Chereads / Sleepy Bookmaster / Chapter 33 - Yang Tersisa dari Geplak

Chapter 33 - Yang Tersisa dari Geplak

Sehari setelah Anggi memburu Anthony, pada siang hari, kini dia kembali berada di gerbang masuk kota. Kemarin seharian, setelah dia memberikan mayat Anthony ke cabang Union yang berada di Kota Akademi, Anggi harus melakukan beragam pengecekan sebelum akhirnya ia mendapatkan uang imbalan.

Mayat dan [Tizona] nantinya akan dikirim ke Markas Besar Union. Untuk saat ini mereka tidak bisa melakukannya dikarenakan komunikasi yang tiba-tiba terputus, dan kondisi Kota Akademi yang sedang siaga akan adanya perang.

Saat ini di samping Anggi terdapat seorang lelaki tua yang memimpin penjagaan gerbang sedang berdiri tersenyum ramah padanya.

"Tidak pernah saya pikir bakal secepat ini, apa begitu mudah menemukan lokasi buronan Union?"

Anggi menggeleng, "Tidak… aku hanya mempunyai informasi lebih banyak dari biasanya."

Mereka berdua berjabat tangan.

"Jadi kamu akan langsung kembali ke Sentral?"

"Sentral?" Anggi lalu mengingat plat nomor mobilnya yang berasal dari Sentral, "Aah—tidak, aku akan ke Kembang. Bosku tinggal di sana."

Anggi lalu memasuki mobil jip terbangnya. Ia melambai pada orang tua itu sebelum menjalankan mobilnya keluar dari gerbang. Di depan gerbang tembok, sama seperti ketika ia masuk, Anggi menemukan masih cukup banyak orang mengantri. Raut keputusasaan menyelimuti orang-orang itu.

'Geplak ya…'

Anggi mempercepat laju mobilnya, berbeda dari rute yang ia lalui sebelumnya, kini Anggi memilih sedikit memutar. Berbelok ke arah Geplak berada, Ia penasaran dengan kondisi kota itu sekarang ini.

Mobil melaju begitu cepat, beberapa monster menghalangi jalannya tapi ia hiraukan, dalam waktu kurang dari satu jam, Anggi sudah dapat melihat tembok Kota Geplak dari kejauhan. Ia hentikan mobil.

Anggi keluar sembari membawa teropong jarak jauh. Ia naiki sebuah pohon yang menjulang tinggi, lalu meneropong ke arah Geplak. Anggi melihat kalau banyak bagian tembok yang sedikit terkikis, namun tidak hancur. Tembok kota memang dibuat agar dapat melindungi warganya dari serangan platinum sekalipun.

Anggi kemudian melihat situasi di dalam tembok. Berbagai bangunan tampak hancur lebur, tersisa reruntuhan yang terlihat basah. Banyak terlihat genangan air di jalan-jalan. Seingat Anggi, seharusnya tidak ada hujan selama seminggu terakhir ini.

'Tsunami? Kekuatan perempuan itu memang berada di luar nalar.'

Anggi lalu melihat beberapa makhluk berbentuk manusia kadal, kepalanya mirip seperti seekor iguana, dengan tubuh manusia yang kekar dan bersisik. Kuku-kuku di tangan mereka tampak tajam, sembari memegangi sebuah pedang dengan bentuk celurit besar. Di badannya, mereka mengenakan baju zirah berwarna hijau tua. Para manusia kadal itu menjelajahi kota secara berkelompok, tampak mencari manusia yang masih hidup.

'Monster? Dan…bangsa jin.'

Anggi kemudian melihat mahluk yang memiliki bentuk sama seperti halnya manusia. Hanya saja terdapat cahaya samar menyelimuti tubuh mereka. Kebanyakan dari bangsa jin yang dia lihat adalah lelaki.

Mereka berjalan dan berterbangan di sekitar kota. Para jin itu hanya mengenakan celana dan sarung batik, tidak memakai baju, memperlihatkan dada mereka yang bidang. Anggi dapat memperkirakan kalau bangsa jin yang ada di kota berjumlah ratusan, dan para manusia kadal ada ribuan.

Di sebuah sudut kota, pasukan dari kedua ras berkumpul. Berdiri tegak sempurna menunggu perintah. Anggi amati pasukan itu sembari mencari sosok perempuan yang seharusnya ada di sana. Namun, berapa kali ia cari pun, Anggi tidak melihat sosok itu.

'Di mana dia?'

Melihat pasukan tentara dan beberapa kelompok tentara menelusuri kota, Anggi beranggapan kalau Kerajaan Laut Selatan akan menjadikan Geplak sebagai markas depan untuk menyerbu Kota Akademi.

'Selama ini mereka hanya melakukan agresi skala kecil, tapi kenapa tiba-tiba saja mereka menyerang kota tanpa peringatan? Seingat Aku, mereka seharusnya masih waspada terhadap Nusa. Apa mereka berhasil mendapatkan sekutu?'

Anggi mengeluarkan ponselnya, memeriksa linimasa LIFE, ia menjelajahi linimasanya yang masih dipenuhi oleh berita tentang delegasi Hexagone, Vanessa, dan penyintas dari balon udara, Margareth.

Seperti yang sudah diperkirakan, pihak Hexagone meminta pertanggung jawaban dengan meminta pihak Nusa menyerahkan tiga artifak pusaka serta sejumlah uang pada mereka. Nusa sendiri tidak mau memenuhi permintaan itu, karena tidak merasa bertanggung jawab akan jatuhnya balon di perbatasan negara mereka. Bahkan saat ini karena simpati dan keinginan rakyatlah, mereka setuju mengerahkan segala kemampuan untuk mencari Vanessa yang hilang.

Delegasi Hexagone, hanya memberi pihak Nusa satu minggu untuk menemukan Vanessa. Namun mereka tidak percaya kalau diva dari negara mereka itu masih hidup, dan meminta Nusa untuk mempersiapkan barang yang mereka minta, agar tidak banyak membuang waktu.

Korban selamat jatuhnya balon udara, Margareth Sandre, sudah mulai sadar. Hanya saja karena kondisi tubuhnya yang masih lemah, ia masih harus melakukan perawatan hingga tiga hari ke depan sebelum jurnalis atau reporter diperbolehkan menemuinya. Hal ini juga berlaku pada pihak jaksa, militer dan polisi.

Asosiasi Kedokteran melarang keras adanya pengunjung datang untuk Margareth. Hal ini dilakukan karena kondisi mental korban yang masih belum stabil, dan hanya akan memperburuk traumanya kalau ditanya soal kejadian dalam balon udara.

Masih belum menemukan berita tentang hancurnya Geplak, Anggi menutup ponselnya. Dia hanya bisa menggelengkan kepalanya sebelum turun ke tanah. Dia sudah tidak mempunyai urusan lagi di sini dan bersiap untuk jalan pulang.

Namun tiba-tiba, pada sudut matanya, ia melihat dedaunan di kejauhan tampak berdesir tidak alami. Matanya yang di balik kacamata itu memicing ke arah gerakan. Tidak lama, Anggi melihat seorang lelaki remaja berlari kecapekan menerobos semua rumput dan tanaman yang ada di depannya. Wajah remaja itu tampak suram dan panik.

Tidak lama, tidak jauh di belakang remaja laki-laki itu muncul tiga sosok jin, yang mengejar sambil mengayunkan tombak. Ketiga sosok jin ini mengejar dengan terbang rendah sembari tertawa melihat sosok manusia yang terengah-engah lari dari mereka.

Sebenarnya mereka bisa mengejar remaja itu dengan cepat, namun untuk kesenangan mereka sendiri, para jin itu membiarkan remaja itu lari, lalu akan mereka tangkap, dan dibiarkan lari lagi nantinya. Hal ini terus mereka ulang, sebagai hiburan di masa perang.

"Hahaha, berapa lama kalian kira manusia ini bisa bertahan?"

"Mau taruhan?"

"Boleh, saya pikir dalam dua jam lagi juga dia sudah bakal nangis bertekuk lutut di depan kita. Saya pertaruhkan tiga gadis budak yang saya temui kemarin, lumayan loh."

"Oke, kalau gitu—satu jam! Sama saya juga pertaruhkan tiga gadis,"

"Oh, kalau begitu saya satu setengah—"

Shoot!

Tiba-tiba saja, salah satu jin terkapar di tanah. Di keningnya terdapat sebuah lubang yang menembus hingga belakang kepala. Mata Jin itu terbelalak tidak percaya, sebelum ia dapat berpikir lagi, tubuhnya yang terbentuk dari perkumpulan aura, mulai memudar. Aura dari tubuhnya sedikit demi sedikit menyebar ke lingkungan sekitar. Seperti asap yang terhembus jin itu pun mati.

Dua jin lainnya kaget melihat salah satu rekannya tiba-tiba mati. Mereka langsung melihat arah tembakan dilesatkan. Tidak terlalu jauh, mereka dapat melihat sebuah siluet seorang perempuan sedang menodongkan senapan ke arah mereka. Seketika itu juga ke dua jin panik bersiap kabur, sebelum akhirnya satu peluru berhasil mengenai satu kepala jin. Jin itu pun mati seperti rekannya.

Jin yang terakhir sudah berlari cukup jauh. Anggi yang berdiri di atas mobilnya melihat jin itu dari lensa senapan. Merasa jarak terlalu jauh, Anggi menurunkan senapannya. Senjata yang dipakai Anggi adalah Aura Rifle, senjata yang memakai aura penggunanya sebagai peluru. Berbeda dengan senjata laser yang biasa ditemui, senjata ini biasanya hanya khusus digunakan ketika melawan bangsa jin.

Jin merupakan ras yang tubuhnya murni terbentuk dari aura. Hal ini membuat mereka kebal dengan serangan fisik biasa. Untuk melukai mereka, seseorang harus mengimbuhi serangannya dengan aura.

Anggi kemudian melihat lelaki remaja itu, berlari cepat ke arahnya. Anggi menggendong senapannya, lalu menyalakan rokok sembari menunggu remaja itu datang.

"Hah…hah…hah…"

Remaja itu tiba, nafasnya begitu cepat karena lelah. Anggi menilik lelaki itu, pakaiannya kotor dan robek di mana-mana. Ia tidak memakai sandal ataupun sepatu, rambutnya kusut berminyak. Memar terlihat di berbagai tubuhnya. Hal yang paling mencolok darinya adalah sebuah benda yang tertempel di lehernya.

Sebuah borgol kepala tertempel dengan rantai yang menjuntai hingga ke lututnya. Pada bagian badan borgol terdapat simbol-simbol yang Anggi tidak mengerti. Anggi merasa kalau borgol itu tidak bisa sembarangan dilepas oleh orang lain.

Beberapa menit kemudian, nafas lelaki itu sudah mulai stabil. Anggi hanya menilik lelaki itu sambil menghisap rokok tanpa berkata apapun. Lelaki itu lalu menatap Anggi dengan tajam. Ia lalu bersujud di hadapan Anggi.

"Apa yang kau lakukan?"

"Sa-saya ingin bisa bertarung!"

"Hah?"

"A-a-ajarkan saya bertarung! Tolong!"

Anggi melihat remaja itu. Dia mengerti apa yang sebenarnya diinginkan oleh lelaki yang bersujud di depannya.

"Kau mau balas dendam?"

Lelaki remaja itu tidak membalas. Mukanya yang meghadap ke tanah itu kini terlihat kusut. Matanya merah penuh amarah, lelaki itu mengingat kejadian ketika keluarganya ditangkap oleh para manusia kadal. Mereka digiring lalu dipasangkan borgol di leher. Ayah dan ibunya dipisahkan dari dia dan adiknya. Sebagai kakak, ia berusaha menenangkan adiknya sebaik mungkin.

Namun keesokan harinya, dia melihat kedua orang tuanya berdiri di sebuah panggung bersama orang-orang dewasa lain. Setelah itu, seorang manusia kadal besar datang sambil membawa sebuah golok. Satu persatu manusia di atas panggung disembelih. Tubuh mereka yang tidak bernyawa dilempar ke bawah panggung, yang nantinya akan diambil oleh manusia kadal lain. Tubuh itu nantinya akan dikuliti dagingnya, dipisahkan dari tulang belulangnya.

Lelaki remaja itu melihat giliran orang tuanya, ia menutupi kedua mata adiknya. Seketika itu, ke dua orang tuanya seperti melihat ke arahnya, sebelum mata golok menghabisi, remaja itu melihat senyum hangat ayah dan ibunya terpancar padanya. Hanya air mata yang dapat mengalir, suara isak tangis dan teriak amarah terpendam di hatinya.

Air mata mulai mengucur dari lelaki yang bersujud di hadapan Anggi. Ia melihat remaja itu mengepalkan tangannya begitu kuat, sehingga kuku-kukunya yang panjang menusuk telapak tangan.

"Bagaimana dengan keluargamu?"

Lelaki itu mencoba menjawab, tapi suaranya seperti tertahan. Dengan nada berat ia mengerahkan suaranya untuk menjawab, "Mati."

Lelaki itu kemudian mengingat malam hari pada hari orang tuanya dipenggal, ketika para manusia kadal dan jin itu makan. Daging-daging manusia yang sudah dikuliti tadi siang dimakan oleh para kadal, sedangkan tulang belulangnya dimakan sarinya oleh para jin.

Dendam dan amarah meledak-ledak di hatinya, membayangkan para mahluk bengis itu menyantap daging orang tuanya. Sayangnya mimpi buruk tidak berakhir di situ, dia dan tahanan lainnya tentu membutuhkan makanan. Dan apa yang diberikan oleh para bangsa jahanam itu membuat lambungnya muntah. Di mangkuknya ia mendapati sebuah sup dengan mata dan kulit manusia sebagai kondimen. Para tahanan tidak mampu memakan itu, dan hanya bisa menangis kelaparan.

Keesokan harinya, dia mendapati sosok adiknya yang menghilang. Ia bertanya pada tahanan yang satu ruangan, dan diberitahu kalau adiknya dibawa oleh salah satu manusia kadal. Dia tidak mampu membayangkan apa yang akan mereka lakukan? Dan ketika makan malam tiba, ia tidak sengaja melihat tubuh adiknya yang tidak bernyawa sedang dimainkan oleh bocah manusia kadal bak sebuah boneka.

Ketika itu juga amarah berkecamuk, ia menarik rantai borgol yang tertancap di tembok. Semalaman ia tarik hingga kaitan rantai longgar dan terlepas akibat tembok yang agak rapuh. Tentu saja penjaga tidak melewatkan aksinya ini. Mereka langsung membawa remaja itu keluar tembok dan bermain kucing-kucingan dengannya.

Anggi melihat sosok remaja itu yang masih saja bersujud. Ia menghela nafas panjang.

"Aku tidak punya keinginan atau tanggung jawab untuk mengajarimu. Tapi, aku butuh tenaga baru di guild. Kalau kau bisa bekerja dengan baik, mungkin sekali-kali aku bisa mengajarimu. Bagaimana?"

Lelaki itu bangun dari sujudnya, ia menatap tajam pada Anggi. Ia tahu kalau kekuatan tidak bisa didapat dengan instan. Lelaki itu mengangguk setuju. Anggi senyum menyeringai,

"Siapa namamu?"

"Yudha—Yudha Elamminus."