana tak terima. Gadis itu ikut marah karena hardikan lelaki di depannya. Orang asing yang membuatnya muak hanya dengan menatap wajahnya.
"Karena kau bersalah!" jawab lelaki itu masih tak mau menurunkan nada bicaranya. Jari telunjuknya bahkan sudah mengacung menunjuk ke arah Ariana.
"Coba jelaskan dimana letak kesalahanku?" tanya Ariana dengan nada yang begitu angkuh. Dagunya bahkan telah terangkat seolah ia tak mau kalah berargumen dengan orang di depannya.
"Kesalahan pertamamu adalah memintaku berlari meninggalkan mobilku untuk sampai di sekolah. Dan kesalahan keduamu adalah kau tak mau berhenti saat aku terus menerus berteriak memanggilmu!" ucap lelaki itu dengan wajahnya yang merah padam. Matanya bahkan telah menatap nyalang pada sang gadis seolah ini adalah kesalahan Ariana, semuanya.
Saat mendengar penuturan lelaki itu, mata Ariana seketika membelalak. Apakah dia mengerti dengan apa yang baru saja dia katakan?
"Pembelaan pertamaku, kenapa kau mau menuruti permintaan seseorang yang sama sekali tak kau kenal? Dan pembelaanku untuk argumen keduamu itu, bagaimana aku bisa tahu kalau kau sedang memanggilku saat kau sama sekali tak menyebut namaku?! Kau sedang mencoba untuk membodohi ku atau kau memang benar-benar bodoh, hah?!" ucap Ariana dengan begitu panjang. Suaranya pun terdengar begitu lantang hingga begitu banyak siswa menoleh ke arah mereka.
Lelaki yang sebelumnya terus mengusik Ariana itu pun seketika panik saat begitu banyak banyak pasang mata menatap ke arahnya. Ada apa dengan gadis di depannya?
"Hei! Kenapa kau malah berteriak, Bodoh?!" tanya lelaki itu sembari menatap Ariana. Raut wajahnya terlihat sedikit tak nyaman karena begitu banyak orang di sekitar mereka.
"Kenapa kau melarangku untuk berteriak saat kau sendiri, hmmpt!" ucapan Ariana langsung terhenti saat tangan penuh noda sang lelaki bergerak untuk membungkamnya.
"Mmph!" ucap Ariana terus meronta minta dilepaskan bekapan di mulutnya. Tangannya bahkan tak tinggal diam, gadis itu terus memukuli sang lelaki agar ia segera mendapatkan ganjarannya.
Ariana tengah mengumpulkan seluruh tenaga dalam dirinya. Dan dalam sekali gerakan, Ariana langsung mendorong tubuh lelaki di depannya. Dorongan itu begitu kuat hingga sang lelaki terhuyung ke arah belakang.
Mata lelaki itu seketika membelalak karena kasarnya perlakuan gadis di depannya.
Lelaki itu terduduk di tanah. Kepalanya mendongak menatap Ariana dengan matanya yang mulai memanas.
"Cari mati kau, hah? Apa kau tahu siapa aku?!" tanya lelaki itu dengan angkuhnya. Tubuhnya langsung bangkit sembari berkacak pinggang di depan Ariana.
Sedangkan Ariana, gadis itu menaikkan satu alisnya. Bola matanya bergerak dari bawah ke atas memandang tubuh lelaki di depannya. Apa dia sudah hilang akal?
"Memang apa urusanku hingga aku harus mengenalmu?" tanya Ariana. Gadis itu pun sengaja melipatkan tangan di depan dada. Dagunya masih terangkat tinggi memandang betapa angkuh lelaki di depannya.
Pertanyaan yang terlontar dari bibir Ariana semakin membuat geram lelaki di depannya. Sebenarnya siapa dia?
"Hei, kau!"
Kriing!
Belum selesai dia menyelesaikan ucapannya, bel masuk sudah berdering dengan begitu kencang. Seluruh siswa yang masih ada di halaman berlarian masuk ke dalam kelasnya masing-masing.
Begitu pulang dengan Ariana. Tanpa mengucap satu patah kata pun, gadis itu langsung meninggalkan lelaki di depannya. Langkahnya mengayun dengan begitu santai seolah tak pernah terjadi apa-apa.
"Hei, mau kemana kau?! Aku masih belum selesai!" teriakan lelaki itu diabaikan oleh Ariana.
"Sialan! Kau pikir siapa dirimu, hah?!" teriak lelaki itu semakin geram di tempatnya. Ariana adalah satu-satunya gadis yang berani melakukan itu pada dirinya, Aksel Harrison.
Siapa yang tak mengenal Aksel Harrison? Seorang anak pebisnis terkenal di kota mereka. Seorang yang memiliki paras tampan dengan kepribadian yang begitu "luar biasa". Entah kepribadian macam apa yang mereka maksudkan. Dari sisi mana?
Dimata mereka, Aksel begitu sempurna. Tak ada sedikit pun kekurangan yang mereka lihat dari seorang lelaki yang begitu rupawan di sekolah mereka.
Aksel yang memiliki begitu banyak penggemar itu juga terkenal akan kecerdasannya. Ia bahkan memiliki nilai yang berada jauh di atas rata-rata. Sungguh, itulah yang semakin membutakan mata orang-orang yang mengidolakannya. Mereka hanya melihat sisi luarnya saja.
Sedangkan Ariana, hanya dalam satu hari saja, sudah dapat dipastikan jika ia tak akan mau bertemu dengan lelaki kurang pikiran seperti dia. Merepotkan saja.
Dan kini, kaki Ariana telah sampai di ruang kelas barunya. Seluruh teman sekelasnya telah duduk rapi di bangkunya. Mereka semua kompak memandang ke arahnya. Dengan tatapan yang berbeda-beda.
Rasa jengah mulai Ariana rasakan saat kakinya mulai menginjak di kelas XII IPA 2. Pendengaran gadis itu menangkap beberapa siswa tengah membicarakannya. Entah itu tentang fisik, atau pun lain sebagainya.
Ariana tengah mencoba untuk menulikan pendengarannya. Gadis itu sungguh tak ingin mempedulikan apa yang tengah mereka gunjingkan sekarang. Karena untuk saat ini Ariana hanya berharap, jangan sampai tragedi lama terulang kembali karena kesalahan yang sama pula.