Chereads / Sleepy Bookmaster / Chapter 26 - Suara yang Hilang (3)

Chapter 26 - Suara yang Hilang (3)

Di langit Laut Natuna, perbatasan antara Nusa dan Merlion. Seekor burung elang raksasa sedang terbang bebas. Di punggungnya duduk bersila seorang lelaki yang mengenakan baju militer angkatan udara Nusa. Di dadanya terdapat atribut yang bertuliskan namanya, Aji.

Aji beserta pasangannya seekor elang yang sudah berevolusi menjadi monster, kini sedang berpatroli di langit sekitaran Kota Gurindam. Orang seperti Aji biasa disebut sebagai beastmaster. Profesi ini merupakan profesi seseorang yang memilih mengontrak monster daripada artifak sebagai senjata mereka dalam bertarung. Untuk mengontrak seekor monster seorang calon beastmaster dapat menjinakkan monster itu sendiri lalu mengontraknya atau bisa dengan cara meminta bantuan pada ahli monsterologi untuk menjinakkan monster dan membuatkan kontrak bagi keduanya.

Cara yang paling sering dipakai biasanya para calon beastmaster pergi ke ahli monsterologi, karena tingkat kesuksesan para ahli lebih tinggi daripada mereka kontrak sendiri. Begitu pula dengan Aji, ketika dia berhasil menjalani pelatihan militernya, dia memilih beastmaster sebagai profesinya, kemudian negara memberinya seekor Raja Elang Jawa sebagai monster kontraknya.

Selain Beasmaster, sebenarnya terdapat profesi yang cukup mirip. Berbeda dari beastmaster yang mengontrak mahluk hidup berupa monster, dukun atau di luar Nusa biasa disebut sebagai shaman, mengontrak mahluk-mahluk supranatural.

Aji yang sedang mengudara bersama elang kesayangannya yang ia namai Popo, dengan santai memandangi birunya Laut Natuna. Aji lalu menekan sebuah tombol di jam tangannya, layar proyeksi pun muncul. Aji memeriksa kordinat yang harus ia lalui hari ini dan laporan situasi di kordinat yang diawasi oleh prajurit lainnya.

"Kaw!"

"Hmm?"

Tiba-tiba elangnya, Popo, bersuara mengingatkan. Aji melihat pandangan Popo fokus jauh ke arah kanannya. Merasa ada yang tidak beres, Aji langsung mengeluarkan teropong dari ransel yang ia gendong. Terkejut ia ketika mendapati sebuah balon terbang jatuh perlahan sekitar tiga hingga lima ratus meter jauhnya dari dia.

"Popo!"

Dengan sigap ia langsung memerintahkan Popo untuk cepat mendekati balon udara. Aji lalu memasang kacamata terbang yang biasanya hanya tergantung di leher. Setelah dipakai di bingkai kacamata itu terdapat beberapa tombol, Aji menekan tombol yang terdapat simbol lingkaran agar kacamatanya dapat merekam apa yang ia lihat. Aji kemudian menekan tombol di earphone nirkabel yang ia pakai.

"HQ, HQ, masuk!"

"HQ menerima, ada apa Elang 3?"

"Terlihat sebuah balon udara jatuh di utara Gurindam, sekitaran perbatasan Merlion."

"Balon udara? Identitasnya?"

"Belum terlihat jelas, sekitar tiga menit sebelum dapat mengidentifikasi."

"Oke. Lanjutkan ke penyelamatan darurat, utamakan penumpang, mengerti?"

"Mengerti, siap laksanakan!"

"Bantuan akan segera dikerahkan, semoga Tuhan melindungi."

Aji lalu menutup komunikasi, ia kemudian kembali meneropong balon udara. Dari penglihatan teropongnya ia melihat sebuah sinar laser tiba-tiba muncul melubangi bagian depan balon. Seketika balon udara itu pun menukik jatuh dengan cepat.

"Popo!" Teriak Aji, elang itu mengerti dan mempercepat lagi kecepatannya yang telah maksimum, 'Laser? Apa balon itu diserang?'

Akibat lubang yang baru, balon itu kini tinggal sedikit lagi membentur daratan. Aji yang sudah hampir sampai seakan diberikan harapan kosong, dia merasa tidak melakukan apa-apa. Namun, tiba-tiba tubuh seorang perempuan terhempas ke luar ke arah yang berlawanan dari jatuhnya balon. Aji berpikir sejenak, memandangi balon udara jatuh yang telah melebihi kemampuannya, lalu ia menoleh ke tubuh perempuan yang kini mulai jatuh ke daratan. Aji menggertakkan giginya, lalu menekan sayap kanan elang dengat kaki kanannya. Seketika Popo merubah lajurnya ke arah kanan, menuju tubuh perempuan itu melayang.

"Goddamnit!"

Popo semakin mendekat ke tubuh yang jatuh, Aji mendirikan badan bagian atasnya lalu menangkap perempuan itu. Ia peluk perempuan itu dengan erat dan menyuruh Popo untuk terbang menjauh dari balon udara. Tidak lama—

BOOOOOOM!

Suara ledakan terdengar nyaring di belakang punggungya. Aji merasakan cahaya merah dan hawa hangat di belakangnya. Setelah cukup menjaga jarak, Aji melihat sisa balon udara yang kini sedang dimakan api. Ia perintahkna Popo untuk terbang mendekat, melihat kemungkinan orang selamat. Namun Api yang mulai menyebar ke pepohonan di sekitar membuat Popo agak kesulitan. Aji hanya dapat menatap pilu pada balon udara di depannya.

Aji lalu melepaskan pelukannya dan melihat kondisi tubuh perempuan yang memiliki luka cukup besar di dadanya. Aji lalu mengeluarkan sebuah kotak kecil yang di dalamnya terdapat jarum dan benang monofilament. Ia lalu dengan cermat menjahit luka perempuan itu. Aji berharap perempuan ini bisa selamat.

Tidak lama, sebuah balon udara milik angkatan udara tiba di lokasi. Di sekeliling mereka terdapat lima monster terbang beserta beastmasternya. Salah satunya, yang menunggangi seekor rajawali raksasa datang menghampiri Aji.

"Terlambat?"

Aji hanya mengangguk lalu menoleh ke api.

"Sebelumnya jatuhnya balon tidak terlalu cepat, namun tiba-tiba tembakan laser sepertinya datang dari dalam balon, yang membuatnya jatuh lebih cepat."

"Laser? Apa ada serangan? Pelakunya?"

Aji menggelengkan kepalanya, "Tidak terlihat, perempuan ini, saya lebih mengutamakannya. Maaf, Kapten."

"Tak apa, saya pikir kamu membuat pilihan yang tepat. Tapi entah pikiran atasan nanti."

Aji mendengar ini hanya bisa tersenyum kaku. Lalu memanggil tim medis lewat earphonenya.

"Balon udara dari mana ini?" Sang Kapten bertanya pada diri sendiri. Namun, suara Aji yang tidak jauh darinya memjawab pertanyaan itu.

"Hexagone, saya melihat lambang kerajaannya sebelum balon itu jatuh." Ucap Aji dengan wajah muram.

"Hexagone… jangan-jangan—sialan! Ini akan merepotkan!"

Aji hanya dapat tertawa kering melihat kekesalan kaptennya.

***

Apartemen Bayu, Kota Kembang.

Hari di mana Bayu bangun dari tidurnya, atau sehari setelah balon udara dari Hexagone jatuh di salah satu pulau Kota Gurindam. Bayu yang sudah membuka matanya, mendapati dirinya terbaring di kamarnya. Ia lalu bangun, mencabut jarum infus di lengannya kemudian mencoba berjalan keluar. Namun, ketika ia baru saja berdiri, ia merasakan otot-ototnya lemas dan tenaga seperti tidak ada dalam dirinya. Sedetik ia berdiri, sedetik pula ia jatuh ke lantai layaknya boneka yang diputus benangnya.

Buk!

Wajahnya yang berbenturan dengan lantai terasa sangat sakit, Bayu merasa hidungnya patah. Ia lalu berguling-guling di lantai menahan sakit.

"Jangan tanya, di mana Fara?"

Bayu merasa heran karena ia merasa suara jatuhnya cukup lantang, namun Fara yang seharusnya ada di apartemen tampak tidak mendengarnya.

"Ugh…"

Bayu berusaha berdiri berjalan perlahan keluar kamar. Ia merasa lemas, lapar dan sedikit pusing. Badannya terasa sangat lengket oleh keringat hingga menempel ke baju. Setelah sampai di ruang tengah ia melihat Fara yang sedang sibuk menelpon, atau mungkin sedang sibuk dimarahi karena Bayu dapat mendengar permintaan maaf berkali-kali dari mulut Fara.

Bayu lalu duduk di sofanya, menyandarkan tubuh lemahnya. Tidak lama Fara menutup telponya, lalu melemaskan tubuhnya ke pelukan sofa.

"Haa… bisa-bisa saya dipecat kalau tidak pulang ke Sentral malam ini."

"Kenapa gak pergi saja?"

"Pergi gimana? Kasihan Bayu, siapa yang bakal jaga nan-"

"…"

"…"

"…"

"Kau sudah bangun?"

"Baru saja."

Fara merasa sedikit kekesalan terhadap dirinya setelah melihat kembali wajah dingin lelaki di depannya. Lalu dia melihat Bayu beranjak dari sofanya, berjalan perlahan kembali menuju kamarnya sebelum tiba-tiba terjatuh ke lantai.

Buk!

"Eh? Apa yang kamu lakukan?"

Bayu merasa sakit yang berbeda dari sakit di wajahnya, "Gawai, ambilkan ponselku di kamar."

Fara menyengir melihat Bayu yang tertelungkup di lantai. Ia berlalu mengambilkan ponsel milik Bayu. Ketika dia kembali, dia mendapati Bayu duduk lemas di sofa. Fara menyerahkan ponselnya.

"Thanks."

Bayu seketika itu juga memesan makanan dengan ponselnya. Ia tawari pada Fara, namun ditolaknya.

"Haa… apa kamu benar-benar baik saja sendirian? Saya sepertinya harus segera ke Sentral."

"Tak masalah, pergi saja. Ada hal besar yang harus kau liput, kan?"

"Oh! Kamu tahu?"

"Tidak terlalu, tapi kemungkinan berkaitan dengan balon udara Hexagone."

"Waa… saya sangat penasaran, dari mana kamu mengetahui banyak hal, padahal kamu tidur kan selama ini?"

Bayu hanya diam. Sebenarnya dia tahu tentang balon udara itu setelah diberitahu oleh Ayu yang mengawasi buku Fara. Namun Bayu kurang mengerti mengapa kejadian ini menjadi hal yang cukup besar. Apa ada seorang tokoh elit Hexagone yang mati pada kejadian kemarin? Bayu lalu menyalakan televisi sembari menunggu pesanan krim sup ayamnya datang.

Tentu saja ketika ia menyalakan TV, berita tentang jatuhnya balon langsung ditemuinya. Diberitakan kalau dunia kini sedang berkabung akibat meninggalnya diva idola internasional, Vanessa Blumunt.

"Vanessa Blumunt?" Bayu bertanya dengan nada rendah, ia agak terheran karena ia tidak mengenal nama itu.

"Hah? Jangan bercanda Bayu, masa kamu tidak kenal Vanessa?"

Bayu menggelengkan kepalanya.

"Seriusan! Musik apa yang kamu dengan selama ini?"

Bayu berpikir sejenak, lalu mengingat kalau dia bukan orang yang terlalu suka menikmati musik. Hal ini dikarenakan musik selalu mengganggu konsentrasinya ketika membaca. Jadi, ketika ia ditanya tentang musik yang ia dengar, dalam pikiran Bayu ia tidak teringat apa-apa. Bayu hanya dapat menjawab…

"Nina bobo?"

"…"

Fara tidak dapat berkata apa-apa. Ia lalu menoleh ke layar televisi yang menayangkan foto Vanessa yang anggun. Fara lalu menoleh ke Bayu kembali, ia melihat lelaki itu sedang memandangi foto Vanessa,

"Ooh! Aku sepertinya pernah melihat dia ini di iklan kopi!"

Fara hanya menatap kosong pada Bayu. Ia lalu menyengir lalu merapihkan barang-barangnya yang berserakan di meja.

"Hm? sudah bersiap pergi?"

"Yup! Sepertinya sudah tidak ada lagi yang perlu dicemaskan di sini," Fara lalu tersenyum lebar ke Bayu, "Terima kasih banyak ya! Sudah mau menyelamatkanku."

"Tak perlu berterima kasih."

Fara membalas perkataan Bayu dengan senyum hangat. Ia lalu berkemas siap untuk pergi. Fara berjalan pelan menuju pintu depan, diikuti Bayu yang berjalan dengan sangat perlahan. Setelah sampai, ia buka pintu itu lalu menoleh kembali ke arah Bayu.

"Bye! Bay, entah kapan kita bisa bertemu lagi, hehehe."

"Tidak begitu lama kayaknya, aku berencana akan ke Sentral. Kau dari Sentral akan langsung ke Gurindam?"

"Hm? Tidak, akan ada delegasi dari rumah rekaman Vanessa yang bakal datang langsung ke Sentral."

"Langsung ke Sentral? Lucu sekali…"

"Ya, mereka seperti tidak peduli pada artisnya—tidak! Tadi, apa maksudmu akan ke Sentral? Kamu bakal pindah?"

"Tidak, aku ke sana buat mendaftarkan guild baru. Aku juga bakal beritahu Kak Maya."

"Guild? Rupanya kamu ingin membuat guild sendiri." Fara lalu berpikir sejenak, di dalam pikirannya tiba-tiba siluet seorang perempuan kenalannya hadir. Seketika sebuah ide muncul di otak Fara, ia lalu mengucapkan selamat tinggal dan berjalan cepat ke lift.

Tidak lama setelah Fara pergi, sebuah drone hadir di depan pintu sambil membawa pesanan makanannya. Bayu mengambil dan membayar makanan itu melalui ponselnya.

"Hmm… tidak, akhiri pengawasan ketika dia sudah keluar dari Kembang."

Bayu hanya satu orang. Ia tidak dapat terus mengawasi semua kenalannya. Berbeda dari keluarganya, Bayu merasa kalau dirinya tidak dapat menyelamatkan semua kenalannya, yang dapat ia lakukan bagi mereka hanyalah berdoa agar dijauhkan dari bahaya.