Malam hari, waktu menunjukkan pukul 07.16 pm.
Di depan rumahnya, Bayu melihat seorang perempuan yang tersenyum begitu lebar hingga gigi-giginya terlihat. Bayu sudah dikabari oleh Ayu kalau Fara akan datang kembali. Namun kali ini Bayu merasakan kalau matanya begitu berat. Tidak lama lagi ia yakin narkolepsinya akan menyerang.
"He-ya! Mengganggu?"
Bayu mengerutkan dahinya.
"Ya! Sangat,"
"!" Fara agak terkejut, dia merasa kalau Bayu sedang kesal.
"Masuk dulu, duduk dan tunggu!"
Fara menaati perintah Bayu, dia masuk lalu membuka sepatu gladiator boots hitamnya. Sampai ke ruang tengah dia melihat Bayu sudah duduk di sofa dengan posisi kedua kaki ditekuk dan dipeluknya di atas sofa. Dagu kepala Bayu bertumpu pada dua lutut yang dijadikan bantalan. Kedua mata Bayu tertutup dan suara nafas yang beraturan samar terdengar oleh Fara.
'Dia tidur!'
Barulah sekarang Fara mengerti maksud dari kata duduk dan tunggu yang dikatakan Bayu tadi. Fara duduk di sofa, melihat ke sekelilingnya lalu menghela nafas panjang. Sewaktu dia pertama kali bertemu Bayu, dia tahu kalau Bayu mengidap narkolepsi dari orang bernama Rizki saat itu. Ini kali kedua Fara harus menunggu Bayu terbangun.
'Berapa lama biasanya dia tidur?' pikir Fara sejenak. Lalu mengeluarkan ponselnya dan mengirim pesan ke Maya.
- May, adikmu kalau narkolepsinya kambuh berapa lama dia tidur?
Tidak begitu lama, suara dering terdengar dari ponsel Fara. Maya tidak membalas pesan dari Fara tapi dia langsung memanggil Fara dengan panggilan video. Fara menyetujui panggilan itu, lalu sebuah benda bulat kecil seukuran kacang polong keluar dari bagian atas ponsel. Benda bulat itu melayang dan berhenti tidak jauh di depan muka Fara. Benda itu merupakan kamera dan proyektor yang ada dihampir semua ponsel saat ini.
Tidak lama proyeksi layar muncul dan wajah Maya yang serius itu menatap tajam pada diri Fara.
"Ada di mana kamu?"
"…" Fara menyesal telah mengirim pesan tanpa pikir panjang, dia lupa sifat Maya yang over protective.
"Jawab!"
"Di-di-di apertemen adikmu,"
"Darimana kamu tahu alamatnya?"
"Dari kampusnya,"
Maya di proyeksi terlihat mengangguk
"Oke, arahkan kamera ke adikku,"
Fara lalu melambaikan tangannya ke arah Bayu berada, bulatan kecil yang melayang mengikuti lambaian tangan Fara, lalu menyoroti Bayu yang sedang tertidur sambil duduk. Mata tajam Maya yang sedari tadi Fara lihat kini berubah menjadi lembut penuh kasih sayang. Lalu suara tegas Maya kembali terdengar.
"Fara, kamu duduk dan tunggu di situ! Jangan kemana-mana dan jangan lakukan hal bodoh! Kalau serangan biasa Bayu mungkin tidur sekitar satu hingga dua jam. Tunggu dan diam, oke?!"
"Siap, May! Aku akan duduk manis di sini,"
"Good! Sekarang aku ada urusan dengan seorang dekan yang tidak bertanggung jawab! Bye!"
Panggilan ditutup begitu saja. Kamera kecil sudah kembali ke dalam ponsel. Fara yang hanya tinggal menunggu terbengong di sofa. Sepi tanpa suara. Merasa gusar ia lalu mengambil tablet dan memulai menyusun artikel yang ingin dia tulis.
Satu jam setengah kemudian.
Bayu terbangun, dia melihat Fara yang sedang fokus pada pekerjaannya. Bayu menguap lebar lalu memulai pembicaraan.
"Jadi apa yang ingin kamu tanyakan?"
"Uwaa…!"
Kaget karena tiba-tiba mendengar suara di sebelahnya, Fara langsung lompat dari sofa. Setelah dia menyadari kalau Bayu-lah yang bersuara, dia baru bernafas lega dan kembali duduk.
"Kamu ini mengagetkan saja,"
"Aku hanya bertanya tidak mengagetkan,"
Fara melihat wajah Bayu yang tetap tanpa ekspresi. Dalam pikirannya Fara kembali menghujat kedua kakak beradik Rivertale.
"Apa kamu tahu kalau Lesti hamil?"
"Hm,"
"Apa kamu juga tahu kalau Adi punya identitas spesial?"
"Hm,"
Fara melihat Bayu yang hanya menjawab singkat terhadap pertanyaannya. Bayu di sofa tampak santai, pipi kanannya ia sandarkan pada kepalan tangan yang sikutnya sudah bertumpu pada lengan sofa. Fara agak kesal, tapi meredamnya karena tahu kalau Bayu mempunyai petunjuk yang ia inginkan.
"Apa kamu juga tahu identitas orang kuat dibalik Adi Hamerfid,"
"Hm,"
Fara mengerutkan dahinya, "Siapa dia?"
Kali ini Bayu mengehela nafas panjang.
"Kau ingin tahu? Terkadang ada kalanya ketidaktahuan menyelamatkan nyawamu,"
"Iya, tapi kebenaran menyelamatkan orang dari kebodohan,"
Bayu tersenyum tipis lalu ia mulai bercerita, "Tujuh belas tahun yang lalu, sepasang suami istri dari keluarga sederhana memiliki dua orang putra. Anak pertama berumur dua belas tahun dan yang kedua masih berumur lima tahun. Pada tahun itu kehidupan keluarga itu berubah drastis. Anak pertama mereka ternyata dikaruniai dengan aura yang berlimpah, tentu hal ini menjadi perhatian petinggi negara. Sayangnya, sebelum mereka melakukan sesuatu, salah satu keluarga ternama di Negeri Utah, mengadopsi anak berbakat tersebut."
Bayu melihat Fara yang kebingungan dengan ceritanya, Bayu tertarawa kecil lalu mengambil segelas air putih dan meminumnya. Fara sedikit terkejut karena baru pertama kalinya dia melihat Bayu tertawa. Bayu kembali duduk lalu melanjutkan ceritanya.
"Anak berbakat tersebut kabarnya dibayar mahal oleh keluarga dari Utah. Keluarga sederhana itupun menjadi sejahtera. Petinggi negara yang menyadari kalau mereka telah terlambat, tidak segan menawari si adik dengan tawaran menggiurkan agar keluarga tersebut tidak keluar dari negara mereka. Tawaran itu merupakan pertunangan dengan seorang anak perempuan dari salah satu keluarga ternama yang ada di negeri. Kedua orang tua si adik menerima tawaran tersebut. Mereka berpikir kalau tawaran itu akan membuat anak mereka hidup nyaman,"
Bayu berhenti sejenak. Melihat kembali ke wajah Fara yang kini telah serius.
"Si adik dari ceritamu, apa dia itu Adi Hamerfid? Apa itu berarti ceritamu adalah cerita keluarga Hamerfid?"
"Hm,"
"Kalau begitu orang kuat yang kumaksud, apa itu kakaknya?"
"Tepat sekali,"
Fara kali ini dengan wajah serius ingin bertanya 'siapa dia?' sebelum dirinya terealisasi sendiri.
'Orang Nusa yang pergi ke Utah. Orang kuat yang bahkan dirahasiakan oleh polisi, bukan, bukan hanya polisi, tapi pemerintah'
Kedua mata Fara terbuka lebar terhadap simpulan yang akhirnya datang padanya. Mulutnya agak bergetar dan berpalih perlahan ke arah Bayu.
"Mungkinkah… Si Penghianat… Hakam Justicien?" Rasa cemas, takut dan gairah senang beradu dalam dirinya. Melihat senyum tipis di wajah Bayu, Fara tahu kalau dugaan dia benar. 'Ini besar, ini besar sekali!' pikirnya.
"Kalau begitu, itu artinya status yang dimiliki oleh Adi adalah sandera yang dipakai Nusa untuk meredam Hakam. Eh? Kalau begini bukannya Hakam bakal menyerang Nusa!,"
Fara kembali menyadari hal lain dari situasi yang ia ketahui.
"Tenang saja, kemungkinan itu terjadi kecil. Pimpinan Union tidak akan membiarkan perang antar manusia terjadi. Walaupun Hakam datang, dia tidak akan menyerang Nusa, dia punya target lain," ucap Bayu sambil menunjuk dirinya sendiri.
"Panji The Killer, tidakkah ini berbahaya bagimu?"
"Tidak terlalu. Pertama tidak ada orang yang tahu identitas asli Panji. Kedua, walaupun Hakam datang, besar kemungkinan tidak dalam waktu dekat ini, jadi banyak waktu yang bisa aku gunakan untuk persiapan."
"Oleh karena itulah kamu sengaja memperlihatkan diri di kamera, kamu membuat ilusi kalau Panji adalah seorang sejarawan ilmu tingkat tinggi"
"Eh? Jadi bisa dilihat kayak gitu juga ya, sejujurnya aku buat persona lain supaya dampak ke Nusa tidak terlalu besar, itu saja." sangkah Bayu, dia bahkan tidak sadar kalau teknik yang digunakannya saat itu adalah teknik yang hanya bisa dilakukan oleh sejarawan veteran.
***
Keesokan pagi harinya.
Fara menginap dan mengerjakan artikelnya di apartemen Bayu semalaman. Petunjuk-petunjuk yang telah dikumpulkan ia curahkan pada isi artikelnya. Bukti seprai dan baju Adi sudah ia dapatkan hasilnya dari dokter Aarifa. Sewaktu Fara bertemu dengan Aarifa kemarin siang, sebelum pulang, dokter pemabuk itu menawarkan diri untuk memeriksa barang bukti yang dibawa Fara. Walau Fara merasa Aarifa bukanlah dokter forensik, tapi dia diyakinkan olehnya dan keyakinannya terbayar saat hasilnya datang ke ponselnya semalam.
Bayu juga memberikan barang bukti tambahan berupa sebuah lembaran kertas yang berisikan pesan dari Panji The Killer. Dengan semua bukti ini Fara dengan lugas menulis artikelnya dengan rinci lalu mengirimkannya ke pimpinan redaksi.
Pimpinan redaksinya kaget setelah membaca isi artikel yang Fara kirim. Dengan tawa bangga Fara menjawab semua keraguan yang dilayangkan oleh pimpinannya.
***
Kantor Pusat Pikiran Masa, Kota Sentral.
Dalam sebuah ruangan di lantai teratas kantor. Sepuluh orang dengan serius membaca laporan yang ada di hadapan mereka. Kesepuluh orang ini duduk di meja dengan bentuk huruf U yang di tengah-tengah meja duduk seorang dengan jabatan Direktur Pikiran Masa.
Orang itu bernama Hardiyata Mandragan. Tampak kalau dia memiliki umur sekitaran lima puluh tahun, dengan rambut putih yang sudah menyelingi rambut hitamnya. Badannya ramping namun tegap dan tampak berwibawa dengan tinggi sekitar 170 cm. Rambutnya panjang terurai ke bawah mencapai pundak, di wajahnya yang tegas terdapat janggut dan kumis tipis.
"Apa semua ini benar?" Tanya Hardiyata dengan suara yang lugas.
"Iya Pak Direktur, semua bukti, hasil forensik, dan surat dari Panji sudah saya cek kebenarannya. Sekarang barang-barang itu telah dikirim via avonturir kelas emas dari Kembang."
"Apa sudah diperiksa data dari keluarga Hamerfid?"
"Sudah, Pak! Saya sudah kirim perintah ke sumber kita di kementerian, dan ia membalas kalau memang betul kalau Hakam dan Adi adalah saudara kandung. Dia bilang data itu sudah dihapus sehingga ia terpaksa meretas dan mengembalikkan data yang sudah dihapus."
Hardiyata melihat ke semua bawahannya yang berada di ruangan. Suasana hening. Suara ditelannya ludah pun beberapa kali terdengar di ruangan.
"Bagaimana pendapat kalian?"
Satu orang dengan tubuh gemuk serta memakai kacamata mengangkat tangannya.
"Saya pikir artikel ini terlalu berbahaya kalau diterbitkan, dari sini saja kita sudah tahu kalau pemerintah sudah berusaha keras untuk menutupi informasi. Kita hanya akan membuat pemerintah marah kalau ini diterbitkan,"
"Tindakan pemerintah untuk memblokir informasi mereka lakukan agar tidak mencapai ke telinga Hakam. Tapi yang sebenarnya mereka butuhkan adalah waktu! Cepat atau lambat Hakam akan tahu tentang kematian adiknya!" tambah seorang berpakaian rapih dengan hidung mancung.
"Saya rasa kita harus menerbitkan artikel ini. Kita ini jurnalis! Kita Pikiran Masa! Kita memberikan kebenaran pada publik! Kalau kita sembunyikan, kita sama saja dengan portal berita lain yang mengumbar kebohongan," ucap pimpinan redaksi tempat Fara bekerja.
"Kamu ingin menerbitkan ini karena artikel ini ditulis oleh jurnalismu! Kamu ingin sesuatu yang besar di kolom bagianmu!" sangkah pimpinan lain.
"Oke, semuanya diam sekarang!" Perintah Hardiyata dengan suara tenang dan lugas. Ruangan seketika itu hening.
Hardiyata melihat kembali dokumen di mejanya, lalu dia melirik ke foto sebuah surat yang dikirim oleh Panji.
"Darimana bukti dan surat ini didapatkan oleh jurnalis kita?" Tanya Hardiyata.
"Fara berkata kalau dia menemukannya di samping kursinya sewaktu dia makan malam di kafe,"
"Hm… jadi Panji sengaja mengirimkan barang buktinya langsung,"
Hardiyata tampak berpikir sejenak. Lalu terdengar suara pukulan dari meja direktur.
"Kita terbitkan!" putusan Hardiyata.
Pimpinan lain tertegun lalu mulai panik.
"Pak Direktur! Apa ini akan baik-baik saja?"
"Ha ha ha! Orang ini!" ucap Hardiyata sambil menunjukkan foto surat dari Panji, "Entah dia memang gila atau pintar, tapi sepertinya dia ingin memikul beban Nusa kepada dirinya sendiri,"
Beberapa pimpinan agak bingung dan memulai kembali memproses informasi yang ada di otak mereka. Pimpinan redaksi dari bagian Fara bekerja seketika mengerti,
"Panji membuat dirinya sebagai sasaran amarah Hakam, bukan Nusa tapi Panji!"
Hardiyata senyum menyeringai mendengar realisasi bawahannya.
"Baiklah kita akan terbitkan secepatnya! Oh ya! Jurnalis ini, apa dia ingin dituliskan sebagai anonim?"
"Tidak Pak Direktur, dia berpesan bahwa biarkan masyarakat sebagai perisainya, jika dia mati maka mereka akan tahu siapa yang membunuhnya!"
"HA HA HA… bagus! Bagus! Sudah lama aku tidak lihat jurnalis pemberani seperti dia! Baiklah, semuanya! Hari ini adalah hari besar, mari kita goncang Nusa!"